Dolar Tembus Rp 14.700, Simak Pendapat Para Ekonom Asing

Bernhart Farras, CNBC Indonesia
31 August 2018 11:38
Pendapat ekonom terkait pelemahan rupiah yang sudah menembus Rp 14.700 per dolar AS.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) telah menyentuh level terendahnya sejak krisis ekonomi tahun 1998. Rupiah telah melemah ke level Rp 14.725 per dolar AS pukul 11.00 WIB setelah lira Turki dan peso Argentina rontok dan menambah tekanan terhadap mata uang berbagai negara berkembang.

Tim Riset CNBC Indonesia menulis bahwa pelemahan rupiah ini disebabkan oleh kuatnya dolar AS yang ditambah dengan terus melebarnya defisit transaksi berjalan Indonesia.



Depresiasi ini tidak hanya dialami Indonesia namun juga beberapa negara berkembang lainnya, seperti India, Afrika Selatan, dan Brasil, selain Turki dan Argentina.

"Kinerja rupiah cenderung lemah dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Hal tersebut berasal dari posisi pembayaran eksternal Indonesia yang lemah, terutama defisit neraca berjalan," kata Prakash Sakpal, ekonom yang berbasis di Singapura di ING Groep NV, dikutip dari Bloomberg.com. Namun, "keadaan sekarang telah jauh berbeda dari 20 tahun yang lalu ketika krisis berasal dari Asia dan kelayakan kredit eksternal rupiah jauh lebih lemah."

Negara-negara dengan defisit neraca berjalan besar seperti Indonesia dan India juga telah merasakan mata uang dan obligasi mereka berada di bawah tekanan jual. Hal tersebut disebabkan oleh investor yang membuang aset Turki dan Argentina.

Aksi jual baru-baru ini akan memberikan lebih banyak tekanan pada bank sentral untuk menaikkan suku bunga lagi, menurut Bank of America Merrill Lynch.



"Hanya untuk menunjukkan lingkungan eksternal tetap sulit bagi Indonesia seperti yang telah kami antisipasi," kata Mohamed Faiz Nagutha, seorang ekonom di Bank of America Merrill Lynch di Singapura, tulis Bloomberg.com. "Kami terus memperkirakan ada lebih banyak kenaikan [suku bunga], dengan besaran yang lebih ditentukan oleh kondisi eksternal daripada fundamental dalam negeri."

Sejak awal tahun, rupiah melemah 7,4% di hadapan greenback. Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang terdepresiasi lebih dalam ketimbang rupiah.

"Dampak dari munculnya kembali gejolak pasar negara berkembang di peso Argentina dan lira Turki, membebani mata uang pasar berkembang Asia," kata Ken Cheung, senior FX strategist di Mizuho Bank Ltd di Singapura.

"Tidak ada tanda-tanda kuat meredanya ketegangan perdagangan China-AS. Ketegangan perdagangan, dan rencana tarif AS pada barang-barang China senilai US$200 miliar (Rp 6.951 triliun), yang diterapkan setelah periode komentar publik yang jatuh tempo minggu depan, dapat membahayakan sentimen. "

Pelemahan rupiah telah menambah defisit akun Indonesia saat ini. Nilai defisit meningkat menjadi US$8 miliar pada kuartal kedua, atau 3% dari produk domestik bruto, dari US$5,7 miliar dalam tiga bulan sebelumnya, menurut data terbaru bank sentral.

Para investor termasuk Western Asset Management Co. baru-baru ini mengatakan adanya kesempatan membeli obligasi Indonesia, mengingat fundamental domestik yang sehat dan bank sentral yang proaktif. Dengan kepemilikan asing yang hampir 40% dari seluruh obligasi negara, Indonesia sangat rentan terhadap gejolak di pasar global.

Terlepas dari aksi jual rupiah, investor dapat mempertimbangkan "beberapa perbaikan mendasar dalam ekonomi Indonesia" sejak krisis Asia 1998, kata Michael Every, head of financial markets research untuk Rabobank Group di Hong Kong, Bloomberg.com melaporkan.

"Setelah apa yang kita lihat di Turki, pasar mulai bertanya negara mana selanjutnya: [apakah] Afrika Selatan, Brasil, Indonesia," kata Eric Wong, manajer portofolio aset pendapatan tetap di Fidelity International, dikutip dari Wall Street Journal.

"Pasar saat ini masih dicengkeram ketakutan, dan mencoba membedakan antara yang baik dan buruk," tambahnya.



Lira Turki kembali melemah hingga 4% pada hari Kamis menjadi 6,74 per dolar AS, CNBC International melaporkan. Mata uang ini telah terdepresiasi sekitar 40% sepanjang tahun 2018.

Kekacauan mata uang di berbagai negara berkembang menggarisbawahi ketergantungan internasional yang besar terhadap dolar.

Sekitar 48% dari total utang luar negeri global senilai US$30 triliun menggunakan denominasi dolar AS, naik dari 40% satu dekade lalu, tulis Wall Street Journal.
(prm) Next Article BI: 2019, Rupiah Lebih Stabil!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular