Rupiah Sudah Tembus Rp 15.000/US$, Mungkinkah Melemah Lagi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 October 2018 11:36
Transaksi Berjalan dari Beban Besar
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sementara dari dalam negeri, risiko terbesar bagi rupiah adalah transaksi berjalan (current account). Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan yang paling dalam sejak kuartal II-2014. 

Rupiah kekurangan pasokan valas sebagai pijakan untuk menguat karena tidak ada suplai dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari portofolio bagaimana? Kalau arus modal tersedot ke AS ya sudah bisa ditebak bagaimana jawabannya. 

Kemungkinan defisit transaksi transaksi berjalan ke depan masih akan defisit, dan mungkin cukup dalam. Pasalnya, harga minyak sedang dalam tren naik akibat semakin dekatnya sanksi AS terhadap Iran. 

Dalam sebulan terakhir, harga minyak jenis brent melonjak 8,82%. Dengan semakin dekatnya pemberian sanksi AS kepada Iran yaitu 4 November, harga minyak bisa semakin terdongrak. Indonesia adalah negara net importir minyak.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, sepanjang Januari-Agustus 2018 Indonesia mencatatkan defisit perdagangan migas sebesar US$ 8,35 miliar. Jika harga minyak makin mahal, maka defisit ini bisa membengkak walaupun jumlah yang diimpor tidak berubah. 

Oleh karena itu, rupiah yang sudah menembus Rp 15.000/US$ sepertinya bukan sebuah akhir. Risiko depresiasi lebih lanjut masih terbuka, dan semua harus tetap waspada.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/dru)

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular