
Cermati 4 Sentimen Penggerak IHSG Pekan Depan
Alfado Agustio, CNBC Indonesia
19 August 2018 18:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan depan, beberapa sentimen baik dari dalam maupun luar negeri akan menggerakkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Namun, hal tersebut belum banyak berdampak posisi rupiah yang masih bergerak di atas Rp 14.600/US$. Pelemahan rupiah yang masih dalam menyebabkan investor enggan masuk ke pasar saham. Hal ini disebabkan investasi di aset-aset berdenominasi rupiah akan kurang menguntungkan.
Dalam seminggu ini, bisa jadi pelemahan rupiah akan berlanjut. Dari dalam negeri, praktis hanya kenaikan suku bunga acuan yang menjadi sentimen positif. Namun di sisi lain, ada sentimen negatif berupa data neraca perdagangan Indonesia di Juli 2018 yang defisit hingga US$2,03 miliar atau tertinggi sejak Juli 2013.
Praktis kedua sentimen domestik tersebut bisa saling tarik, sehingga pergerakan rupiah akan menjadi dinamis. Kondisi ini perlu diamati oleh investor, sebab pergerakan rupiah menjadi pertimbangan investor untuk masuk ke pasar keuangan khusunya pasar saham. Pekan ini, mata uang lira anjlok cukup dalam. Memanasnya hubungan antara AS-Turki menyebabkan investor asing meninggalkan Negeri Kebab, sehingga hal ini mendorong lira terdepresiasi.
Pengenaan bea impor oleh masing-masing negara menjadi penyebab utama memanasnya hubungan kedua negara. AS sendiri telah mengenakan bea impor sebesar 50% bagi produk baja dan 25% bagi produk alumunium Turki.
Namun turki tidak tinggal diam. Negara tersebut melakukan aksi yang sama dengan mengenakan bea masuk dua kali lipat terhadap mobil penumpang menjadi 120%, minuman beralkohol ke 140%, dan daun tembakau menjadi 60%. Tarif impor juga dinaikkan untuk produk-produk seperti kosmetik, beras, dan batu bara.
Tensi kedua negara sempat mereda sesaat, namun tidak lama kembali memanas. Penyebabnya karena pengadilan Turki yang menolak permohonan pembebasan Pastor AS Andrew Brunson. Hal ini membuat AS gusar. Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin mengatakan kepada Trump pada pertemuan kabinet hari Kamis (16/8/2018) bahwa sanksi baru siap diberlakukan jika Brunson tidak dibebaskan.
Kabar terbaru, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersumpah negaranya tidak akan tunduk pada kehendak Amerika Serikat (AS). Hal ini menyebabkan hubungan antara kedua negara sulit akur. Jika ini terus terjadi, maka depresiasi lira akan berlanjut. Pada Jumat (17/8/2018) lira telah anjlok hingga 5%.
Anjloknya mata uang tersebut memicu kekhawatiran investor, terutama stabilitas pasar keuangan global. Saat lira anjlok, mata perusahaan-perusahaan di Turki dihadapkan pada nilai utang yang meningkat. Akibatnya potensi gagal bayar (default) mengemuka.
Perusahaan-perusahaan di negara tersebut diketahui juga berutang kepada lembaga keuangan di luar Turki, utamanya Eropa. Jika gagal bayar terjadi, ketersediaan likuiditas lembaga keuangan akan terganggu sehingga mengancam stabilitas pasar keuangan global.
Kondisi ini ikut mempengaruhi pergerakan IHSG ke depannya karena menjadi salah satu pertimbangan investor baik domestik maupun asing sebelum melakukan investasi di pasar saham emerging market seperti Indonesia. Pada Rabu (22/8/2018) Energy Information Administration (EIA) akan merilis data terbaru cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam. Konsensus yang dihimpun Trading Economics memperkirakan cadangan minyak mentah AS akan naik 2,7 juta barel.
Jika angka ini benar, maka akan berpengaruh terhadap persediaan minyak global yang melimpah. Kondisi tersebut akan mendorong harga minyak global berpotensi turun.
Penurunan harga minyak tentu bukan kabar baik bagi IHSG.
Di kala harga minyak turun, maka saham-saham perusahaan tambang dan energi kurang diapresiasi investor. Akibatnya harga saham bergerak turun sehingga indeks akan ikut terdampak. Pada Rabu (22/8/2018) waktu setempat atau Kamis waktu Indonesia, bank sentral AS Federal Reserve/The Fed akan merilis risalah rapat FOMC yang diadakan 31 Juli hingga 1 Agustus lalu.
Sejak awal tahun, The Fed baru menaikkan suku bunga sebesar 50 bps ke rentang 1,75%-2%. Pada hasil rapat bulan lalu, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan. Namun ke depannya, peluang kenaikan suku bunga acuan terbuka lebar.
Kondisi perekonomian di AS yang terus membaik, dipastikan menjadikan pertimbangan The Fed untuk kembali mengetatkan kebijakan moneternya.
Rilis risalah rapat FOMC pekan depan diperkirakan akan memperkuat sinyal The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat. Bahkan The Fed Watch memperkirakan suku bunga acuan akan naik 25 bps pada September mendatang, dengan keyakinan mencapai 93,6%.
Sinyal kenaikan suku bunga acuan yang masih kuat, diperkirakan akan mempengaruhi pergerakan IHSG. Jika Rabu besok The Fed memberikan sinyal positif terkait hal tersebut, maka investor bisa beralih dari pasar saham Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Tim Riset CNBC Indonesia merangkumnya untuk Anda sebagai berikut.
Pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Kurs rupiah terhadap greenback tentu saja menjadi faktor yang dipertimbangkan investor, khususnya asing. Selama seminggu kemarin, rupiah telah terdepresiasi hingga 1% lebih. Bank Indonesia (BI) telah menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin ke 5,5% untuk menahan laju pelemahan rupiah.Pergerakan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Namun, hal tersebut belum banyak berdampak posisi rupiah yang masih bergerak di atas Rp 14.600/US$. Pelemahan rupiah yang masih dalam menyebabkan investor enggan masuk ke pasar saham. Hal ini disebabkan investasi di aset-aset berdenominasi rupiah akan kurang menguntungkan.
Praktis kedua sentimen domestik tersebut bisa saling tarik, sehingga pergerakan rupiah akan menjadi dinamis. Kondisi ini perlu diamati oleh investor, sebab pergerakan rupiah menjadi pertimbangan investor untuk masuk ke pasar keuangan khusunya pasar saham. Pekan ini, mata uang lira anjlok cukup dalam. Memanasnya hubungan antara AS-Turki menyebabkan investor asing meninggalkan Negeri Kebab, sehingga hal ini mendorong lira terdepresiasi.
Pengenaan bea impor oleh masing-masing negara menjadi penyebab utama memanasnya hubungan kedua negara. AS sendiri telah mengenakan bea impor sebesar 50% bagi produk baja dan 25% bagi produk alumunium Turki.
Namun turki tidak tinggal diam. Negara tersebut melakukan aksi yang sama dengan mengenakan bea masuk dua kali lipat terhadap mobil penumpang menjadi 120%, minuman beralkohol ke 140%, dan daun tembakau menjadi 60%. Tarif impor juga dinaikkan untuk produk-produk seperti kosmetik, beras, dan batu bara.
Tensi kedua negara sempat mereda sesaat, namun tidak lama kembali memanas. Penyebabnya karena pengadilan Turki yang menolak permohonan pembebasan Pastor AS Andrew Brunson. Hal ini membuat AS gusar. Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin mengatakan kepada Trump pada pertemuan kabinet hari Kamis (16/8/2018) bahwa sanksi baru siap diberlakukan jika Brunson tidak dibebaskan.
Kabar terbaru, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan bersumpah negaranya tidak akan tunduk pada kehendak Amerika Serikat (AS). Hal ini menyebabkan hubungan antara kedua negara sulit akur. Jika ini terus terjadi, maka depresiasi lira akan berlanjut. Pada Jumat (17/8/2018) lira telah anjlok hingga 5%.
Anjloknya mata uang tersebut memicu kekhawatiran investor, terutama stabilitas pasar keuangan global. Saat lira anjlok, mata perusahaan-perusahaan di Turki dihadapkan pada nilai utang yang meningkat. Akibatnya potensi gagal bayar (default) mengemuka.
Perusahaan-perusahaan di negara tersebut diketahui juga berutang kepada lembaga keuangan di luar Turki, utamanya Eropa. Jika gagal bayar terjadi, ketersediaan likuiditas lembaga keuangan akan terganggu sehingga mengancam stabilitas pasar keuangan global.
Kondisi ini ikut mempengaruhi pergerakan IHSG ke depannya karena menjadi salah satu pertimbangan investor baik domestik maupun asing sebelum melakukan investasi di pasar saham emerging market seperti Indonesia. Pada Rabu (22/8/2018) Energy Information Administration (EIA) akan merilis data terbaru cadangan minyak mentah Negeri Paman Sam. Konsensus yang dihimpun Trading Economics memperkirakan cadangan minyak mentah AS akan naik 2,7 juta barel.
Jika angka ini benar, maka akan berpengaruh terhadap persediaan minyak global yang melimpah. Kondisi tersebut akan mendorong harga minyak global berpotensi turun.
Penurunan harga minyak tentu bukan kabar baik bagi IHSG.
Di kala harga minyak turun, maka saham-saham perusahaan tambang dan energi kurang diapresiasi investor. Akibatnya harga saham bergerak turun sehingga indeks akan ikut terdampak. Pada Rabu (22/8/2018) waktu setempat atau Kamis waktu Indonesia, bank sentral AS Federal Reserve/The Fed akan merilis risalah rapat FOMC yang diadakan 31 Juli hingga 1 Agustus lalu.
Sejak awal tahun, The Fed baru menaikkan suku bunga sebesar 50 bps ke rentang 1,75%-2%. Pada hasil rapat bulan lalu, The Fed memutuskan untuk menahan suku bunga acuan. Namun ke depannya, peluang kenaikan suku bunga acuan terbuka lebar.
Kondisi perekonomian di AS yang terus membaik, dipastikan menjadikan pertimbangan The Fed untuk kembali mengetatkan kebijakan moneternya.
Rilis risalah rapat FOMC pekan depan diperkirakan akan memperkuat sinyal The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya dalam waktu dekat. Bahkan The Fed Watch memperkirakan suku bunga acuan akan naik 25 bps pada September mendatang, dengan keyakinan mencapai 93,6%.
Sinyal kenaikan suku bunga acuan yang masih kuat, diperkirakan akan mempengaruhi pergerakan IHSG. Jika Rabu besok The Fed memberikan sinyal positif terkait hal tersebut, maka investor bisa beralih dari pasar saham Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(prm) Next Article Obral-obral, Deretan Saham LQ45 Ini Sudah Rebound Lagi Lho!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular