Walau Melemah, Rupiah Jadi Terbaik Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 October 2018 16:47
Walau Melemah, Rupiah Jadi Terbaik Ketiga di Asia
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah di perdagangan pasar spot awal pekan ini. Dolar AS memang masih terlalu tangguh dan berhasil berjaya di Asia. 

Pada Senin (1/10/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.905 saat penutupan pasar spot. Rupiah melemah tipis 0,03% dibandingkan posisi penutupan akhir pekan lalu. 

Kala pembukaan pasar, rupiah masih mampu menguat 0,13%. Namun selepas itu, rupiah cenderung terdepresiasi. Namun depresiasi rupiah relatif terbatas. 


Untuk hari ini, posisi terkuat rupiah ada di Rp 14.880/US$ sedangkan terlemahnya adalah Rp 14.910/US$. Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah pada perdagangan hari ini: 



Rupiah bergerak searah dengan mata uang Asia yang mayoritas melemah terhadap dolar AS. Hanya baht Thailand yang mampu menguat dan lumayan signifikan.  

Sentimen domestik menjadi bahan bakar penguatan baht. Hari ini, Kementerian Perdagangan Thailand mengumumkan laju inflasi September sebesar 1,33% year-on-year (YoY). Sementara inflasi inti YoY tercatat 0,8%. Keduanya di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters, yang memperkirakan inflasi umum YoY di 1,3% sementara inflasi inti YoY sebesar 0,73%. 

Oleh karena itu, pelaku pasar mulai berpersepsi Bank Sentral Thailand (BoT) akan memikirkan soal kenaikan suku bunga acuan. BoT sudah menahan suku bunga acuan di 1,5% sejak 2011. 

Ditopang potensi kenaikan suku bunga acuan, baht pun berjaya. Arus modal merapat ke Negeri Gajah Putih sehingga baht mampu menguat. 

Pasar keuangan China dan Hong Kong tutup hari ini, memperingati Hari Nasional Republik Rakyat China. Oleh karena itu, bisa dibilang mata uang Asia yang menguat hanya baht. 

Meski melemah 0,03%, tetapi kinerja rupiah masih bida dibilang lumayan. Bersama won Korea Selatan, rupiah jadi mata uang terbaik ketiga di benua Kuning. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang Asia pada pukul 16:18 WIB: 

 

Dolar AS masih belum bosan menguat. Pada pukul 16:21 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,01%. Meski terbatas, tetapi penguatan Dollar Index berlangsung konsisten. 

Setidaknya ada dua alasan dolar AS masih mampu mempertahankan penguatannya hari ini. Pertama, hasil rapat The Federal Reserve/The Fed pekan lalu masih terasa. 

The Fed menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25%. Tidak berhenti di situ, suku bunga diperkirakan naik lagi pada Desember. Menurut CME Fedwatch, probabilitas kenaikan suku bunga 25 bps pada rapat 19 Desember mencapai 77,1%. 

Kenaikan suku bunga acuan akan membuat berinvestasi di AS semakin menarik. Arus modal pun masih berdatangan ke Negeri Paman Sam sehingga dolar AS terus menanjak. 

Alasan kedua adalah investor bermain aman akibat perkembangan di Italia. Pemerintah Italia pimpinan Perdana Menteri Giuseppe Conte menargetkan defisit anggaran 2019-2021 sebesar 2,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Lebih tinggi dibandingkan target tahun ini yaitu 1,6% PDB. 

Padahal, pemerintahan sebelumnya menargetkan defisit anggaran 2019 ada di kisaran 0,8% PDB. Bahkan pada 2020 pemerintah ingin memiliki anggaran seimbang (balance budget). 

Pelaku pasar grogi karena teringat pada kejadian 2009-2010, di mana Italia mengalami krisis fiskal akibat anggaran negara yang terlalu agresif. Meski reda, tetapi risiko utang Italia masih tinggi karena rasio utang pemerintah yang mencapai 131,8% PDB pada akhir 2017. 

Sewindu lalu, krisis fiskal di Italia menjadi sentimen negatif di pasar keuangan global. Oleh karena itu, investor cemas risiko yang sama akan kembali terulang. 

Sikap cemas ini diwujudkan dengan melepas aset-aset di Italia, apalagi surat utang, karena risiko gagal bayar (default) akan meningkat jika utang pemerintah kian menggunung. Kalau ini terus terjadi, bukan tidak mungkin kondisi sewindu lalu akan terjadi lagi. 


Melihat risiko di besar di Benua Biru, investor bermain aman dan mengalihkan dana ke aset-aset safe haven. Pilihan utama pelaku pasar adalah dolar AS, sehingga mata uang Negeri Adidaya kian menguat. 


Selain dari eksternal, sentimen domestik pun kurang suportif terhadap rupiah. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pada September terjadi deflasi 0,18% secara month-to-month (MtM). Sementara secara YoY, inflasi tercatat 2,88% dan inflasi inti YoY ada di 2,82%. 

Bulan sebelumnya, BPS mencatat terjadi deflasi 0,05% secara bulanan. Kemudian inflasi tahunan berada di 3,2% dan inflasi inti tahunan sebesar 2,9%. 

Data inflasi September sedikit membawa pesimisme di pasar. Inflasi YoY yang lebih rendah dibandingkan Agustus menandakan permintaan agak lesu. Ini juga tercermin dari inflasi inti yang ikut melambat. 

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tertekan akibat rilis data inflasi, utamanya saham-saham sektor konsumsi. Pada akhir perdagangan, sektor barang konsumsi amblas 1,46% yang membuat IHSG terkoreksi 0,53%. Lesunya permintaan membuat saham-saham barang konsumsi terkena aksi jual. 

Ditekan luar-dalam, rupiah pun tidak punya pilihan selain melemah. Namun positifnya, pelemahan rupiah masih tidak seberapa dibandingkan mata uang Asia lainnya, bahkan bisa menjadi terbaik ketiga.

TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular