Rupiah Sudah Tembus Rp 15.000/US$, Mungkinkah Melemah Lagi?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 October 2018 11:36
Rupiah Sudah Tembus Rp 15.000/US$, Mungkinkah Melemah Lagi?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin lemah. Bahkan dolar AS kini sudah menembus level psikologis baru yaitu Rp 15.000. 

Pada Selasa (2/10/2018) pukul 11:07 WIB, US$ 1 berada di Rp 15.001. Rupiah melemah 0,64% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kali terakhir rupiah mencapai kisaran Rp 15.000/US$ adalah pada Juli 1998. Kala itu, Indonesia tengah didera krisis moneter (krismon). Artinya, posisi rupiah hari ini adalah yang terlemah sejak 9 Juli 1998. 

Ke depan, risiko depresiasi masih melekat terhadap rupiah. Pasalnya, faktor eksternal dan domestik belum mendukung mata uang Tanah Air. 

Dari sisi eksternal, faktor utama risiko rupiah berasal dari kebijakan moneter AS. The Federal Reserve/The Fed kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunga tahun ini, yang sepertinya akan dieksekusi pada Desember. 

Mengutip CME Fedwatch, probabilitas kenaikan Federal Funds Rate pada rapat 19 Desember mencapai 78,5%. Bahkan ada kemungkinan The Fed menaikkan suku bunga sampai 50 bps, meski sangat kecil yaitu 1%. 

Saat ini, suku bunga acuan di AS ada di 2-2,25% atau median 2,125%. Pada akhir 2020, The Fed menargetkan suku bunga berada di median 3,4%. Oleh karena itu, kemungkinan akan ada tiga kali kenaikan lagi pada 2019 dan setidaknya sekali pada 2020. 

Artinya, arus modal akan terus tersedot ke AS. Sebab kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di Negeri Paman Sam (utamanya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi). 

(NEXT)



Sementara dari dalam negeri, risiko terbesar bagi rupiah adalah transaksi berjalan (current account). Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatat defisit yang cukup dalam yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini merupakan yang paling dalam sejak kuartal II-2014. 

Rupiah kekurangan pasokan valas sebagai pijakan untuk menguat karena tidak ada suplai dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari portofolio bagaimana? Kalau arus modal tersedot ke AS ya sudah bisa ditebak bagaimana jawabannya. 

Kemungkinan defisit transaksi transaksi berjalan ke depan masih akan defisit, dan mungkin cukup dalam. Pasalnya, harga minyak sedang dalam tren naik akibat semakin dekatnya sanksi AS terhadap Iran. 

Dalam sebulan terakhir, harga minyak jenis brent melonjak 8,82%. Dengan semakin dekatnya pemberian sanksi AS kepada Iran yaitu 4 November, harga minyak bisa semakin terdongrak. Indonesia adalah negara net importir minyak.

Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, sepanjang Januari-Agustus 2018 Indonesia mencatatkan defisit perdagangan migas sebesar US$ 8,35 miliar. Jika harga minyak makin mahal, maka defisit ini bisa membengkak walaupun jumlah yang diimpor tidak berubah. 

Oleh karena itu, rupiah yang sudah menembus Rp 15.000/US$ sepertinya bukan sebuah akhir. Risiko depresiasi lebih lanjut masih terbuka, dan semua harus tetap waspada.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular