Impor Naik 51,4%, Defisit Migas RI Terparah Tahun Ini
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 September 2018 13:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis nilai ekspor dan impor pada Agustus 2018. Pada periode tersebut, ekspor Indonesia mencapai US$15,82 miliar atau tumbuh 4,15% secara tahunan (year-on-year/YoY). Sementara impor melambung 24,65% YoY menjadi US$16,84 miliar. Sehingga defisit neraca perdagangan bulan lalu mencapai US$1,02 miliar.
Defisit itu jauh lebih besar daripada konsensus CNBC Indonesia yang meramal defisit sebesar US$645 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia kepada sejumlah ekonom, impor diprediksikan tumbuh sebesar 25% YoY, sementara ekspor diperkirakan naik lebih kencang sebesar 10,1% YoY.
Menariknya, dari total defisit neraca perdagangan sebesar US$1,02 miliar pada bulan lalu, ternyata defisit perdagangan migas justru lebih besar hingga mencapai US$1,66 miliar. Artinya, buruknya performa perdagangan migas menjadi biang kerok anjloknya defisit neraca perdagangan di Agustus.
Wajar saja kinerja defisit perdagangan migas begitu buruknya di bulan lalu. Pasalnya, impor migas Agustus 2018 meningkat 51,43% YoY ke angka US$3,05 miliar, sedangkan ekspor migas hanya tumbuh 12,24% YoY ke angka US$1,38 miliar di periode yang sama.
Apabila ditarik secara historis, defisit perdagangan migas bulan lalu setidaknya merupakan yang terparah tahun ini. Apabila dibandingkan capaian bulan Juli 2018, defisit migas di Agustus 2018 sudah meningkat 35,18%.
Secara kumulatif, dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah defisit migas sudah mencapai US$8,35 miliar, atau sekitar Rp124,42 triliun menggunakan kurs rupiah saat ini. Nilai itu melambung sekitar 55% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$5,40 miliar.
Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas di tahun ini. Faktor tersebut adalah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY. Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 16,78% hingga perdagangan akhir pekan lalu, ke level US$78,13/barel.
Di sisi lain, saat harga minyak melambung, nilai tukar rupiah justru terjun bebas. Di sepanjang tahun berjalan ini, rupiah sudah terdepresiasi di kisaran 9% hingga perdagangan akhir pekan lalu. Seperti diketahui, apresias dolar Amerika Serikat (AS) akan membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam.
Lantas apa solusi untuk menekan defisit migas yang menjadi-jadi? Secara jangka panjang, penguatan hilirisasi migas dalam negeri perlu menjadi ujung tombak. Janji Presiden Joko Widodo untuk pembangunan serta revitalisasi kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi.
Tidak hanya itu, diversifikasi sumber energi primer pun perlu digalakkan. Munculnya kebijakan kewajiban campuran 20% minyak nabati ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM), atau akrab disebut B20, sebenarnya salah satu strategi yang ampuh. Akan tetapi, biodiesel tidak bisa berdiri sendiri. Penggunaan sumber energi baru dan terbarukan lainnya (seperti geotermal, angin, hidro/mikrohidro) perlu digenjot secara maksimal.
Namun, segala bentuk bauran kebijakan tadi membutuhkan waktu untuk memberikan hasil yang optimal. Di saat defisit migas makin parah seperti ini, pemerintah perlu solusi bersifat quick-win. Langkah cepat dalam menahan laju impor migas perlu segera diambil. Cara yang paling cepat adalah membatasi konsumsi dengan kenaikan harga.
Kenaikan Harga BBM Sebenarnya Terjadi di Negara Lain
Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia dari data Global Petrol Price, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) rupanya sudah dilakukan beberapa negara yang mengalami krisis mata uang. Sebut saja Argentina dan Turki, yang telah menaikkan BBM masing-masing sebesar 30% dan 10,5% dalam tiga bulan terakhir.
Sebagai catatan, mata uang Peso Argentina dan Lira Turki sudah terdepresiasi masing-masing sebesar 46,78% dan 37,59% dalam tiga bulan terakhir.
Sementara Indonesia, dengan nilai tukar rupiah melemah hingga 6,54% di periode yang sama, memang beberapa kali sudah melakukan penyesuaian harga BBM khususnya yang non-subsidi. Misalnya Pertamax, harga jenis BBM tersebut telah naik Rp 1.100,00/liter di tahun 2018, dari Rp 8400,00 per liter ke Rp 9.500,00/liter. Kemudian, Pertamax Turbo naik Rp 1.350,00/liter, dari Rp 9.350,00 ke Rp 10.700,00/liter.
Namun yang menjadi masalah, BBM jenis Premium tetap bertahan di level Rp 6.500,00/liter. Dengan kondisi premium tetap dipertahankan murah, justru membuka kemungkinan masyarakat beralih ke BBM jenis tersebut. Akhirnya, kenaikan harga BBM non-subsidi justru tidak ampuh untuk mengurangi konsumsi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat bisa jadi ramai-ramai beralih ke premium. Konsumsi dan impor minyak pun tetap di level yang tinggi, dan efisit perdagangan migas tidak akan tertolong.
Belum lagi, Jokowi memutuskan untuk kembali membuka "keran" pasokan premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.
Padahal, berdasarkan data realisasi penyaluran Jenis BBM Umum Kementerian ESDM, realisasi distribusi BBM jenis premium (RON 88) hanya tinggal 1,39 juta KL pada Januari-Juni 2018. Masih kalah dari jenis Pertamax (RON 92) yang sebesar 3,05 juta KL. Yang artinya, masyarakat Jamali pun sebenarnya sudah mulai mengalihkan konsumsinya, dari Premium ke Pertamax.
Di situasi ini, nampaknya sudah saatnya pemerintah perlu memperhatikan saran dari berbagai pihak untuk menaikkan harga BBM, khususnya premium. Apalagi jika tujuannya ingin mengurangi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) serta menyelamatkan rupiah. Sekarang yang menghalangi hanyalah "gengsi" pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tahun politik.
(RHG/gus) Next Article Uji Daya Tahan Harga Minyak di USD 70/Barel, Ini Kata Ekonom
Defisit itu jauh lebih besar daripada konsensus CNBC Indonesia yang meramal defisit sebesar US$645 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia kepada sejumlah ekonom, impor diprediksikan tumbuh sebesar 25% YoY, sementara ekspor diperkirakan naik lebih kencang sebesar 10,1% YoY.
Wajar saja kinerja defisit perdagangan migas begitu buruknya di bulan lalu. Pasalnya, impor migas Agustus 2018 meningkat 51,43% YoY ke angka US$3,05 miliar, sedangkan ekspor migas hanya tumbuh 12,24% YoY ke angka US$1,38 miliar di periode yang sama.
Apabila ditarik secara historis, defisit perdagangan migas bulan lalu setidaknya merupakan yang terparah tahun ini. Apabila dibandingkan capaian bulan Juli 2018, defisit migas di Agustus 2018 sudah meningkat 35,18%.
Secara kumulatif, dari periode Januari-Juli 2018, defisit migas sudah defisit migas sudah mencapai US$8,35 miliar, atau sekitar Rp124,42 triliun menggunakan kurs rupiah saat ini. Nilai itu melambung sekitar 55% dari capaian di periode yang sama tahun lalu sebesar US$5,40 miliar.
Sebagai negara penyandang status net importir minyak, ada dua alasan yang mendorong membengkaknya defisit migas di tahun ini. Faktor tersebut adalah naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah.
Rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016. Sedangkan, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel, atau terjadi peningkatan sebesar 21,27% YoY. Di sepanjang tahun berjalan ini, harga minyak Brent juga masih tercatat menanjak di kisaran 16,78% hingga perdagangan akhir pekan lalu, ke level US$78,13/barel.
Di sisi lain, saat harga minyak melambung, nilai tukar rupiah justru terjun bebas. Di sepanjang tahun berjalan ini, rupiah sudah terdepresiasi di kisaran 9% hingga perdagangan akhir pekan lalu. Seperti diketahui, apresias dolar Amerika Serikat (AS) akan membuat harga minyak relatif lebih mahal, karena komoditas tersebut diperdagangkan dengan mata uang Negeri Paman Sam.
Lantas apa solusi untuk menekan defisit migas yang menjadi-jadi? Secara jangka panjang, penguatan hilirisasi migas dalam negeri perlu menjadi ujung tombak. Janji Presiden Joko Widodo untuk pembangunan serta revitalisasi kilang minyak dalam negeri juga harus terealisasi.
Tidak hanya itu, diversifikasi sumber energi primer pun perlu digalakkan. Munculnya kebijakan kewajiban campuran 20% minyak nabati ke dalam Bahan Bakar Minyak (BBM), atau akrab disebut B20, sebenarnya salah satu strategi yang ampuh. Akan tetapi, biodiesel tidak bisa berdiri sendiri. Penggunaan sumber energi baru dan terbarukan lainnya (seperti geotermal, angin, hidro/mikrohidro) perlu digenjot secara maksimal.
Namun, segala bentuk bauran kebijakan tadi membutuhkan waktu untuk memberikan hasil yang optimal. Di saat defisit migas makin parah seperti ini, pemerintah perlu solusi bersifat quick-win. Langkah cepat dalam menahan laju impor migas perlu segera diambil. Cara yang paling cepat adalah membatasi konsumsi dengan kenaikan harga.
Kenaikan Harga BBM Sebenarnya Terjadi di Negara Lain
Berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia dari data Global Petrol Price, kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) rupanya sudah dilakukan beberapa negara yang mengalami krisis mata uang. Sebut saja Argentina dan Turki, yang telah menaikkan BBM masing-masing sebesar 30% dan 10,5% dalam tiga bulan terakhir.
Sebagai catatan, mata uang Peso Argentina dan Lira Turki sudah terdepresiasi masing-masing sebesar 46,78% dan 37,59% dalam tiga bulan terakhir.
Sementara Indonesia, dengan nilai tukar rupiah melemah hingga 6,54% di periode yang sama, memang beberapa kali sudah melakukan penyesuaian harga BBM khususnya yang non-subsidi. Misalnya Pertamax, harga jenis BBM tersebut telah naik Rp 1.100,00/liter di tahun 2018, dari Rp 8400,00 per liter ke Rp 9.500,00/liter. Kemudian, Pertamax Turbo naik Rp 1.350,00/liter, dari Rp 9.350,00 ke Rp 10.700,00/liter.
Namun yang menjadi masalah, BBM jenis Premium tetap bertahan di level Rp 6.500,00/liter. Dengan kondisi premium tetap dipertahankan murah, justru membuka kemungkinan masyarakat beralih ke BBM jenis tersebut. Akhirnya, kenaikan harga BBM non-subsidi justru tidak ampuh untuk mengurangi konsumsi masyarakat. Sebaliknya, masyarakat bisa jadi ramai-ramai beralih ke premium. Konsumsi dan impor minyak pun tetap di level yang tinggi, dan efisit perdagangan migas tidak akan tertolong.
Belum lagi, Jokowi memutuskan untuk kembali membuka "keran" pasokan premium di Jawa-Madura-Bali (Jamali) pada April 2018 lalu.
Padahal, berdasarkan data realisasi penyaluran Jenis BBM Umum Kementerian ESDM, realisasi distribusi BBM jenis premium (RON 88) hanya tinggal 1,39 juta KL pada Januari-Juni 2018. Masih kalah dari jenis Pertamax (RON 92) yang sebesar 3,05 juta KL. Yang artinya, masyarakat Jamali pun sebenarnya sudah mulai mengalihkan konsumsinya, dari Premium ke Pertamax.
Di situasi ini, nampaknya sudah saatnya pemerintah perlu memperhatikan saran dari berbagai pihak untuk menaikkan harga BBM, khususnya premium. Apalagi jika tujuannya ingin mengurangi defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) serta menyelamatkan rupiah. Sekarang yang menghalangi hanyalah "gengsi" pemerintah untuk menaikkan harga BBM di tahun politik.
(RHG/gus) Next Article Uji Daya Tahan Harga Minyak di USD 70/Barel, Ini Kata Ekonom
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular