Kemarin Italia, Hari Ini Kenapa Rupiah Nyaris Rp 15.000/US$?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 October 2018 10:40
Kemarin Italia, Hari Ini Kenapa Rupiah Nyaris Rp 15.000/US$?
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan melemah lumayan signifikan. Di pasar spot, rupiah pun kurang bergigi sehingga dolar AS mulai mengintip level Rp 15.000. 

Pada Selasa (2/10/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.988. Rupiah melemah 0,56% dibandingkan posisi hari sebelumnya. 

Sejak awal tahun, rupiah sudah melemah 10,68% di kurs acuan. Kemudian dalam setahun terakhir, pelemahannya adalah 11,03%. Hari ini, Jisdor menyentuh posisi terlemah sejak kurs ini diperkenalkan pada 20 Mei 2013.



Sementara di pasar spot, rupiah juga nelangsa. Pada pukul 10:10 WIB, US$ 1 berada di Rp 14.995. Rupiah melemah 0,6% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya. Dolar AS semakin dekat ke Rp 15.000. 

Di Asia, dolar AS juga berjaya. Hanya yuan China yang mampu menguat, tetapi tidak masuk hitungan karena pasar keuangan Negeri Panda sedang libur memperingati Hari Nasional Republik Rakyat Tiongkok. 

Dengan depresiasi 0,6%, rupiah bahkan menjadi mata uang terlemah di Asia. Tidak hanya terlemah di Asia, rupiah juga menyentuh posisi terlemah sejak awal tahun dan terlemah sejak Juli 1998. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 10:14 WIB: 

 

Faktor eksternal dan internal menekan rupiah. Dari eksternal, dolar AS memang masih ogah melemah.  

Pada pukul 10:16 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,03%. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index sudah naik 1,27%. 

Setidaknya ada dua faktor yang membuat dolar AS perkasa. Pertama adalah kebijakan moneter AS yang semakin ketat. 

Pekan lalu, The Federal Reserve/The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) ke 2-2,25% atau median 2,125%. Bahkan kemungkinan besar The Fed masih akan sekali lagi menaikkan suku bunga pada tahun ini, diperkirakan terjadi pada Desember. Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate sebesar 25 bps dalam rapat 19 Desember mencapai 80,1%. 

Tidak berhenti sampai di situ, proses normalisasi kebijakan moneter AS masih berlangsung setidaknya sampai 2020. Pada 2019, diperkirakan ada tiga kali kenaikan suku bunga acuan dan setidaknya sekali lagi pada 2020. Saat itu, median suku bunga acuan ada di sekitar 3,4%. Kemudian pada 2021 suku bunga acuan kemungkinan bertahan, sebelum mulai turun ke arah 3% dalam jangka menengah-panjang. 

Oleh karena itu, dolar AS kemungkinan masih akan menguat sampai 2020 karena didorong kenaikan suku bunga acuan. Saat suku bunga acuan naik, maka imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) akan ikut terkerek. Ini akan membuat dolar AS semakin diburu pelaku pasar. 

Faktor kedua adalah perkembangan di Eropa. Investor mencemaskan dinamika politik anggaran di Italia. Pemerintah Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte berencana menyusun defisit anggaran 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2019-2021. Padahal pemerintahan sebelumnya berencana membuat anggaran berimbang atau balance budget pada 2020. 

Ingatan investor kembali pada 2009-2010 di mana Italia dan negara-negara lain di Eropa mengalami krisis fiskal. Krisis itu menjadi sentimen negatif yang menyebar ke pasar keuangan seluruh dunia. 

Oleh karena itu investor dipaksa main aman. Aset-aset safe haven pun menjadi buruan, utamanya dolar AS. Selain aman, ya itu tadi, greenback juga menjanjikan cuan. 

Kemarin, sentimen Italia menjadi faktor besar yang mempengaruhi kekuatan dolar AS. Rupiah pun tertekan, meski akhirnya hanya melemah tipis pada penutupan perdagangan.



Sementara dari dalam negeri, investor ada beberapa hal yang membuat investor cemas. Pertama adalah inflasi, yang pada September tercatat 2,88% year-on-year (YoY) dan inflasi inti YoY ada di 2,82%. Inflasi tahunan itu adalah yang terendah sejak Agustus 2016, sementara inflasi inti terendah sejak Juni 2018.

Di satu sisi, inflasi yang terkendali adalah cerminan stabilnya harga di tingkat konsumen. Daya beli masyarakat terjaga karena tidak ada lonjakan harga. Namun di sisi lain, bisa menimbulkan persepsi bahwa masyarakat justru mulai menahan konsumsi. Atau lebih buruk lagi, bisa ada pembacaan bahwa daya beli masyarakat turun. 

Kedua, investor juga mulai mencemaskan prospek transaksi berjalan (current account) Indonesia pada kuartal III-2018. Kemungkinan transaksi berjalan akan kembali mencatatkan defisit cukup dalam, mengingat defisit neraca perdagangan pada Juli dan Agustus. 

Artinya, rupiah kekurangan pasokan valas sebagai pijakan untuk menguat. Oleh karena itu, prospek rupiah mungkin masih akan suram sehingga investor cenderung menghindari mata uang ini. 

Berbagai sentimen itu menyebabkan rupiah mengalami tekanan yang lumayan berat. Bahkan dolar AS sudah mulai mengintai level Rp 15.000.  

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular