Tiga Hari Perkasa, Rupiah Loyo Lagi di Kurs Acuan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 September 2018 10:34
Tiga Hari Perkasa, Rupiah Loyo Lagi di Kurs Acuan
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) di kurs acuan melemah pada perdagangan selepas libur Tahun Baru Hijriah. Pelemahan hari ini memutus tren apresiasi rupiah di kurs acuan dalam 3 hari perdagangan terakhir. 

Pada Rabu (12/9/2018), kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14.863. Rupiah melemah 0,19% dibandingkan sebelum libur Tahun Baru Hijriah. 

Selama 3 hari perdagangan sebelumnya, rupiah mampu menguat di kurs acuan. Sebelum libur kemarin, rupiah di kurs acuan menguat 0,33%. Akhir pekan lalu, rupiah menguat 0,05% dan sebelumnya juga menguat 0,24%. 

 

Sementara di pasar spot, rupiah juga bergerak melemah. Pada pukul 10:06 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.870 di mana rupiah melemah 0,12%. 

Padahal rupiah mampu menguat 0,22% saat pembukaan pasar spot. Namun seiring perjalanan, penguatan rupiah semakin tergerus dan akhirnya berbalik melemah. 

Rupiah bergerak searah dengan mata uang utama Asia yang cenderung melemah di hadapan dolar AS. Hanya yen Jepang yang mampu menguat, sisanya tidak bisa bertahan menghadapi amukan greenback. 

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata yang utama Asia pada pukul 10:12 WIB:  

 

Sebenarnya dolar AS tidak kuat-kuat amat. Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback terhadap enam mata uang utama) melemah 0,1% pada pukul 10:15 WIB. 

Pelemahan dolar AS di hadapan mata uang utama dilatarbelakangi oleh positifnya pembicaraan dagang AS-Kanada dalam rangka pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). Setelah dua kali buntu, Washington dan Ottawa kembali menggelar negosiasi. 

Kanada dikabarkan siap bernegosiasi mengenai isu yang selama ini menjadi hambatan. Kanada menerapkan bea masuk tinggi untuk produk susu (dairy) yang masuk ke negara mereka. Hal ini dilakukan untuk melindungi peternak dan industri dalam negeri. AS mengeluhkan kebijakan ini dan menudingnya sebagai langkah proteksionistik. 

Kini, Kanada siap kompromi soal kebijakan tersebut. Sebagai imbalan, Kanada meminta revisi terhadap Bab 19 di NAFTA yaitu terkait penyelesaian sengketa. Kanada ingin bisa menggugat bea masuk anti-dumping yang diterapkan AS, sesuatu yang dinilai Kanada sebagai kebijakan tidak adil. 

"Kami memahami bahwa ada beberapa isu yang memang perlu kompromi," ujar salah satu delegasi Kanada, dikutip dari Reuters. 

Optimisme pun merebak dan membuat pelaku pasar sedikit berani mengambil risiko, meski tidak terlalu tinggi. Akibatnya, dolar AS melemah di hadapan mata uang utama dunia. 


Namun di Asia, dolar AS masih berjaya. Ini tidak lepas dari kekhawatiran investor terhadap panasnya friksi dagang AS-China, isu yang lebih besar dan menutup optimisme dialog AS-Kanada. 

Dalam pernyataannya kepada para jurnalis, Presiden AS Donald Trump menegaskan AS akan tetap bersikap tegas terhadap China. "AS akan mengambil sikap yang sangat tegas terhadap China dalam hal perdagangan," cetusnya dalam konferensi pers menyikapi Badai Florence, dikutip dari Reuters. 

China pun tidak kalah garang, bahkan lebih konkret. Beijing telah melapor kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai kebijakan AS yang dianggap merugikan, yaitu bea masuk anti-dumping, terhadap berbagai produk Negeri Tirai Bambu.  

China mengeluh karena kebijakan ini merugikan mereka hingga US$ 7,04 miliar per tahun. Oleh karena itu, China meminta restu kepada WTO untuk menerapkan kebijakan serupa dengan nilai yang sama bagi produk-produk made in USA

Perkembangan ini kian memanaskan friksi dagang Washington-Beijing. Perang dagang AS-China adalah isu yang sangat dipantau oleh pelaku pasar dunia, karena bisa menentukan nasib pertumbuhan ekonomi global.

Jika hubungan AS-China terus memburuk dan saling hambat dalam perdagangan, maka dampaknya adalah kepada seluruh negara di dunia. Oleh karena itu, investor akan cenderung bermain aman saat tensi perang dagang meninggi. Aset-aset berisiko, apalagi di negara berkembang, akan ditanggalkan dan investor berlindung di bawah naungan safe haven yaitu yen dan dolar AS.  

Akibatnya, mata uang Asia cenderung tertekan hari ini. Rupiah yang awalnya menguat pun tidak bisa bertahan lama dan akhirnya terseret arus penguatan greenback.   

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular