
Prospek Ekonomi Global Suram, Harga Minyak Loyo
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
20 August 2018 09:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Oktober 2018 turun 0,26% ke level US$71,64/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak September 2018 juga melemah 0,14% ke US$65,82/barel pada perdagangan hari ini Senin (20/08/2018) hingga pukul 09.30 WIB.
Harga "emas hitam" masih melanjutkan tren negatif, di mana harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) mencatatkan penurunan mingguan ke-7 secara berturut-turut, dengan melemah sebesar 2,54% di sepanjang pekan lalu. Sementara itu, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa juga membukukan pelemahan mingguan ke-3 secara beruntun, dengan terkoreksi sebesar 1,35% di pekan lalu.
Tekanan bagi harga minyak pagi ini masih datang kekhawatiran investor terkait perlambatan ekonomi global, yang akan mempengaruhi volume permintaan minyak dunia. "Data Industri yang mengecewakan di China, beserta kekhawatiran pada ekonomi emerging market yang berpusat di Turki telah membebani harga komoditas," ujar Edward Bell dari Bank NBD Emirates, seperti dikutip dari Reuters.
Sebagai informasi, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% dari bulan sebelumnya serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.
Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan lalu juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY. Sementara itu, investasi aset tetap di China juga hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Sebagai catatan, pertumbuhan investasi aset tetap tersebut masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Sebelumnya, indikator gabungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang mencakup ekonomi maju di negara barat, plus China, India, Rusia, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan, terus menunjukkan pola penurunan sejak bulan Januari 2018.
Prospek permintaan minyak global yang lesu juga sempat disampaikan pada laporan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bulan ini. Dokumen tersebut mengekspektasikan permintaan minyak dunia akan tumbuh 1,43 juta barrel/hari pada 2019, turun dari 1,64 juta barrel/hari pada 2018.
Meski demikian, kejatuhan harga minyak masih tertahan oleh investor yang masih mewaspadai perkembangan sanksi AS kepada Iran. Sanksi tersebut menargetkan sektor finansial per Agustus 2018, dan akan mencakup ekspor minyak mentah pada November 2018 mendatang. Analis memprediksi sanksi tersebut dapat menghilangkan 1 juta barel/hari pasokan minyak mentah Iran dari pasar di tahun depan.
Pada hari Minggu (19/08/2018), Iran memberitahu Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bahwa seharusnya tidak boleh ada anggota OPEC yang diperbolehkan untuk mengambil alih bagian ekspor minyak dari anggota lainnya. Hal itu dikemukakan Teheran untuk mengkritik penawaran Arab Saudi untuk menggenjot produksi minyaknya untuk mengompensasi berkurangnya ekspor dari Iran.
Kemudian, di waktu yang sama, wakil presiden Iran Eshaq Jahangiri menyatakan bahwa pemerintah sedang mencari solusi untuk tetap menjual minyaknya dan meraup pendapatan meski sanksi AS membayangi.
"Kita berharap bahwa negara-negara Eropa dapat memenuhi komitmen mereka. Bahkan jika mereka tidak bisa, kita akan mencari solusi untuk menjual minyak kita dan meraup pendapatan," ujar Eshaq seperti dikutip oleh agen berita negara IRNA, seperti dilansir pada Reuters.
(RHG/hps) Next Article OPEC & Konflik Timur Tengah Angkat Harga Minyak Hari Ini
Harga "emas hitam" masih melanjutkan tren negatif, di mana harga minyak light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) mencatatkan penurunan mingguan ke-7 secara berturut-turut, dengan melemah sebesar 2,54% di sepanjang pekan lalu. Sementara itu, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa juga membukukan pelemahan mingguan ke-3 secara beruntun, dengan terkoreksi sebesar 1,35% di pekan lalu.
Sebagai informasi, pertumbuhan penjualan ritel China hanya naik sebesar 8,8% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan Juli 2018, turun dari 9% dari bulan sebelumnya serta naik lebih lambat dari ekspektasi pasar sebesar 9,1% YoY.
Kemudian, pertumbuhan produksi industri Negeri Panda bulan lalu juga hanya naik 6% YoY, lebih rendah dari ekspektasi pasar sebesar 6,3% YoY. Sementara itu, investasi aset tetap di China juga hanya naik 5,5% YoY pada periode Januari-Juli 2018, meleset dari ekspektasi pasar yang meramalkan pertumbuhan sebesar 6% YoY. Sebagai catatan, pertumbuhan investasi aset tetap tersebut masih berada di level terendah sejak 1996, mengutip data Reuters.
Sebelumnya, indikator gabungan Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), yang mencakup ekonomi maju di negara barat, plus China, India, Rusia, Brasil, Indonesia, dan Afrika Selatan, terus menunjukkan pola penurunan sejak bulan Januari 2018.
Prospek permintaan minyak global yang lesu juga sempat disampaikan pada laporan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bulan ini. Dokumen tersebut mengekspektasikan permintaan minyak dunia akan tumbuh 1,43 juta barrel/hari pada 2019, turun dari 1,64 juta barrel/hari pada 2018.
Meski demikian, kejatuhan harga minyak masih tertahan oleh investor yang masih mewaspadai perkembangan sanksi AS kepada Iran. Sanksi tersebut menargetkan sektor finansial per Agustus 2018, dan akan mencakup ekspor minyak mentah pada November 2018 mendatang. Analis memprediksi sanksi tersebut dapat menghilangkan 1 juta barel/hari pasokan minyak mentah Iran dari pasar di tahun depan.
Pada hari Minggu (19/08/2018), Iran memberitahu Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) bahwa seharusnya tidak boleh ada anggota OPEC yang diperbolehkan untuk mengambil alih bagian ekspor minyak dari anggota lainnya. Hal itu dikemukakan Teheran untuk mengkritik penawaran Arab Saudi untuk menggenjot produksi minyaknya untuk mengompensasi berkurangnya ekspor dari Iran.
Kemudian, di waktu yang sama, wakil presiden Iran Eshaq Jahangiri menyatakan bahwa pemerintah sedang mencari solusi untuk tetap menjual minyaknya dan meraup pendapatan meski sanksi AS membayangi.
"Kita berharap bahwa negara-negara Eropa dapat memenuhi komitmen mereka. Bahkan jika mereka tidak bisa, kita akan mencari solusi untuk menjual minyak kita dan meraup pendapatan," ujar Eshaq seperti dikutip oleh agen berita negara IRNA, seperti dilansir pada Reuters.
(RHG/hps) Next Article OPEC & Konflik Timur Tengah Angkat Harga Minyak Hari Ini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular