Melihat Nasib Rupiah di 2015 dan 2018, Lebih Parah Mana?

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
28 September 2018 13:18
Melihat Nasib Rupiah di 2015 dan 2018, Lebih Parah Mana?
Foto: Bank Indonesia (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan rupiah di kuartal III-2018 merupakan yang terburuk sejak 2015. Dinamika ekonomi global mulai dari normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS), perang dagang AS-China hingga anjloknya kurs mata uang emerging market jadi beberapa penyebab utamanya.  

Belum cukup sampai disitu, kondisi defisit transaksi berjalan yang masih diderita juga menjadi beban tambahan bagi rupiah pada tahun ini. Dampaknya, rupiah pun menembus level Rp 14.900/US$ bahkan sempat mencapai Rp 14.930/US$ atau tertinggi sejak krisis moneter di 1998.  



Jika kita bandingkan dengan kondisi 2015, pelemahan tertinggi rupiah hanya sampai level Rp 14.695/US$. Lantas orang mulai membanding-bandingkan jika kondisi rupiah saat ini merupakan yang terburuk sejak periode tersebut. Namun agar lebih fair, mari kita bandingkan tekanan rupiah di 2015 dan 2018? Apakah sama atau berbeda?

(NEXT)




Sejatinya pelemahan rupiah di 2015 secara angka persentase, jauh lebih tinggi dibandingkan posisi rupiah saat ini. Di awal tahun, posisi rupiah berada di level Rp 12.380/US$. Sementara jika bandingkan di tanggal yang sama saat ini, posisi rupiah berada di level Rp 14.695/US$. Artinya ada kenaikan hingga Rp 2.300/US$
 
 
Tekanan rupiah saat itu rupanya lebih didominasi faktor global. Terutama setelah kebijakan bank sentral China/ The People’s Bank of China (PBoC) yang sengaja melemahkan yuan. Pada 10 Agustus 2018, yuan melemah hingga 3% hanya dalam sehari.
 
 
Anjloknya mata uang tersebut berpengaruh terhadap mata uang emerging market termasuk rupiah. Saat itu mata uang garuda langsung terdepresiasi 200 poin lebih hanya dalam dua hari.
 
Kondisi ini terus berlanjut, hingga menembus posisi terlemahnya di 28 September 2015 pada level Rp 14.695/US$. Sejatinya, tekanan rupiah juga berasal dari dalam negeri. Sepanjang 2015, Indonesia masih mengalami defisit transaksi berjalan.
 


Namun defisit ini stabil di level 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan hanya meningkat 0,2% pada kuartal IV. Tekanan ini yang disinyalir menyebabkan pelemahan rupiah tidak separah sekarang. Sementara dari sisi kebijakan moneter Federal Reserve/The Fed, stance hawkish hanya terjadi di akhir tahun. Berbeda dengan saat ini, dimana The Fed telah menaikkan suku bunga acuan hingga 3 kali sejak awal tahun.


Sementara dibandingkan sekarang, tekanan global yang diterima rupiah jauh lebih banyak. Normalisasi kebijakan yang dilakukan The Fed lebih kental terlihat. Sejak awal tahun, The Fed telah menaikkan suku bunga acuan 75 bps ke rentang 2-2,25%
 
 
Bahkan Gubernur The Fed Jerome Powell memberikan sinyal, jika di bulan Desember mendatang akan kembali menaikkan suku bunga acuan. Alhasil total kenaikan suku bunga acuan tahun ini diperkirakan empat kali.
 
Kenaikan suku bunga acuan yang agresif mendorong dolar AS menguat tajam tahun ini. Dolar Index yang menggambarkan posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama menguat hingga 3,37%.
 
Belum cukup disitu, tekanan lain datang dari memanasnya hubungan Amerika Serikat (AS) dan China terkait perdagangan. Presiden AS Donald Trump sejak awal tahun telah mengenakan dua aturan resmi terkait pengenaan bea impor bagi produk China.
 
 Diawali bulan Juli sebesar 25% dan 24 September kemarin sebesar 10%. China pun membalas dengan mengenakan tarif yang sama besarnya. Aksi saling balas ini, menyebabkan kondisi ekonomi global tidak kondusif. Aliran modal ke negara-negara emerging market termasuk Indonesia menjadi seret.
 
Apa cukup sampai disitu? Ternyata belum. Faktor global lain yang ikut mempengaruhi yaitu anjloknya mata uang negara-negara emerging market seperti Argentina dan Turki. Pada tahun ini, peso argentina dan lira turki telah terdepresiasi masing-masing sebesar 112,61% dan 57,59%.
 
Anjloknya mata uang negara-negara tersebut memicu persepsi jika stabilitas keuangan global akan terganggu. Terlebih pelemahan mata uang, memperbesar peluang terjadinya gagal bayar (default) bagi perusahaan-perusahaan setempat. Akibatnya bisa ditebak, aliran modal asing lebih mencari aman sehingga pasokan valas ke emerging market terbatas.
 
Tiga kondisi dari global semakin diperparah dari sentimen defisit transaksi berjalan. Sejak kuartal I-2018, defisit bahkan lebih tinggi dari 2015 yaitu sebesar 2,30% PDB. Angka ini meningkat di kuartal II-2018 mencapai 3%. Bahkan di kuartal III ini, defisit tersebut diperkirakan meningkat ke level 3,04% dari PDB.
 
Situasi tersebut jelas menjadi beban bagi pergerakan rupiah. Maka tidak aneh, jika rupiah akhirnya menembus level pelemahan lebih tinggi dari 2015. Meskipun BI telah menaikkan suku bunga acuan hingga 150 bps, namun hal tersebut belum berpengaruh signifikan terhadap posisi rupiah di bawah Rp 14.000/US$

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular