, rupiah cenderung tertekan di hadapan mata uang global. Terhadap dolar Amerika Serikat (AS), depresiasi rupiah bahkan telah menyentuh di atas 20%. Kondisi ini rupanya ikut menular di hadapan mata uang lain, misalnya
.
Di awal tahun ini saja, rupiah telah terdepresiasi di hadapan mata uang Negeri Singa hingga 5,62%. Kondisi ekonomi dua negara pun ditengarai menjadi penyebab pergerakan kedua mata uang tersebut. Lalu bagaimana pada tahun-tahun sebelumnya? Apakah pelemahannya jauh lebih parah atau sebaliknya. Kira-kira variabel apa yang bisa mempengaruhi pergerakan tersebut.
Berikut tim CNBC Indonesia coba menelisik hal tersebut.
Saat Jokowi dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2014, posisi rupiah berada di Rp 9.471,70/SG$. Posisi tersebut sempat melemah pada pertengahan desember 2014 hingga menyentuh Rp 9.720,73/SG$ atau posisi terlemah sepanjang sejarah.
Namun menjelang akhir, rupiah mampu menguat dan ditutup pada posisi Rp 9.337,05/SG$. Ini berarti selama periode awal kepemimpinan Jokowi, rupiah mampu menguat terhadap dolar Singapura hingga 1,42%.
 Foto: Tim Riset CNBC Indonesia |
Pada tahun berikutnya, rupiah tidak mampu mempertahankan penguatannya. Di awal tahun, posisi rupiah berada di Rp 9.343,40/SG$. Sementara di akhir tahun, posisi rupiah berada Rp 9.721,44/SG$. Rupiah pun mengalami depresiasi hingga 4,12%.
 Foto: Tim Riset CNBC Indonesia |
Beberapa faktor ditenggarai menjadi hal yang menyebabkan rupiah cenderung tertekan di hadapan mata uang tersebut. Salah satu variabel ekonomi yang ditengarai mempengaruhi pergerakan tersebut yaitu tingkat penjualan ritel. Geliat ekonomi Singapura yang tumbuh, ikut mendorong kenaikan penjualan ritel di negara tersebut.
Data kantor statistik Singapura memperlihatkan di awal tahun, penjualan ritel tumbuh minus 5,3% Year-on-Year (YoY). Namun di akhir tahun, kondisi tersebut membaik, sehingga mampu tumbuh hingga 2,9% YoY.
Di Indonesia pun, tingkat penjualan ritel juga tumbuh. Dari 10,9% di awal tahun, menjadi 11,3% pada akhir tahun. Namun dengan fakta pertumbuhan ritel di Singapura jauh lebih tinggi, disinyalir mempengaruhi posisi dolar Singapura lebih perkasa dibandingkan rupiah. Akibatnya, rupiah pun terdepresiasi di periode tersebut.
Di periode tersebut, rupiah kembali menunjukkan keperkasaannya di hadapan dolar Singapura. Di awal tahun, posisi rupiah berada di Rp 9.702,07/SG$ dan di akhir tahun berada di Rp 9.297,35/SG$. Rupiah pun mampu mencetak apresiasi hingga 4,35%.
 Foto: Tim Riset CNBC Indonesia |
Jika kita menggunakan variabel yang sama di 2015 yaitu tingkat penjualan ritel, bisa jadi hal ini yang menyebabkan rupiah mampu membalikan keadaan. Pada periode tersebut, tingkat penjualan ritel di Singapura turun drastis. Di awal tahun, pertumbuhan sempat mencapai 7,9% YoY. Namun di akhir tahun, pertumbuhan penjualan ritel hanya 0,6% YoY.
Meningkatnya jumlah pengangguran bisa jadi penyebabnya. Selama periode tersebut, tingkat pengangguran naik dari 1,6% menjadi 2,2%. Akibatnya, daya beli masyarakat pun menurun dan berpengaruh terhadap permintaan barang di sektor ritel.
Penjualan ritel di Indonesia sebenarnya ikut turun. Dari 12,9% di awal tahun menjadi 10,5% pada akhir tahun. Akan tetapi, kondisi penjualan ritel di Singapura yang turun lebih signifikan bisa menjadi penyebab dolar Singapura cenderung lesu di hadapan rupiah pada tahun tersebut.
Di periode ini, posisi rupiah terhadap dolar Singapura menembus di atas Rp 10.000/SG$. Di awal tahun, posisi rupiah berada di Rp 9.283,25/SG$. Sementara di akhir tahun, rupiah berada di Rp 10.140,54/SG$. Terhitung depresiasi rupiah mencapai 9,23%.
 Foto: Tim Riset CNBC Indonesia |
Jika kita merujuk variabel ekonomi yang sama, lagi-lagi kondisi ini selaras. Di awal tahun, posisi penjualan ritel Singapura tumbuh hingga 2,9% YoY. Sementara di akhir tahun, angka ini meningkat hingga 6,3% YoY. Sementara Indonesia, justru sebaliknya. Pada awal tahun, tingkat penjualan ritel tumbuh hingga 6,3% YoY. Namun di akhir tahun justru lesu, dan hanya tumbuh 0,7% YoY.
Hal ini yang ditengarai menjadi penyebab rupiah kembali tertekan di hadapan rupiah hingga terdepresiasi lebih dari 9%. Hingga Selasa (28/8/2018), rupiah telah terdepresiasi hingga 5,62%. Jika kita melihat tingkat penjualan ritel kedua negara di awal tahun, sama sama mencatatkan pertumbuhan minus. Ritel di Singapura tumbuh minus 7,6% YoY dan Indonesia tumbuh minus 1,8% YoY. Sementara sampai bulan Juni, kondisi penjualan ritel kedua negara mulai menunjukkan perbaikan.
Di Singapura, penjualan ritel tumbuh hingga 2% YoY dan Indonesia tumbuh hingga 2,3% YoY. Meskipun secara angka Indonesia jauh lebih unggul, namun pertumbuhan signifikan yang ditujukan Singapura sepertinya lebih diapresiasi investor global. Akibatnya rupiah pun terdepresiasi hingga berada di posisi Rp 10.725,82/SG$ atau terlemah sepanjang sejarah
 Foto: Tim Riset CNBC Indonesia |