Pundak BI Menopang Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
03 September 2018 08:48
Pundak BI Menopang Rupiah
Ilustrasi Uang (REUTERS/Marcos Brindicci)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melanjutkan pelemahannya pada perdagangan awal pekan ini. Dengan posisi dolar AS yang masih menjadi darling-nya investor, sepertinya tidak banyak ruang bagi rupiah untuk membalikkan kedudukan. 

Pada Senin (3/9/2018), US$ 1 dihargai Rp 14.735 kala pembukaan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 


Rupiah sudah melemah dalam 4 hari perdagangan terakhir. Bila rupiah terus di zona negatif sampai akhir perdagangan, maka ini akan menjadi hari ke-5. 

Namun rupiah tidak sendiri. Berbagai mata uang utama Asia pun kurang bertaring menghadapi dolar AS. 

Rupee India menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam. Disusul oleh ringgit Malaysia dan won Korea Selatan. Rupiah masih agak beruntung karena hanya terkoreksi tipis. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama Asia pada pukul 08:19 WIB: 



Memang agak sulit menandingi dolar AS. pada pukul 08:22 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama) menguat 0,07%. 

Hari ini, penguatan greenback dipicu oleh gagalnya kesepakatan dagang AS-Kanada. Setelah berunding selama 4 hari, Washington dan Ottawa gagal mencapai kesepakatan dagang dalam rangka pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA). 

Salah satu isu yang menjadi pemberat dalam dialog ini adalah kebijakan Kanada yang mengenakan bea masuk tinggi untuk produk olahan susu (dairy product). Kanada melakukan itu demi melindungi peternak dalam negeri, tetapi AS menudingnya sebagai upaya proteksi dan perdagangan tidak adil. 

Dengan tertundanya kesepakatan AS-Kanada, maka ada kemungkinan Presiden AS Donald Trump akan mengenakan bea masuk bagi mobil made in Canada. Hal tersebut dikatakan Trump sebelum perundingan. 

"Saya rasa kalau dengan Kanada yang paling gampang adalah mengenakan bea masuk bagi mobil-mobil mereka. Itu uang yang sangat besar," ujar Trump sebelum negosiasi dimulai, dikutip dari Reuters. 

Kini, walau belum bicara soal pengenaan bea masuk untuk mobil, Trump mulai galak terhadap Kanada. Trump sepertinya akan mengajukan rencana pembaruan NAFTA dengan hanya menyertakan kesepakatan AS-Meksiko, sementara dengan Kanada berstatus ditunda (pending). 

"Tidak ada kebutuhan untuk mengikutsertakan Kanada dalam perjanjian NAFTA yang baru. Jika mereka tidak bisa menerapkan perdagangan yang adil kepada AS setelah puluhan tahun menindas, Kanada akan keluar," tegas Trump melalui cuitan di Twitter. 

Panasnya hubungan AS-Kanada bisa menjadi risiko besar bagi pasar keuangan Asia hari ini, termasuk Indonesia. Sepertinya kedua tetangga ini masih akan memasang mode perang dagang, dan bisa sangat mempengaruhi mood pelaku pasar. Biasanya investor cenderung hati-hati dan bermain aman saat isu perang dagang mengemuka. Maklum, perang dagang adalah isu besar yang bisa mengancam pertumbuhan ekonomi dunia. 

Perilaku ini ditunjukkan dengan melepas aset-aset berisiko, terutama di negara-negara berkembang. Kalau ini terus terjadi, tentunya bukan kabar baik bagi rupiah dan rekan di Asia. 


Meski begitu, rupiah masih punya dua harapan. Pertama pengumuman data inflasi Agustus 2018 yang akan dirilis Badan Pusat Statistik pada pukul 11:00 WIB.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi sebesar 0,07% secara bulanan (month-to-month/MtM). Kemudian inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 3,33%, sedangkan inflasi inti YoY ada di 2,89%.

Sementara Bank Indonesia (BI) memperkirakan laju inflasi Agustus sebesar 0,06% MtM. Ini membuat inflasi secara YoY ada di 3,19%. Proyeksi BI lebih optimistis dibandingkan pelaku pasar.

Bila realisasi inflasi sesuai dengan konsensus, maka laju inflasi 2018 akan melambat lumayan signifikan dibandingkan bulan sebelumnya. Pada Juli, inflasi MtM ada di 0,28%. Hal ini terjadi seiring siklus penurunan permintaan setelah mencapai puncaknya pada periode Ramadhan-Idul Fitri.  

Meski begitu, secara tahunan malah terjadi akselerasi yang cukup tajam karena inflasi Juli secara YoY adalah 3,18%. Inflasi inti juga menunjukkan akselerasi, karena posisi Juli ada di 2,87% YoY.  

Hal ini bisa menjadi pertanda bahwa konsumsi masyarakat masih menggeliat. Oleh karena itu, apabila realisasi inflasi (khususnya peningkatan inflasi inti) ternyata sesuai ekspektasi pasar, maka bisa menjadi berita baik bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan yang sejatinya sangat erat dengan konsumsi masyarakat. Aliran dana ke saham-saham itu bisa menjadi amunisi bagi rupiah untuk berbalik arah, atau minimal menipiskan pelemahan.

Sementara harapan kedua adalah intervensi BI. Akhir pekan lalu, rupiah memang sudah menembus level Rp 14.700/US$ dan menyentuh titik terlemah sejak Juli 1998, kala Indonesia dilanda krisis ekonomi dahsyat. Namun, terlihat bahwa BI giat bergerilya di pasar sehingga rupiah tidak melemah lebih dalam.


Tanpa campur tangan BI, bukan tidak mungkin rupiah terus melemah. Pasalnya, di pasar Non-Deliverable Forwards, rupiah sudah melemah sangat dalam dan level Rp 15.000 adalah hal yang umum dijumpai. Bahkan sampai pagi ini, kurs dolar AS di pasar NDF masih sangat menyeramkan sedangkan di pasar spot bertahan di Rp 14.735/US$.

Berikut perkembangan kurs dolar AS di pasar NDF pada pukul 08:40 WIB:



Oleh karena itu, rupiah berharap banyak dari aksi BI di pasar. Upaya stabilisasi BI bisa meringkankan derita rupiah agar tidak melemah terlalu dalam, atau bahkan mungkin saja mampu berbalik menguat. Meski itu akan dibayar dengan semakin merosotnya cadangan devisa.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular