
Pekan Suram untuk IHSG, Bond, sampai Rupiah
Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
18 August 2018 11:05

Jakarta, CNBC Indonesia - Walau pekan ini merupakan HUT RI ke 73, namun pasar saham, obligasi, sampai rupiah tak tampak menggembirakan.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sebelum libur ditutup melemah 0,56% atau turun 32 poin ke 5.783, dengan bergerak di zona negatif sepanjang hari. Kekuatan penjual (seller) menekan IHSG hingga membentuk pola bearish harami secara teknikal.
Selama sepekan ini, IHSG jatuh 4,8%. Asing melepas saham di pasar modal hingga Rp 2,5 triliun.
Tekanan yang sempat menghinggapi IHSG datang dari rilis data perdagangan internasional. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, ekspor pada Juli 2018 tumbuh 19,33% secara tahunan (year-on-year/YoY), sementara impor meroket hingga 31,56% YoY. Akibat impor yang begitu kencang, neraca perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$ 2,03 miliar.
Defisit perdagangan pada bulan lalu juga jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni sebesar US$ 640 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia terhadap sejumlah ekonom, ekspor diramal tumbuh sebesar 11,3% YoY, sedangkan impor diekspektasikan hanya tumbuh sebesar 13,4% YoY.
Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan bulan lalu merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 3,1 miliar.
Defisit neraca perdagangan yang begitu lebar akan memberikan tekanan lebih lanjut bagi transaksi berjalan (current account deficit). Pada kuartal-II 2018, defisit transaksi berjalan sudah menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% PDB. Sebagai catatan, kali terakhir defisit transaksi berjalan menyentuh level 3% PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam.
Rupiah
IHSG mulai berbalik arah setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan suku bunga 7 Day Reverse Repo Rate. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2018, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5%.
Kenaikan ini juga merupakan kejutan, karena tidak sesuai dengan ekpektasi pelaku pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan di 5,25%.
Berkat kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate, rupiah sempat menguat di hadapan dolar AS. Namun penguatan itu tidak bertahan lama, karena rupiah tetap melemah 0,14% ke Rp 14.595/US$ saat penutupan pasar.
Meski begitu, kenaikan suku bunga acuan mampu menipiskan depresiasi rupiah. Setidaknya dolar AS bisa di bawah level Rp 14.600.
Selama sepekan ini rupiah terdepresiasi 1%.
Obligasi
Pasar obligasi pun juga tak menggembirakan. Obligasi pemerintah 10 tahun melambung 28,5 bps yieldnya.
Sejak awal pekan ini, pasar investasi diwarnai sentimen negatif dari krisis mata uang Turki yang berimbas kepada melemahnya mata uang Rupiah dan dunia.
Posisi yield itu juga masih menjadi yang tertinggi sejak 28 Feb 1027 ketika spread mencapai 518 bps. Spread yang masih lebar, ditambah faktor turunnya yield US Treasury, membuat investor global menilai perlu menyeimbangkan (rebalancing) portofolionya di Indonesia dalam jangka pendek karena dengan yield sebesar itu, investor yang masuk akan lebih dintungkan karena harga yang lebih rendah.
Rebalancing tersebut membuat investasi di pasar SBN rupiah menjadi sedikit lebih menarik karena lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya. Hingga siang ini, mata uang Garuda di pasar menguat tipis -23 poin (0,16%) menjadi 14.599 ketika China dinyatakan akan segera merapat ke Washington untuk membicarakan perang dagang.
(dru) Next Article Ledakan Kasus Covid Menghantui Sentimen Pasar Pekan Depan
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sebelum libur ditutup melemah 0,56% atau turun 32 poin ke 5.783, dengan bergerak di zona negatif sepanjang hari. Kekuatan penjual (seller) menekan IHSG hingga membentuk pola bearish harami secara teknikal.
Selama sepekan ini, IHSG jatuh 4,8%. Asing melepas saham di pasar modal hingga Rp 2,5 triliun.
Defisit perdagangan pada bulan lalu juga jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni sebesar US$ 640 juta. Berdasarkan survei CNBC Indonesia terhadap sejumlah ekonom, ekspor diramal tumbuh sebesar 11,3% YoY, sedangkan impor diekspektasikan hanya tumbuh sebesar 13,4% YoY.
Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan bulan lalu merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$ 3,1 miliar.
Defisit neraca perdagangan yang begitu lebar akan memberikan tekanan lebih lanjut bagi transaksi berjalan (current account deficit). Pada kuartal-II 2018, defisit transaksi berjalan sudah menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% PDB. Sebagai catatan, kali terakhir defisit transaksi berjalan menyentuh level 3% PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam.
Rupiah
IHSG mulai berbalik arah setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan suku bunga 7 Day Reverse Repo Rate. Dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2018, BI memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,5%.
Kenaikan ini juga merupakan kejutan, karena tidak sesuai dengan ekpektasi pelaku pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan di 5,25%.
Berkat kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate, rupiah sempat menguat di hadapan dolar AS. Namun penguatan itu tidak bertahan lama, karena rupiah tetap melemah 0,14% ke Rp 14.595/US$ saat penutupan pasar.
Meski begitu, kenaikan suku bunga acuan mampu menipiskan depresiasi rupiah. Setidaknya dolar AS bisa di bawah level Rp 14.600.
Selama sepekan ini rupiah terdepresiasi 1%.
Obligasi
Pasar obligasi pun juga tak menggembirakan. Obligasi pemerintah 10 tahun melambung 28,5 bps yieldnya.
Sejak awal pekan ini, pasar investasi diwarnai sentimen negatif dari krisis mata uang Turki yang berimbas kepada melemahnya mata uang Rupiah dan dunia.
Posisi yield itu juga masih menjadi yang tertinggi sejak 28 Feb 1027 ketika spread mencapai 518 bps. Spread yang masih lebar, ditambah faktor turunnya yield US Treasury, membuat investor global menilai perlu menyeimbangkan (rebalancing) portofolionya di Indonesia dalam jangka pendek karena dengan yield sebesar itu, investor yang masuk akan lebih dintungkan karena harga yang lebih rendah.
Rebalancing tersebut membuat investasi di pasar SBN rupiah menjadi sedikit lebih menarik karena lebih murah dibandingkan dengan sebelumnya. Hingga siang ini, mata uang Garuda di pasar menguat tipis -23 poin (0,16%) menjadi 14.599 ketika China dinyatakan akan segera merapat ke Washington untuk membicarakan perang dagang.
(dru) Next Article Ledakan Kasus Covid Menghantui Sentimen Pasar Pekan Depan
Most Popular