Harga Batu Bara Anjlok Pekan Lalu, Terparah Sejak Maret

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
10 September 2018 10:57
Di sepanjang pekan lalu, harga batu bara melemah hingga 2,92% ke level US$114,55/Metrik Ton (MT)
Foto: REUTERS/Stringer
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang pekan lalu, harga batu bara melemah hingga 2,92% ke level US$114,55/Metrik Ton (MT). Pelemahan mingguan sebesar itu merupakan yang terparah sejak Maret 2018, atau tepatnya dalam sepekan hingga tanggal 9 Maret 2018.

Sementara itu, harga batu bara saat ini sudah ada di level terendahnya dalam hampir 2,5 bulan, atau tepatnya sejak 29 Juni 2018.

Faktor pemberat bagi harga batu bara pekan lalu datang dari ekspektasi permintaan yang melambat dari China, importir batu bara terbesar di dunia. Belum lagi, investor juga dibuat cemas oleh perang dagang AS-China yang siap "meledak" kapan saja. 



Pada hari Senin (3/9/2018), indeks manufaktur PMI China (versi Caixin/Markit) bulan Agustus 2018 diumumkan turun ke angka 50,6. Nilai itu merupakan yang terendah sejak Juni 2017. Penyebabnya adalah penjualan ekspor industri manufaktur Negeri Panda turun selama 5 bulan berturut-turut.

Data ini semakin mepertegas bahwa aktivitas ekonomi di China semakin melambat. Sebelumnya, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% YoY pada bulan sebelumnya, serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.

Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan Juli juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY.

Sementara itu, investasi aset tetap di China hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Pertumbuhan investasi aset tetap tersebut bahkan masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.

Perang dagang dengan Amerika Serikat (AS) nampaknya mulai memberikan dampak bagi perekonomian China. Saat aktivitas ekonomi di China melambat, pelaku pasar khawatir bahwa permintaan batu bara (sebagai sumber energi utama) akan melambat. Sentimen ini lantas menjadi pemberat utama bagi harga batu bara.

Sebelumnya, harga batu bara terus berada dalam tren penguatan sejak Mei 2018, disokong oleh menguatnya permintaan batu bara China akibat musim semi yang lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai.

Namun, kini musim panas mulai berlalu, dan harga batu bara pun kehilangan pijakannya untuk bisa menguat di tengah "badai" yang tengah melanda China saat ini. Permintaan batu bara di Negeri Panda yang mulai menipis sudah diindikasikan dari stok batu bara di 6 pembangkit listrik utama China yang tercatat meningkat 4% ke 15,2 juta ton per 31 Agustus. Peningkatan itu merupakan yang pertama kalinya dalam 4 pekan terakhir. 

Tidak hanya itu, investor kini juga dibuat ketar-ketir oleh memanasnya perang dagang antara AS dan China. Rencana Trump untuk menerapkan bea masuk bagi produk asal Negeri Tirai Bambu senilai US$200 miliar, masih ada di permukaan. Belum lagi, pemerintah China juga sudah menyiapkan "pantun balasan".

Pada akhir pekan lalu, muncul kabar yang memperparah polemik perdagangan di antara dua raksasa ekonomi dunia ini.  Presiden AS Donald Trump memperingatkan siap menerapkan bea masuk atas barang impor dari China ke AS senilai US$267 miliar, lebih besar dari yang dikabarkan selama ini yaitu US$200 miliar. Bahkan ke depan, bukan tidak mungkin jumlah itu bisa bertambah.

"Saya benci untuk mengatakan ini, tetapi di belakang itu, US$267 miliar lainnya siap untuk diterapkan dalam waktu singkat jika saya mau. Itu benar-benar mengubah permainan," tegas Trump, dikutip dari Reuters.

Kondisinya bahkan makin sulit pasca otoritas China merilis data surplus perdagangan dengan AS yang semakin lebar. Beijing mengumumkan ekspor China pada Agustus 2015 tumbuh 9,8% YoY, sementara impor melonjak 20% YoY. Negeri Panda masih membukukan surplus perdagangan US$27,91 miliar.

Dengan AS, China mencatat ada surplus US$31,05 miliar, naik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu US$28,09 miliar. Ini bisa menjadi sumber masalah, karena dapat dijadikan alasan bagi AS untuk mengobarkan perang dagang.

Jika perang dagang AS-China akhirnya memuncak, tentu saja pertumbuhan ekonomi global yang menjadi taruhannya. Saat aktivitas ekonomi dunia lesu, tentu permintaan energi akan ikut terpukul. Hal ini lantas menjadi beban tambahan bagi harga batu bara di pekan lalu.   

(RHG/gus) Next Article Telisik Penyebab Harga Batu Bara Tak Lagi Membara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular