Begini Cerita Bos Schroders Soal Dana Asing Keluar Indonesia

Monica Wareza, CNBC Indonesia
24 September 2018 17:51
Jika mengacu pada kinerja emiten dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, hingga Juni lalu justru terus mengalami peningkatan baik dari pendapatan dan laba bersihnya.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Akumulasi jual bersih (net sell) investor asing dari pasar saham Indonesia dari awal tahun 2018 tercatat cukup besar. Dari awal tahun hingga hari ini, net sell asing mencapai Rp 51,77 triliun.

Pertanyaannya, apa alasannya investor asing beralih dari pasar Indonesia?
Berikut ini penjelasan President Direktur Schroders Investment Management Indonesia Michael T. Tjoajadi mengatakan keluar masuk dana asing ke pasar saham Indonesia disebabkan faktor eksternal. Jika mengacu pada kinerja emiten dan pertumbuhan ekonomi Indonesia, hingga Juni lalu justru terus mengalami peningkatan baik dari pendapatan dan laba bersihnya.

Sebenarnya tidak ada alasan untuk investor asing 'cabut' dari Indonesia. Michael menjelaskan, kondisi ini tak hanya terjadi di pasar saham dalam negeri saja. Kondisi yang sama juga dialami oleh pasar saham di negara-negara emerging market lainnya yang sejenis dengan Indonesia dan pindah ke Amerika Serikat.
"Mereka cabut dari emerging market pindah ke AS (Amerika Serikat). Kenapa ke AS? Karena di AS terjadi pertumbuhan yang strong setelah sempat kacau balau. Sewaktu-waktu mereka (investor asing) akan ballik, selalu begitu, mereka cari pertumbuhan yang tinggi sekarang," kata Michael beberapa waktu lalu.
Menurut dia, selain terkena imbas dari penarikan dana asing Indonesia juga terkena dampak dari reverse carry trade. Artinya, uang dari luar negeri yang selama ini diinvestasikan di Indonesia kembali dibawa pulang ke negara asalnya. Kondisi tersebut terjadi karena terjadinya peningkatan tingkat bunga (interest rate) di negara asalnya, khususnya AS.
"Dulu, interest rate di US murah, terjadi apa yang disebut carry trade. US interest rate turun waktu krisis, Jepang turun, mereka borrow money dari sana, kemudian invest di negara yang tumbuh, seperti di negara-negara Asia-Pasifik, negara-negara emerging market, termasuk Indonesia," lanjut dia.
"Sekarang yang terjadi adalah reverse carry trade, uang kembali ke negara asalnya, karena interest rate di sana naik, beban ongkos naik, profit turun. Kalau dia borrow dari US, di US interest rate naik, artinya apa, pertumbuhan naik, karena pertumbuhan naik, inflasi naik, untnuk tahan inflasi maka interest rate akan naik supaya tidak hyperinflation," jelas dia.
Menurut Michael, kondisi seperti ini akan terus terjadi hingga Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Federal Reserve (The Fed) menilai bahwa kenaikan suku bunga di Amerika dianggap sudah sesuai dengan kondisi ekonominya yang membaik. Diperkirakan, setelah tahun ini Amerika masih akan menaikkan suku bunganya sebanyak dua kali di semester pertama 2019.
"Berarti espektasi orang-orang, pertumbuhan ekonomi di US akan mulai flat di semeter kedua 2019, kalau flat kan dia berarti akan ada penurunan, ketika itulah orang akan cari negara dengan pertumbuhan yang lebih tingg," tambah Michael.



(hps) Next Article IHSG Lesu Lagi, Asing Borong BBCA-TLKM & Lepas BUKA-ISAT

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular