Melihat Nasib Rupiah di 2015 dan 2018, Lebih Parah Mana?

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
28 September 2018 13:18
Tekanan Faktor Global di 2018 Lebih Banyak, Pelemahan Rupiah Sulit ditahan
Foto: Ilustrasi demo (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Sementara dibandingkan sekarang, tekanan global yang diterima rupiah jauh lebih banyak. Normalisasi kebijakan yang dilakukan The Fed lebih kental terlihat. Sejak awal tahun, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan 75 bps ke rentang 2-2,25%
 
 
Bahkan Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan sinyal, jika di bulan Desember mendatang akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Alhasil total kenaikan suku bunga acuan tahun ini diperkirakan empat kali.
 
Kenaikan suku bunga acuan yang agresif mendorong dolar AS menguat tajam tahun ini. Dolar Index yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama menguat hingga 3,37%.
 
Belum cukup disitu, tekanan lain datang dari memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS) dan China terkait perdagangan. Presiden AS Donald Trump sejak awal tahun telah mengenakan dua aturan resmi terkait pengenaan bea impor bagi produk China.
 
 Diawali bulan Juli sebesar 25% dan 24 September kemarin sebesar 10%. China pun membalas dengan mengenakan tarif yang sama besarnya. Aksi saling balas ini, menyebabkan kondisi ekonomi global tidak kondusif. Aliran modal ke negara-negara emerging market termasuk Indonesia menjadi seret.
 
Apa cukup sampai disitu? Ternyata belum. Faktor global lain yang ikut mempengaruhi yaitu anjloknya mata uang negara-negara emerging market seperti Argentina dan Turki. Pada tahun ini, peso argentina dan lira turki telah terdepresiasi masing-masing sebesar 112,61% dan 57,59%.
 
Anjloknya mata uang negara-negara tersebut memicu persepsi jika stabilitas keuangan global akan terganggu. Terlebih pelemahan mata uang, memperbesar peluang terjadinya gagal bayar (default) bagi perusahaan-perusahaan setempat. Akibatnya bisa ditebak, aliran modal asing lebih mencari aman sehingga pasokan valas ke emerging market terbatas.
 
Tiga kondisi dari global semakin diperparah dari sentimen defisit transaksi berjalan. Sejak kuartal I-2018, defisit bahkan lebih tinggi dari 2015 yaitu sebesar 2,30% PDB. Angka ini meningkat di kuartal II-2018 mencapai 3%. Bahkan di kuartal III ini, defisit tersebut diperkirakan meningkat ke level 3,04% dari PDB.
 
Situasi tersebut jelas menjadi beban bagi pergerakan rupiah. Maka tidak aneh, jika rupiah akhirnya menembus level pelemahan lebih tinggi dari 2015. Meskipun BI telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps, namun hal tersebut belum berpengaruh signifikan terhadap posisi rupiah di bawah Rp 14.000/US$

TIM RISET CNBC INDONESIA


(alf/dru)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular