Membedah Visi-Misi Capres 2019

Kebijakan Pajak Capres: Jokowi Melanjutkan, Prabowo Agresif

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 September 2018 11:05
Kebijakan Pajak Capres: Jokowi Melanjutkan, Prabowo Agresif
Presiden Indonesia Joko Widodo dan cawapresnya Ma'ruf Amin berbincang dengan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saat upacara di KPU Jakarta (REUTERS/Darren Whiteside)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pajak adalah instrumen vital dalam penyelenggaraan negara. Kontribusi rakyat melalui pajak digunakan pemerintah untuk mendanai pembangunan baik fisik maupun non-fisik. Tanpa pajak, negara bisa dibilang lumpuh karena kekurangan 'darah'. 

Pajak adalah sebuah kontrak wajib dalam kehidupan bernegara. Pajak merupakan kontribusi wajib bagi rakyat, dan negara punya hak untuk memungutnya. Begitu pentingnya pajak sampai tokoh besar Amerika Serikat (AS) Benjamin Franklin menyatakan hanya ada dua hal yang pasti di dunia ini; kematian dan pajak. 

Oleh karena itu, isu perpajakan menjadi salah satu hal sentral dalam visi-misi dua pasangan kandidat pemimpin Indonesia 2019-2024. Baik Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf Amin maupun Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menjadi pajak sebagai salah satu fokus pembenahan jika mendapat mandat rakyat untuk memimpin Tanah Air. 



Di kubu pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma'ruf, setidaknya ada dua program terkait pajak yaitu: 
  1.    Melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha dan peningkatan daya saing.
  2.    Memberikan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Well, Jokowi adalah kandidat petahana (incumbent) sehingga wajar ketika dirinya menawarkan untuk melanjutkan pekerjaan yang sudah dirintis sejak 2014. Memang ada beberapa pekerjaan rumah dalam reformasi pajak yang belum diselesaikan. 

Pilar pertama reformasi pajak adalah soal Sumber Daya Manusia (SDM). Kompetensi maupun integritas pegawai pajak (fiskus) memang harus terus dikawal. 



Bukan apa-apa, pajak masih menjadi lahan korupsi yang subur. Gayus Tambunan adalah contoh klasik, tetapi ternyata dia bukan yang terakhir. Handang Soekarno, Ramli Anwar, dan lain-lain adalah bukti bahwa revolusi mental di tubuh Direktorat Jenderal Pajak belum usai.  

Pilar kedua adalah proses bisnis dan struktur organisasi pajak. Ditjen Pajak memiliki 33 Kantor Wilayah yang tentunya harus semakin efektif dan efisien dalam melakukan tugasnya.

Bahkan dalam hal struktur organisasi sempat ada wacana untuk memisahkan Ditjen Pajak dari Kementerian Keuangan melalui pembentukan Badan Penerimaan Negara. Dengan begitu, otoritas pajak memiliki keleluasaan dalam membuat kebijakan sampai pembenahan SDM. Namun sepertinya isu ini tenggelam dan belum dibicarakan kembali. 

Pilar ketiga adalah teknologi informasi. Pada era digital seperti sekarang, keterlibatan teknologi informasi mutlak diterapkan dalam kebijakan pajak. Teknologi informasi bisa sangat membantu dalam penentuan profil Wajib Pajak (WP), proses pemungutan, sampai perumusan kebijakan. 

Bahkan melalui teknologi informasi WP tidak perlu bertemu muka dengan fiskus. Dengan begitu, potensi kongkalikong bisa diredam. 

Pilar terakhir adalah perundang-undangan. Ini yang masih menjadi pekerjaan rumah besar. Sebab, praktis belum ada pembaruan dalam Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), maupun Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). P

adahal, sudah banyak perkembangan yang harus direspons melalui perubahan serangkaian UU tersebut. Mulai dari apakah Ditjen Pajak jadi dipisah dari Kementerian Keuangan, tata cara perpajakan terhadap transaksi online, dan sebagainya.
 

Banyaknya tugas itu membuat Jokowi-Ma'ruf bertekad untuk melanjutkan reformasi pajak yang sudah dirintis 4 tahun terakhir. Melanjutkan saja sudah merupakan tugas yang mahaberat. 

Melalui reformasi pajak, diharapkan kepatuhan WP pun meningkat. Kepatuhan ini juga menjadi isu besar, karena trennya menurun. 

 

(NEXT)

Sedangkan di kubu pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandiaga, berikut rencana kerja terkait kebijakan pajak:
  1. Menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh pasal 21 Orang Pribadi.
  2. Menghapus Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama.
  3. Menghapus secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar lebih merangsang gairah berusaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga.
  4. Meningkatkan akses masyarakat terhadap buku yang murah dan terjangkau melalui kebijakan perpajakan yang menunjang.
Hal menarik dalam visi-misi pasangan 02 adalah besarnya insentif pajak yang dijanjikan seperti kenaikan PTKP, penurunan tarif PPh 21, sampai penghapusan PBB. Ini adalah stimulus yang cukup agresif. 

Melalui ketiga janji ini, dijamin daya beli masyarakat akan meningkat. Sebab sebagian pendapatan yang sedianya dialokasikan untuk membayar pajak nantinya bisa dipakai untuk menambah konsumsi. 

Hal ini sudah ditempuh di AS. Akhir tahun lalu, Presiden Donald Trump mengubah keranjang pendapatan (income bracket) untuk penentuan tarif pajak.

Awalnya, seorang pekerja lajang dengan pendapatan sampai US$ 9.525-38.700/tahun dikenakan pajak 15%, tetapi Trump menurunkan menjadi 12%. Kemudian untuk pekerja dengan pendapatan US$ 38.700-93.700/tahun awalnya kena PPh 25%. Trump menurunkan batasnya menjadi US$ 38.700-82.500/tahun dengan tarif yang lebih rendah yaitu 22%. 

Lalu untuk pekerja dengan pendapatan 93.700-195.450/tahun awalnya dikenakan PPh 28%. Trump mengubah batasannya menjadi US$ 82.500-157.500/tahun dan tarifnya diturunkan menjadi 24%. 

Sementara untuk pekerja dengan pendapatan US$ 195.450-424.950/tahun awalnya dibebankan PPh 33%. Trump kemudian mengubah batasannya menjadi US$ 157.500-200.000/tahun dan tarifnya turun menjadi 32%. 

Sedangkan bagi pekerja dengan pendapatan US$ 426.700/tahun ke atas awalnya kena pajak 39,6%. Trump mengubah batasnya menjadi US$ 500.000/tahun dengan tarif yang lebih rendah yaitu 37%. 

Tidak hanya bagi Orang Pribadi, Trump juga menurunkan PPh Badan dari 35% menjadi 21%. Penurunan tarif pajak ini membuat dunia usaha semakin semangat untuk berekspansi. 

Ekspansi dunia usaha ditambah tambahan konsumsi masyarakat membuat pertumbuhan ekonomi AS melesat. The Federal Reserve/The Fed memperkirakan ekonomi AS tumbuh 4,4% pada kuartal III-2018. Lebih cepat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 4,2%.

Bayangkan, AS punya ukuran ekonomi US$ 19,39 triliun atau sekitar Rp 288.751 triliun. Ekonomi sebesar ini masih bisa tumbuh di kisaran 4% adalah hal yang luar biasa. Prestasi ini tentunya tidak lepas dari stimulus pajak dari Trump. 

Oleh karena itu, wajar apabila Prabowo-Sandiaga menjanjikan stimulus pajak untuk menggenjot konsumsi, investasi, dan pada akhirnya pertumbuhan ekonomi. Tujuannya memang mulia dan sesuai dengan tema visi-misi mereka yaitu Sejahtera Bersama Prabowo-Sandi. 

Namun, stimulus ini bukan tanpa risiko. Saat pemerintah memberikan stimulus pajak, maka ada sebagian penerimaan negara yang berkurang. Agar anggaran negara bisa berjalan, pemerintah harus menambalnya dengan tambahan utang. 

Ini yang terjadi di AS. Penurunan tarif pajak membuat defisit anggaran membengkak. Badan Anggaran Kongres AS memperkirakan defisit anggaran tahun ini berada di US$ 4,14 triliun. Pada 2019, defisit anggaran naik menjadi US$ 4,47 triliun. 



Defisit yang membengkak ini tentunya sejalan dengan utang pemerintah yang juga terdongkrak. Tahun ini, utang pemerintah AS diperkirakan mencapai 108,02% dari Produk Domestik Bruto. Pada 2019, jumlahnya bakal bertambah menjadi 109,45% PDB. 

 

Utang adalah isu yang sering disuarakan oleh kelompok oposisi saat ini. Bila nanti Prabowo-Sandiaga berkuasa dan menjalankan stimulus pajak besar-besaran, kelompok ini sepertinya harus menjilat ludah sendiri.



TIM RISET CNBC INDONESIA




Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular