
Harga Batu Bara Terus Merosot, Terendah Dalam 2,5 Bulan
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
06 September 2018 11:58

Jakarta, CNBC Indonesia- Harga batu bara masih suram di bulan September ini. Harga si batu hitam anjlok hingga 0,48% ke US$114,80/metrik ton (MT) pada penutupan perdagangan hari Rabu (5/9/2018).
Sepanjang bulan September ini, harga batu bara nyaris anjlok 3%. Harga komoditas energi utama dunia ini kini sudah menyentuh titik terendahnya dalam hampir 2,5 bulan terakhir, atau sejak 29 Juli 2018.
Faktor pemberat bagi harga batu bara masih datang dari ekspektasi permintaan yang melambat dari China, importir batu bara terbesar di dunia. Selain itu, kondisi ekonomi negara berkembang yang loyo juga turut membebani harga salah satu komoditas energi utama dunia ini.
Pada hari Senin (3/9/2018), indeks manufaktur PMI China (versi Caixin/Markit) bulan Agustus 2018 diumumkan turun ke angka 50,6. Nilai itu merupakan yang terendah sejak Juni 2017. Penyebabnya adalah penjualan ekspor industri manufaktur Negeri Panda turun selama 5 bulan berturut-turut.
Data ini semakin mepertegas bahwa aktivitas ekonomi di China semakin melambat. Sebelumnya, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% YoY pada bulan sebelumnya, serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.
Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan Juli juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY.
Sementara itu, investasi aset tetap di China hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Pertumbuhan investasi aset tetap tersebut bahkan masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Saat aktivitas ekonomi di China melambat, pelaku pasar khawatir bahwa permintaan batu bara (sebagai sumber energi utama) akan melambat. Sentimen ini lantas menjadi pemberat utama bagi harga batu bara.
Tidak hanya itu, investor kini juga dibuat ketar-ketir oleh lesunya aktivitas ekonomi negara berkembang. Padahal, pasar negara berkembang adalah penggerak utama dari permintaan energi global.
Teranyar, setelah Turki dan Argentina, kini giliran ekonomi Afrika Selatatan (Afsel) yang terpukul. Perekonomian terbesar di Benua Afrika ini resmi jatuh ke jurang resesi setelah mengalami kontraksi ekonomi 0,7% pada kuartal II-2018. Pada kuartal sebelumnya, ekonomi Afsel juga terkontraksi 2,6%.
Merespons data tersebut, mata uang rand amblas 3,3% pada perdagangan kemarin lusa. Pelemahan itu berlanjut dengan koreksi sebesar 0,65% pada perdagangan kemarin. Sejak awal tahun, mata uang Negeri Nelson Mandela sudah anjlok 24,86%, hingga perdagangan kemarin.
Sebelumnya, harga batu bara terus berada dalam tren penguatan sejak Mei 2018, disokong oleh menguatnya permintaan batu bara China akibat musim semi yang lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai.
Namun, kini musim panas mulai berlalu, dan harga batu bara pun kehilangan pijakannya untuk bisa menguat di tengah "badai" yang tengah melanda ekonomi negara berkembang saat ini.
(gus) Next Article Meski Tertekan, Harga Batu Bara Masih Bisa Naik Tipis
Sepanjang bulan September ini, harga batu bara nyaris anjlok 3%. Harga komoditas energi utama dunia ini kini sudah menyentuh titik terendahnya dalam hampir 2,5 bulan terakhir, atau sejak 29 Juli 2018.
Faktor pemberat bagi harga batu bara masih datang dari ekspektasi permintaan yang melambat dari China, importir batu bara terbesar di dunia. Selain itu, kondisi ekonomi negara berkembang yang loyo juga turut membebani harga salah satu komoditas energi utama dunia ini.
![]() |
Pada hari Senin (3/9/2018), indeks manufaktur PMI China (versi Caixin/Markit) bulan Agustus 2018 diumumkan turun ke angka 50,6. Nilai itu merupakan yang terendah sejak Juni 2017. Penyebabnya adalah penjualan ekspor industri manufaktur Negeri Panda turun selama 5 bulan berturut-turut.
Data ini semakin mepertegas bahwa aktivitas ekonomi di China semakin melambat. Sebelumnya, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% YoY pada bulan sebelumnya, serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.
Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan Juli juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY.
Sementara itu, investasi aset tetap di China hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Pertumbuhan investasi aset tetap tersebut bahkan masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Saat aktivitas ekonomi di China melambat, pelaku pasar khawatir bahwa permintaan batu bara (sebagai sumber energi utama) akan melambat. Sentimen ini lantas menjadi pemberat utama bagi harga batu bara.
Tidak hanya itu, investor kini juga dibuat ketar-ketir oleh lesunya aktivitas ekonomi negara berkembang. Padahal, pasar negara berkembang adalah penggerak utama dari permintaan energi global.
Teranyar, setelah Turki dan Argentina, kini giliran ekonomi Afrika Selatatan (Afsel) yang terpukul. Perekonomian terbesar di Benua Afrika ini resmi jatuh ke jurang resesi setelah mengalami kontraksi ekonomi 0,7% pada kuartal II-2018. Pada kuartal sebelumnya, ekonomi Afsel juga terkontraksi 2,6%.
Merespons data tersebut, mata uang rand amblas 3,3% pada perdagangan kemarin lusa. Pelemahan itu berlanjut dengan koreksi sebesar 0,65% pada perdagangan kemarin. Sejak awal tahun, mata uang Negeri Nelson Mandela sudah anjlok 24,86%, hingga perdagangan kemarin.
Sebelumnya, harga batu bara terus berada dalam tren penguatan sejak Mei 2018, disokong oleh menguatnya permintaan batu bara China akibat musim semi yang lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai.
Namun, kini musim panas mulai berlalu, dan harga batu bara pun kehilangan pijakannya untuk bisa menguat di tengah "badai" yang tengah melanda ekonomi negara berkembang saat ini.
(gus) Next Article Meski Tertekan, Harga Batu Bara Masih Bisa Naik Tipis
Most Popular