BI Sebut Rupiah Tertekan Hingga 2020, Benarkah?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
19 September 2018 15:25
BI Sebut Rupiah Tertekan Hingga 2020, Benarkah?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Aristya Rahadian Krisabella)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun ini, tekanan terhadap rupiah lumayan berat. Sepertinya tekanan belum akan berakhir dalam waktu dekat. Penyebabnya ada nun jauh di sana, yaitu di Amerika Serikat (AS). 

Sejak awal tahun, rupiah melemah 8,8% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, depresiasi rupiah termasuk yang paling dalam. Hanya rupee India yang melemah lebih dalam. 



Penyebab utama pelemahan rupiah (dan berbagai mata uang dunia) adalah laju dolar AS yang tidak terbendung. Sejak awal tahun, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 2,64%. 

Keperkasaan dolar AS disebabkan oleh kebijakan moneter Negeri Paman Sam yang agresif. Kenaikan suku bunga acuan akan membuat imbalan berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama yang berpendapatan tetap) ikut terkerek. Memegang mata dolar AS saja sudah untung, karena kenaikan suku bunga menjangkar ekspektasi inflasi sehingga nilai mata uang ini tidak tergerus. 

Tahun ini, The Federal Reserve/The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga empat kali, lebih banyak ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. Sejauh ini, The Fed sudah menaikkan suku bunga dua kali sejak awal tahun. Posisi suku bunga acuan AS sekarang ada di 1,75-2% atau mediannya 1,875%. 



Jika sampai akhir tahun ada kenaikan suku bunga acuan ada dua kali kenaikan lagi masing-masing 25 basis poin (bps), maka posisinya berada di 2,25-2,5% atau median 2,375% (pembulatan menjadi 2,4%). Meski sudah menanjak tajam, tetapi The Fed belum selesai dengan siklus kenaikan suku bunga. 

Pada akhir tahun depan The Fed menargetkan suku bunga acuan berada di median 3,1%. Dengan posisi akhir 2018 yang 2,4%, maka perlu kenaikan 70 basis poin. Oleh karena itu, potensi kenaikan suku bunga AS 3-4 kali tahun depan masih sangat terbuka. 

Tidak selesai sampai di situ, pada akhir 2020 The Fed menargetkan suku bunga acuan di median 3,4%. Posisi akhir 2019 diperkirakan 3,1% sehingga sepanjang 2020 akan ada tambahan 30 basis poin lagi atau setidaknya sekali kenaikan. 

Namun setelah itu, siklus kenaikan suku bunga diperkirakan sudah selesai bahkan bukan tidak mungkin bakal turun. The Fed menargetkan suku bunga acuan dalam jangka panjang berada di median 2,9%. 

 

Oleh karena itu, arus modal akan terus merapat ke Negeri Adidaya setidaknya sampai 2020. Investor yang ingin mencari cuan tentu akan menempatkan AS di posisi teratas dalam hal lokasi menanamkan modal.

Bukan tidak mungkin tekanan yang dialami rupiah berlanjut hingga 2020 seperti yang diperkirakan Doddy Zulverdi, Direktur Eksekutif Departemen Internasional bank Indonesia (BI). Sebab, minimnya arus modal di pasar keuangan membuat likuiditas dolar AS di pasar keuangan seret sehingga rupiah minim pijakan untuk menguat.

Nasib rupiah mungkin lebih baik andai devisa dari sumber lain memadai, yaitu dari ekspor-impor barang dan jasa. Arus devisa dari sektor perdagangan ini lazim disebut transaksi berjalan (current account). 

Sejak 2011, Indonesia tidak pernah merasakan surplus transaksi berjalan. Tahun ini bahkan defisit transaksi berjalan lumayan dalam, yaitu 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal II. 



Tidak heran rupiah melemah lumayan dalam tahun ini. Devisa dari pasar keuangan minim, dari perdagangan juga tekor. 

Pada saat-saat pasar keuangan sedang penuh ketidakpastian seperti sekarang, kita tentu mendambakan transaksi berjalan yang positif. Belum terlambat untuk menuju ke sana, walau prosesnya memakan waktu, tenaga, dan tentunya dana. 

Agar transaksi berjalan membaik, kuncinya adalah industrialisasi. Melalui industrialisasi, Indonesia bisa meningkatkan produktivitas sehingga mampu berdikari tanpa tergantung dari impor. Saat kebutuhan domestik bisa dipenuhi secara mandiri, Indonesia juga bisa memperkuat transaksi berjalan dengan cara meningkatkan ekspor. 

Andai saja upaya industrialisasi digencarkan sejak belasan tahun lalu dan berlanjut hingga sekarang, mungkin transaksi berjalan Indonesia tidak seperti sekarang. Rupiah pun tidak perlu melemah sedalam hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular