
Simak 4 Sentimen Penggerak Pasar Pekan Depan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
23 September 2018 20:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menutup pekan ini dengan naik 26,48 poin (+0,45%) ke 5.957,74 dengan akumulasi kenaikan selama sepekan sebesar 26,46 poin (+0,45%).
(RHG/gus) Next Article The Fed Masih Guyur Pasar Uang AS, Kali Ini Rp 768 T
Selama lima hari ke depan, pasar keuangan tanah air nampaknya akan cukup sibuk seiring ramainya sentimen yang datang. Yang paling akan menyita perhatian nampaknya datang dari kenaikan suku bunga acuan, baik di dalam negeri maupun di Amerika Serikat (AS).
Berikut ini beberapa sentimen utama yang bakal menggerakkan pasar saham nasional pekan depan, yang dikompilasikan Tim Riset CNBC Indonesia hari Minggu (23/9/2018).
Pertama, kelanjutan babak perang dagang AS-China.
Pada Senin Malam (17/9/2018) waktu AS atau Selasa (18/9/2018) dini hari waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump menetapkan bea masuk tambahan bagi produk impor China sebesar 10% atau senilai US$200 miliar, efektif berlaku pada 24 September. Bea masuk tersebut kemudian akan naik menjadi 25% pada akhir tahun ini.
Tidak butuh waktu lama, China memberikan tarif balasan sebesar 10% kepada produk made in USA senilai US$60 miliar, juga berlaku per 24 September.
Pada pekan lalu, kabar ini tidak terlalu memberikan dampak negatif bagi pasar. Pasalnya, sikap Trump yang tak langsung mengenakan bea masuk senilai 25% memberikan persepsi bahwa AS terus mencoba untuk membuka ruang negosiasi dengan China. Pada dua pekan lalu, AS telah mengirimkan surat kepada pihak China guna mencoba merencanakan sebuah negosiasi dagang.
Kemudian, besaran bea masuk yang dikenakan China juga hanya sebesar 10%, lebih rendah dari 20% yang digaungkan sebelumnya. Dampak perang dagang yang nampaknya lebih ringan dari perkiraan sebelumnya ini lantas mampu direspon positif oleh pasar.
Meski demikian, efek perang dagang tidak bisa diremehkan. Sejauh ini belum ada jaminan pasti kedua negara akan berdamai. Teranyar, Beijing malah dikabarkan telah membatalkan rencana diskusi perdagangan dengan Washington, seperti dilansir dari The Wall Street Journal pada Jumat (21/09/2018).
Anehnya, pihak Negeri Paman Sam justru dikabarkan optimis untuk mendapatkan kemajuan dari polemik perdagangan AS-China, meski belum mampu memberikan tanggal pasti untuk pembicaraan lebih lanjut, melansir komentar dari pejabat resmi Gedung Putih, dikutip dari CNBC International pada Jumat (21/09/2018).
Sejauh ini, kisruh dagang kedua raksasa ekonomi dunia ini belum menemukan titik terang yang jelas, dan nampaknya masih akan memakan waktu panjang hingga benar-benar selesai. Selama itu pula investor harus tetap waspada terhadap kabar-kabar yang berkembang.
Kedua, pengumuman hasil rapat The Federal Reserve/The Fed pada 27 September 2018 pukul 01.00 Waktu Indonesia Barat (WIB). Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% mencapai 93,8%, sedikit turun dari akhir pekan sebelumnya sebesar 98%. Meski demikian peluang sebesar itu masih amat besar.
Hal yang juga patut diwaspadai adalah meningkatnya probabilitas untuk kenaikan 50 bps menjadi 2,25-2,5% menjadi 6,2%. Akhir pekan lalu, kemungkinan untuk kenaikan 50 bps masih di kisaran 2%. Praktis sudah tidak ada ruang untuk potensi The Fed menahan suku bunga di 1,75-2%.
Kemungkinan yang besar tersebut nampaknya didorong oleh pasar tenaga kerja yang semakin solid serta pertumbuhan ekonomi AS yang masih kencang.
Indikator yang digunakan The Fed untuk mengukur inflasi, sejauh ini hasilnya masih positif. Indeks Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE) meningkat 2% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Juli, sesuai dengan target The Fed. Sepanjang tahun ini, sudah tiga kali Core PCE menyentuh target 2%.
Sementara, upah per jam rata-rata AS pada Agustus meningkat 2,9% YoY. Capaian itu mampu melampaui konsensus yang dihimpun Reuters, yaitu 2,7% YoY. Secara historis, peningkatan itu merupakan yang terbesar sejak Juni 2009.
Oleh karena itu, rupiah dan mata uang Asia lainnya masih perlu memasang kode siaga-1 pada pekan depan. Dolar AS memang tertekan karena isu perang dagang di pekan lalu, tetapi mata uang Negeri Adidaya ini punya senjata pamungkas untuk membalikkan kedudukan yaitu kenaikan suku bunga acuan.
Ketiga, pada hari yang sama dengan laporan hasil rapat The Fed, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi September 2018.
Keputusan suku bunga acuan dan berbagai petunjuk arah kebijakan moneter dari Perry Wajiyo dan kolega akan sangat mempengaruhi pasar. Investor akan memantau apakah BI masih preemtif, front loading, dan ahead the curve dengan menaikkan suku bunga.
Melihat besarnya peluang kenaikan Federal Fund Rate (FFR), peluang bank sentral Indonesia untuk mengerek suku bunga lebih banyak pun terbuka lebar. Sejak Mei 2018, BI sudah menaikkan suku bunga sebesar 125 bps.
Terlebih, melihat rupiah yang masih akan tertekan akibat bobroknya defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD). CAD kuartal II-2018 sudah menembus level 3% PDB, dan merupakan catatan terburuk sejak 2014.
Bahkan, CAD di kuartal III-2018 berpeluang melebar lebih parah. Pasalnya, sepanjang bulan Juli-Agustus 2018, neraca perdagangan sudah mencatatkan defisit lebih dari US$3 miliar. Kecil harapan CAD bisa memperbaiki performanya.
Namun kepastian itu mungkin baru bisa didapat dari hasil RDG pekan ini. Oleh karena itu, pelaku pasar akan menyimak dengan seksama bagaimana langkah BI selanjutnya.
Keempat, rilis data-data ekonomi AS dalam 5 hari ke depan. Pasca hasil rapat The Fed diumumkan, pelaku pasar nampaknya belum bisa lega. Pasalnya, AS akan merilis sejumlah data ekonomi yang punya dampak besar pada pasar.
Setidaknya ada 3 data yang perlu ekstra diwaspadai, yakni data pemesanan barang tahan lama periode Agustus 2018, pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi AS kuartal II-2018, dan indeks Core PCE periode Agustus 2018.
Ketiga data itu punya andil besar bagi keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif. Jika seluruh data tersebut ternyata mampu melebihi ekspektasi, maka persepsi kenaikan suku bunga acuan AS sebanyak 4 kali tahun ini (lebih banyak dari perkiraan semula 3 kali) akan kembali muncul ke permukaan.
Tentunya hal tersebut akan jadi energi tambahan bagi penguatan dolar AS, seandainya The Fed jadi menaikkan suku bunga acuannya pada pekan ini.
Berikut ini beberapa sentimen utama yang bakal menggerakkan pasar saham nasional pekan depan, yang dikompilasikan Tim Riset CNBC Indonesia hari Minggu (23/9/2018).
Pertama, kelanjutan babak perang dagang AS-China.
Pada Senin Malam (17/9/2018) waktu AS atau Selasa (18/9/2018) dini hari waktu Indonesia, Presiden AS Donald Trump menetapkan bea masuk tambahan bagi produk impor China sebesar 10% atau senilai US$200 miliar, efektif berlaku pada 24 September. Bea masuk tersebut kemudian akan naik menjadi 25% pada akhir tahun ini.
Tidak butuh waktu lama, China memberikan tarif balasan sebesar 10% kepada produk made in USA senilai US$60 miliar, juga berlaku per 24 September.
Pada pekan lalu, kabar ini tidak terlalu memberikan dampak negatif bagi pasar. Pasalnya, sikap Trump yang tak langsung mengenakan bea masuk senilai 25% memberikan persepsi bahwa AS terus mencoba untuk membuka ruang negosiasi dengan China. Pada dua pekan lalu, AS telah mengirimkan surat kepada pihak China guna mencoba merencanakan sebuah negosiasi dagang.
Kemudian, besaran bea masuk yang dikenakan China juga hanya sebesar 10%, lebih rendah dari 20% yang digaungkan sebelumnya. Dampak perang dagang yang nampaknya lebih ringan dari perkiraan sebelumnya ini lantas mampu direspon positif oleh pasar.
Meski demikian, efek perang dagang tidak bisa diremehkan. Sejauh ini belum ada jaminan pasti kedua negara akan berdamai. Teranyar, Beijing malah dikabarkan telah membatalkan rencana diskusi perdagangan dengan Washington, seperti dilansir dari The Wall Street Journal pada Jumat (21/09/2018).
Anehnya, pihak Negeri Paman Sam justru dikabarkan optimis untuk mendapatkan kemajuan dari polemik perdagangan AS-China, meski belum mampu memberikan tanggal pasti untuk pembicaraan lebih lanjut, melansir komentar dari pejabat resmi Gedung Putih, dikutip dari CNBC International pada Jumat (21/09/2018).
Sejauh ini, kisruh dagang kedua raksasa ekonomi dunia ini belum menemukan titik terang yang jelas, dan nampaknya masih akan memakan waktu panjang hingga benar-benar selesai. Selama itu pula investor harus tetap waspada terhadap kabar-kabar yang berkembang.
Kedua, pengumuman hasil rapat The Federal Reserve/The Fed pada 27 September 2018 pukul 01.00 Waktu Indonesia Barat (WIB). Mengutip CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 2-2,25% mencapai 93,8%, sedikit turun dari akhir pekan sebelumnya sebesar 98%. Meski demikian peluang sebesar itu masih amat besar.
Hal yang juga patut diwaspadai adalah meningkatnya probabilitas untuk kenaikan 50 bps menjadi 2,25-2,5% menjadi 6,2%. Akhir pekan lalu, kemungkinan untuk kenaikan 50 bps masih di kisaran 2%. Praktis sudah tidak ada ruang untuk potensi The Fed menahan suku bunga di 1,75-2%.
Kemungkinan yang besar tersebut nampaknya didorong oleh pasar tenaga kerja yang semakin solid serta pertumbuhan ekonomi AS yang masih kencang.
Indikator yang digunakan The Fed untuk mengukur inflasi, sejauh ini hasilnya masih positif. Indeks Personal Consumption Expenditure inti (Core PCE) meningkat 2% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Juli, sesuai dengan target The Fed. Sepanjang tahun ini, sudah tiga kali Core PCE menyentuh target 2%.
Sementara, upah per jam rata-rata AS pada Agustus meningkat 2,9% YoY. Capaian itu mampu melampaui konsensus yang dihimpun Reuters, yaitu 2,7% YoY. Secara historis, peningkatan itu merupakan yang terbesar sejak Juni 2009.
Oleh karena itu, rupiah dan mata uang Asia lainnya masih perlu memasang kode siaga-1 pada pekan depan. Dolar AS memang tertekan karena isu perang dagang di pekan lalu, tetapi mata uang Negeri Adidaya ini punya senjata pamungkas untuk membalikkan kedudukan yaitu kenaikan suku bunga acuan.
Ketiga, pada hari yang sama dengan laporan hasil rapat The Fed, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi September 2018.
Keputusan suku bunga acuan dan berbagai petunjuk arah kebijakan moneter dari Perry Wajiyo dan kolega akan sangat mempengaruhi pasar. Investor akan memantau apakah BI masih preemtif, front loading, dan ahead the curve dengan menaikkan suku bunga.
Melihat besarnya peluang kenaikan Federal Fund Rate (FFR), peluang bank sentral Indonesia untuk mengerek suku bunga lebih banyak pun terbuka lebar. Sejak Mei 2018, BI sudah menaikkan suku bunga sebesar 125 bps.
Terlebih, melihat rupiah yang masih akan tertekan akibat bobroknya defisit neraca transaksi berjalan (current account deficit/CAD). CAD kuartal II-2018 sudah menembus level 3% PDB, dan merupakan catatan terburuk sejak 2014.
Bahkan, CAD di kuartal III-2018 berpeluang melebar lebih parah. Pasalnya, sepanjang bulan Juli-Agustus 2018, neraca perdagangan sudah mencatatkan defisit lebih dari US$3 miliar. Kecil harapan CAD bisa memperbaiki performanya.
Namun kepastian itu mungkin baru bisa didapat dari hasil RDG pekan ini. Oleh karena itu, pelaku pasar akan menyimak dengan seksama bagaimana langkah BI selanjutnya.
Keempat, rilis data-data ekonomi AS dalam 5 hari ke depan. Pasca hasil rapat The Fed diumumkan, pelaku pasar nampaknya belum bisa lega. Pasalnya, AS akan merilis sejumlah data ekonomi yang punya dampak besar pada pasar.
Setidaknya ada 3 data yang perlu ekstra diwaspadai, yakni data pemesanan barang tahan lama periode Agustus 2018, pembacaan akhir pertumbuhan ekonomi AS kuartal II-2018, dan indeks Core PCE periode Agustus 2018.
Ketiga data itu punya andil besar bagi keputusan The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan secara lebih agresif. Jika seluruh data tersebut ternyata mampu melebihi ekspektasi, maka persepsi kenaikan suku bunga acuan AS sebanyak 4 kali tahun ini (lebih banyak dari perkiraan semula 3 kali) akan kembali muncul ke permukaan.
Tentunya hal tersebut akan jadi energi tambahan bagi penguatan dolar AS, seandainya The Fed jadi menaikkan suku bunga acuannya pada pekan ini.
(RHG/gus) Next Article The Fed Masih Guyur Pasar Uang AS, Kali Ini Rp 768 T
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular