
IHSG Terbaik Kedua Asia, Tapi Harus Waspada
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 September 2018 11:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak menguat sepanjang pekan ini. Namun dalam 2 hari perdagangan teraKhir, IHSG melemah dan ini perlu mendapat perhatian.
Sepanjang pekan ini, IHSG menguat 0,83%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga mampu membukukan cuan.
Dalam perdagangan pekan ini, indeks Straits Time menguat tipis 0,01%, Nikkei 225 surplus 0,69%, Hang Seng bertambah 0,78%, dan Kospi melesat 1,29%. Di antara bursa saham utama Asia ini, IHSG boleh menepuk dada karena menjadi terbaik kedua setelah Kospi.
IHSG dkk di Asia juga berjalan seiring dengan Wall Street. Dow Jones Industrial Average (DJIA) naik 0,67%, S&P 500 menguat 0,93%, dan Nasdaq Composite lompat 2,06%.
Sentimen eksternal memang kondusif untuk pasar saham. Pada awal pekan, pasar saham dunia (termasuk Indonesia) melejit karena pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, dalam pertemuan tahunan di Jackson Hole.
Dalam pidato tersebut, Powell menyatakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual, sesuatu yang sudah lama dimengerti pelaku pasar. Namun ada beberapa kalimat yang menjadi energi bagi pasar saham.
"Dengan angka pengangguran yang rendah, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter? Dengan problem inflasi yang belum kelihatan, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter yang bisa menghambat penciptaan lapangan kerja dan ekspansi ekonomi? Kami hanya ingin bergerak hati-hati. Kenaikan suku bunga secara gradual adalah langkah kami untuk mengatasi risiko tersebut (inflasi dan ekspansi ekonomi yang terlalu kencang)," ungkap Powell, mengutip Reuters.
Pernyataan itu menyiratkan bahwa Amerika Serikat (AS) belum mengalami ancaman inflasi yang serius. Artinya, justru ada kemungkinan The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Dengan inflasi yang masih sesuai harapan, maka sepertinya belum ada kebutuhan bagi The Fed untuk lebih agresif dalam pengetatan kebijakan moneter.
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah. Pernyataan Powell ini tentu menjadi energi baru bagi laju pasar saham dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Sentimen positif kedua adalah damai dagang AS-Meksiko. Pekan ini, kedua tetangga itu telah mencapai kesepakatan terkait pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Sebelumnya, AS dan Meksiko beberapa kali terlibat friksi dagang. Saling balas pengenaan bea masuk pun terjadi, yang membuat hubungan keduanya memanas.
Namun dengan kesepakatan NAFTA itu, hubungan AS-Meksiko bisa dipulihkan. Bahkan ada kemungkinan bea masuk yang sudah diterapkan akan dicabut.
Aura damai dagang ini membuat investor bergairah dan siap mengambil risiko. Aliran dana pun masuk ke instrumen-instrumen berisiko seperti saham. Pekan ini, investor asing membukukan beli bersih Rp 1,02 triliun di pasar saham Indonesia.
Sepanjang pekan ini, IHSG menguat 0,83%. IHSG bergerak searah dengan bursa saham utama Asia yang juga mampu membukukan cuan.
Dalam perdagangan pekan ini, indeks Straits Time menguat tipis 0,01%, Nikkei 225 surplus 0,69%, Hang Seng bertambah 0,78%, dan Kospi melesat 1,29%. Di antara bursa saham utama Asia ini, IHSG boleh menepuk dada karena menjadi terbaik kedua setelah Kospi.
Sentimen eksternal memang kondusif untuk pasar saham. Pada awal pekan, pasar saham dunia (termasuk Indonesia) melejit karena pidato Jerome Powell, Gubernur The Federal Reserve/The Fed, dalam pertemuan tahunan di Jackson Hole.
Dalam pidato tersebut, Powell menyatakan The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan secara gradual, sesuatu yang sudah lama dimengerti pelaku pasar. Namun ada beberapa kalimat yang menjadi energi bagi pasar saham.
"Dengan angka pengangguran yang rendah, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter? Dengan problem inflasi yang belum kelihatan, mengapa kami mengetatkan kebijakan moneter yang bisa menghambat penciptaan lapangan kerja dan ekspansi ekonomi? Kami hanya ingin bergerak hati-hati. Kenaikan suku bunga secara gradual adalah langkah kami untuk mengatasi risiko tersebut (inflasi dan ekspansi ekonomi yang terlalu kencang)," ungkap Powell, mengutip Reuters.
Pernyataan itu menyiratkan bahwa Amerika Serikat (AS) belum mengalami ancaman inflasi yang serius. Artinya, justru ada kemungkinan The Fed tidak terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga acuan. Dengan inflasi yang masih sesuai harapan, maka sepertinya belum ada kebutuhan bagi The Fed untuk lebih agresif dalam pengetatan kebijakan moneter.
Saham adalah instrumen yang bekerja optimal di lingkungan suku bunga rendah. Pernyataan Powell ini tentu menjadi energi baru bagi laju pasar saham dunia, tidak terkecuali di Indonesia.
Sentimen positif kedua adalah damai dagang AS-Meksiko. Pekan ini, kedua tetangga itu telah mencapai kesepakatan terkait pembaruan Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA).
Sebelumnya, AS dan Meksiko beberapa kali terlibat friksi dagang. Saling balas pengenaan bea masuk pun terjadi, yang membuat hubungan keduanya memanas.
Namun dengan kesepakatan NAFTA itu, hubungan AS-Meksiko bisa dipulihkan. Bahkan ada kemungkinan bea masuk yang sudah diterapkan akan dicabut.
Aura damai dagang ini membuat investor bergairah dan siap mengambil risiko. Aliran dana pun masuk ke instrumen-instrumen berisiko seperti saham. Pekan ini, investor asing membukukan beli bersih Rp 1,02 triliun di pasar saham Indonesia.
Next Page
IHSG Wajib Waspada
Pages
Most Popular