Jangan Panik, Performa Rupiah Masih Lebih Baik Ketimbang 2015

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2018 16:21
Jangan Panik, Performa Rupiah Masih Lebih Baik Ketimbang 2015
Ilustrasi Uang (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) memang melemah cukup tajam. Mulai terjadi persepsi bahwa kondisi saat ini mirip dengan 2015. 

Pada Senin (3/9/2018), US$ 1 kala penutupan pasar spot dibanderol Rp 14.810. Rupiah melemah 0,58% dibandingkan penutupan akhir pekan lalu. 

Rupiah dibuka melemah 0,07%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah kian dalam. 

Kurs dolar AS hari ini menyentuh titik terkuatnya sepanjang 2018. Ditarik lebih jauh lagi, dolar AS di posisi terkuat sejak Juli 1998, kala Indonesia mengalami krisis ekonomi. 

Jangan Panik, Performa Rupiah Masih Lebih Baik Ketimbang 2015Foto: ilustrasi dollar Amerika (REUTERS/Marcos Brindicci)


Sejak awal tahun, rupiah melemah 7,9% terhadap dolar AS. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang melemah lebih dalam ketimbang rupiah. Kecuali yen Jepang yang bisa menguat 0,5%, mata uang Benua Kuning lainnya melemah meski tidak sedalam rupiah dan rupee. 

Oleh karena itu, beberapa pihak menilai kondisi saat ini agak mirip dengan 2015. Saat itu, rupiah juga melemah cukup dalam. Bahkan rupiah masuk dalam daftar Fragile Five, lima mata uang negara berkembang yang melemah cukup dalam, bersama rupee, real Brasil, rand Afrika Selatan, dan lira Turki. 



Saat itu penyebab depresiasi rupiah juga hampir mirip dengan sekarang. Dari sisi eksternal, penyebabnya adalah The Federal Reserve/The Fed. Pada 2015, aura kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS itu semakin kuat, sesuatu yang telah diwacanakan sejak 2013. 

Semakin lama, hawa kenaikan itu semakin kuat. Akibatnya arus modal tersedot ke Negeri Paman Sam, karena kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di sana menjadi lebih menguntungkan. Seretnya aliran modal ke Indonesia membuat rupiah melemah cukup dalam.  

Sementara dari dalam negeri, investor mencemaskan fundamental ekonomi Indonesia terutama transaksi berjalan (current account). Pada 2015, transaksi berjalan Indonesia mencatat defisit yang cukup dalam.  

 

Transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari sektor perdagangan, ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama dan diyakini lebih bisa menopang penguatan kurs ketimbang devisa dari portofolio keuangan yang bisa datang dan pergi sesuka hati. 

Tahun ini, situasinya hampir sama. The Fed juga memberi tekanan berupa kenaikan suku bunga. Kali ini pertanyaannya bukan kapan dinaikkan, tapi seberapa besar kenaikannya. 

Jerome Powell dan kolega memang lumayan agresif tahun ini. Pelaku pasar memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga empat kali sepanjang 2018, lebih banyak ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali. 

Lagi-lagi sentimen suku bunga acuan The Fed berhasil menyedot arus modal ke AS. Di tengah negara maju lainnya yang masih cenderung akomodatif, AS memang tidak ada lawan. Tidak heran dolar AS begitu diburu pelaku pasar yang berharap keuntungan. 

Sementara dari dalam negeri, kekhawatiran transaksi berjalan pun kembali mengemuka. Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan Indonesia mencatatkan defisit 3,04% PDB. Ini merupakan yang terdalam sejak kuartal III-2014. 

Namun, mengapa pada 2015 rupiah tidak sampai menembus Rp 14.800/US$? Mengapa kala itu pelemahan rupiah paling mentok ada di Rp 14.695/US$? 


Agak sulit menjawab pertanyaan itu. Sebab, ternyata, kinerja rupiah tahun ini lebih baik ketimbang 2015. Kok bisa? 

Meski rupiah terdepresiasi sampai ke kisaran Rp 14.800/US$, tetapi sejak awal 2018 pelemahannya hanya 7,9%. Dalam periode yang sama pada 2015, rupiah sudah melemah 14,44%. 

 

Ada baiknya kita melihat dari persepsi yang berbeda. Secara nominal memang depresiasi rupiah terlihat sangat dalam. Namun secara persentase, ternyata hanya sekitar separuh dari pelemahan 2015. 

Tahun ini, ada satu faktor yang bisa membuat pelemahan rupiah tidak sedalam 2015: cadangan devisa. Pada Desember 2014, posisi cadangan devisa Indonesia adalah US$ 111,9 miliar, sementara Desember 2017 adalah US$ 130,2 miliar. Indonesia punya modal yang lebih kuat untuk mengarungi 2018. 

Dengan modal yang lebih kuat, BI punya amunisi untuk meredam depresiasi rupiah. Kemewahan itu tidak ada pada 2015. 

Namun, bukan berarti Indonesia bisa berleha-leha. Walau depresiasi rupiah belum separah 2015, tetapi ke depan potensi pelemahan lebih lanjut masih sangat terbuka. 

Kalau The Fed benar-benar menaikkan suku bunga empat kali pada 2018, berarti sampai akhir tahun masih tersisa dua kali kenaikan lagi. Setiap kali kenaikan suku bunga di AS, aliran modal akan terkonsentrasi ke Negeri Adidaya. Akibatnya, rupiah hampir pasti tertekan. 

Kemudian, transaksi berjalan Indonesia juga masih rawan. Pada Juli 2018, neraca perdagangan mengalami defisit sampai US$ 2,03 miliar, terdalam sejak 2014.  Ini membuat prospek transaksi berjalan kuartal III-2018 agak suram. Defisit yang agak dalam kemungkinan bisa terulang. Artinya, sokongan devisa untuk penguatan rupiah masih akan minim.  


TIM RISET CNBC INDONESIA



Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular