
Rupiah Terpuruk, Bahana: Sekarang Beda Kondisi Dengan 1998
Tito Bosnia, CNBC Indonesia
06 September 2018 14:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs Rupiah yang sempat melemah hingga ke level Rp 14.900/US$ turut memberikan tekanan bagi pasar modal dalam negeri dengan terkoreksinya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga menyentuh 4%.
Melihat kondisi tersebut, Director Investment Strategy Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan situasi yang dihadapi saat ini belum mengarah kepada krisis yang fatal. Mengingat perbedaan fundamental ekonomi Indonesia dibandingkan pengalaman di tahun 2008 bahkan 1998.
Ia menambahkan, rupiah saat ini diserbu oleh fenomena new normal dan berbagai kompleksitas yang menyertainya. New normal sendiri mengacu kepada berakhirnya era suku bunga rendah sebagai akibat kebijakan moneter yang sangat longgar ditempuh bank-bank sentral di negara maju.
"Sekarang beda dengan 1998, karena faktor institusi manajemen makro kita yang lebih bagus. Jadi saat ini jangan dilihat dari nominalnya (rupiah) saja," ujarnya di Gedung CIMB Senayan, Kamis (6/9/18).
Lebih lanjut, kompleksitas yang menyertai new normal meliputi penguatan indeks dolar sejak pertengahan April 2018 disusul dengan indikator ekonomi bisnis yang mengecewakan di kawasan Eropa.
"Sangat mungkin kawasan ini akhirnya terpukul oleh dampak penguatan mata uang euro yang sangat pesat selama 2017. Disamping penguatan dolar, dunia juga menyaksikan peningkatan harga minyak yang dinilai sebagai keberhasilan pemangkasan produksi oleh OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) disamping penguatan ekonomi global," tambahnya.
Faktor kenaikan suku bunga, penguatan Dolar dan kenaikan harga minyak ini memukul negara berkembang termasuk emerging market yang banyak berutang dengan valuta asing (valas) dan mengimpor bahan bakar minyak.
Saat ini, Indonesia tidak bisa disandingkan dengan negara-negara yang terlebih dahulu terdampak krisis seperti Argentina, Turki termasuk negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Menurutnya, nilai utang pemerintah dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini sebesar 28,9%. Lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya yaitu Thailand (41,9%), Filipina (37,8%) hingga Malaysia (54,2%).
"Jadi jangan terlalu negatif juga dengan utang pemerintah, jadi kecerdasan finansial itu ya yang paling baik saat ini. Sebenarnya level volatil efek dari eksternal yaitu perang dagang dari AS pasti akan ada terus, tinggal saat ini saja pemerintah yang harus melihat dan menempuh ke arah sustainability," ungkapnya.
(roy) Next Article Apresiasi Rupiah Terhenti, Ini Pemicunya
Melihat kondisi tersebut, Director Investment Strategy Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat mengatakan situasi yang dihadapi saat ini belum mengarah kepada krisis yang fatal. Mengingat perbedaan fundamental ekonomi Indonesia dibandingkan pengalaman di tahun 2008 bahkan 1998.
Ia menambahkan, rupiah saat ini diserbu oleh fenomena new normal dan berbagai kompleksitas yang menyertainya. New normal sendiri mengacu kepada berakhirnya era suku bunga rendah sebagai akibat kebijakan moneter yang sangat longgar ditempuh bank-bank sentral di negara maju.
"Sangat mungkin kawasan ini akhirnya terpukul oleh dampak penguatan mata uang euro yang sangat pesat selama 2017. Disamping penguatan dolar, dunia juga menyaksikan peningkatan harga minyak yang dinilai sebagai keberhasilan pemangkasan produksi oleh OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) disamping penguatan ekonomi global," tambahnya.
Faktor kenaikan suku bunga, penguatan Dolar dan kenaikan harga minyak ini memukul negara berkembang termasuk emerging market yang banyak berutang dengan valuta asing (valas) dan mengimpor bahan bakar minyak.
Saat ini, Indonesia tidak bisa disandingkan dengan negara-negara yang terlebih dahulu terdampak krisis seperti Argentina, Turki termasuk negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Menurutnya, nilai utang pemerintah dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia saat ini sebesar 28,9%. Lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lainnya yaitu Thailand (41,9%), Filipina (37,8%) hingga Malaysia (54,2%).
"Jadi jangan terlalu negatif juga dengan utang pemerintah, jadi kecerdasan finansial itu ya yang paling baik saat ini. Sebenarnya level volatil efek dari eksternal yaitu perang dagang dari AS pasti akan ada terus, tinggal saat ini saja pemerintah yang harus melihat dan menempuh ke arah sustainability," ungkapnya.
(roy) Next Article Apresiasi Rupiah Terhenti, Ini Pemicunya
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular