Semua Demi Rupiah, Ayo Bangkit!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 September 2018 17:40
Semua Demi Rupiah, Ayo Bangkit!
Ilustrasi demo (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk kembali menaikkan suku bunga acuan. Dengan begitu, kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sepanjang 2018 sudah mencapai 150 basis poin (bps). 

Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI edisi September 2018 memutuskan menaikkan suku bunga acuan 25 bps menjadi 5,75%. Keputusan ini sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia. 

Perry Warjiyo, Gubernur BI, mengatakan kebijakan ini ditempuh untuk menekan defisit transaksi berjalan (current account) dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik. Untuk saat ini, dua hal tersebut memang menjadi prioritas utama bank sentral. 

Semua Demi Rupiah, Ayo Bangkit!Foto: Bank Indonesia (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)


Menekan defisit transaksi berjalan dan membuat arus modal tetap masuk ke pasar keuangan diharapkan berdampak pada stabilitas nilai tukar rupiah. Fokus utama BI saat ini memang menjaga stabilitas ekonomi, terutama nilai tukar rupiah. 

Salah satu dampak kenaikan suku bunga acuan adalah likuiditas di sistem keuangan akan berkurang. Dengan begitu, permintaan masyarakat juga akan ikut melambat sehingga kebutuhan impor bisa diredam. 

Penurunan impor bisa mengurangi defisit ekspor-impor barang dan jasa alias current account. Sebab, devisa yang 'terbang' ke luar negeri untuk pembiayaan impor akan berkurang dan rupiah punya pijakan untuk menguat. 

Kemudian, kenaikan suku bunga juga akan membuat imbalan investasi (terutama di instrumen berpendapatan tetap) ikut terkerek. Ini akan membuat pasar keuangan Indonesia atraktif sehingga arus modal asing sudi mampir ke Tanah Air. Pasokan devisa dari portofolio di pasar keuangan alias hot money ini juga bisa menjadi dasar penguatan rupiah. 

Demi rupiah, itu yang membuat BI menaikkan suku bunga acuan 150 bps sejak awal tahun. Padahal kenaikan suku bunga acuan punya efek samping yang tidak main-main, yaitu potensi perlambatan ekonomi.

(NEXT)






Saat suku bunga acuan naik, maka suku bunga simpanan perbankan akan ikut naik. Untuk mengompensasi kenaikan suku bunga simpanan, bank harus ikut menaikkan suku bunga kredit agar laba tidak tergerus. 

Bagi dunia usaha dan konsumen, siapa yang suka suku bunga tinggi? Biaya dana, pembiayaan investasi dan ekspansi, sampai bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bakal naik. Tidak ada yang suka. 

Saat bebannya naik, dunia usaha bisa mengurangi ekspansi sehingga pertumbuhan investasi akan melambat. Sementara masyarakat juga akan mengurangi konsumsi ketika pembayaran cicilan KPR makin mahal.  

Investasi dan konsumsi masyarakat kemungkinan akan melambat. Padahal keduanya adalah komponen utama dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Pada kuartal II-2018, konsumsi rumah tangga menyumbang 55,43% sementara investasi alias Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) berkontribusi 31,15%. 

Akan tetapi, dapat dimaklumi jika BI (dan pemerintah) fokus membenahi transaksi berjalan dan kemudian rupiah. Sebab, yang namanya pelemahan rupiah juga bukan hal yang enak. 

Sering disebutkan bahwa pelemahan rupiah adalah momentum untuk meningkatkan kinerja ekspor karena harga produk Indonesia di pasar global bisa lebih murah. Namun itu bisa berlaku jika yang diekspor adalah barang jadi, produk manufaktur. Sebab, produk manufaktur punya keunggulan kompetitif yang sensitif terhadap kurs. 

Beda ceritanya kalau yang diekspor kebanyakan adalah komoditas, seperti Indonesia yang lebih lebih dari 50% ekspornya adalah komoditas. Ekspor komoditas lebih dipengaruhi oleh harga dan permintaan, bukan nilai tukar, karena hanya memiliki keunggulan komparatif. 

Di pasar keuangan, depresiasi rupiah juga bukan kabar baik. Saat rupiah melemah, dan prospek ke depannya akan tetap seperti itu, maka investor akan menghindari rupiah dan aset-aset berbasis mata uang ini. Akibatnya rupiah semakin lemah, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot, imbal hasil (yield) obligasi melonjak. Membayangkannya saja sudah mengerikan, apalagi kalau sampai kejadian. 

Oleh karena itu, sah-sah saja kalau upaya penyelamatan rupiah menjadi prioritas utama. Namun semoga tidak terlalu lama, karena Indonesia masih membutuhkan pertumbuhan ekonomi. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular