Jakarta, CNBC Indonesia- Merdeka ! Hari ini Indonesia memperingati hari jadinya yang ke 73 tahun. Masyarakat merayakan hari tersebut dengan rasa suka cita dan gembira. Berbagai kegiatan kreatif pun dilakukan seperti lomba, mempercantik lingkungan hingga pawai obor.
Kemerdekaan yang dicapai Indonesia didapatkan dengan tidak mudah. Sebagai anak bangsa, kita perlu merawat kemerdekaan yang ada. Kita perlu menunjukkan kecintaan kita terhadap bangsa dengan berbagai cara, salah satunya rupiah. Mencintai mata uang sendiri merupakan salah satu sikap yang bisa dilakukan saat ini.
Seperti yang diketahui, nilai tukar rupiah akhir-akhir ini menjadi perbincangan banyak pihak. Pergerakan mata uang tersebut di hadapan dolar AS terus menunjukkan pelemahan. Bahkan posisinya sudah menembus level psikologis di atas Rp 14.600/US$.
 Foto: Alfado Agustio |
Pelemahan rupiah memicu kekhawatiran tidak hanya di masyarakat namun juga pemerintah. Ancaman krisis pun sempat menyeruak, meskipun hal tersebut dibantah oleh beberapa pihak.
Lantas, ancaman apa sebenarnya dari adanya pelemahan rupiah?
Pelemahan rupiah sejatinya bisa mengancam fiskal negara. Mulai dari pos utang hingga harga-harga bahan pokok di pasar. Seperti yang diketahui, sumber pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) salah satunya berasal dari utang. Sampai dengan akhir Juli 2018, utang pemerintah tercatat Rp 4.253,02 triliun atau naik 12,51% dibandingkan periode sama tahun lalu. Kemudian pinjaman luar negeri mencapai Rp 779,7 triliun. Jumlah itu terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 323,7 triliun, multilateral Rp 411,1 triliun, komersial Rp 43,3 triliun, dan suppliers Rp 1,4 triliun. Bahkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani dalam keterangan pers terkait RAPBN 2019 di Media Center Asian Games 2018, JCC, Jakarta, Kamis (16/8/2018) menyatakan utang di 2019 dalam kisaran Rp 409 triliun. Pelemahan rupiah yang terus terjadi, bisa menyebabkan utang membengkak. Sebab asumsi yang ditetapkan pemerintah, acap kali jauh dari realitas yang ada. Misalnya di tahun ini, pemerintah menetapkan asumsi nilai tukar sebesar Rp 13.400/US$.
Jika dibandingkan penutupan nilai tukar di pasar spot kemarin (16/8/2018) berada di kisaran Rp 14.605/US$ atau terdapat selisih sekitar Rp 1205/US$. Selisih ini sejatinya mengkhawatirkan, karena bisa mempengaruhi jumlah utang luar negeri yang jatuh tempo pada tahun ini. Terlebih, ancaman pelemahan rupiah masih cukup besar. Tidak sampai disitu, potensi harga bahan pangan naik pun cukup besar. Pasalnya, hampir keseluruhan komoditas pangan Indonesia masih impor seperti beras, ayam hingga daging sapi. Bahkan, salah satu biang kerok yang menyebabkan neraca perdagangan Indonesia bulan lalu tertinggi sejak Juli 2013 karena tingginya impor barang konsumsi. Kondisi rupiah yang melemah tentu akan menyebabkan biaya impor semakin membengkak. Di sisi lain, dengan keterbatasan devisa yang ada dapat mendorong pemerintah untuk mengurangi impor komoditas tersebut. Dampaknya akan berpengaruh terhadap ketersediaan di pasar yang berkurang. Hal ini secara tidak langsung akan menyebabkan harga bahan pangan naik. Pemerintah mau tidak mau turun tangan. Mulai dari subsidi pangan hingga operasi pasar menjadi jurus jitu untuk menjamin harga bahan pokok di pasar mampu dijangkau masyarakat. Namun kondisi ini tentu membebani fiskal yang ada. Terlebih anggaran pemerintah bukan hanya untuk pangan saja, namun juga membayar utang dan sebagainya. Jika dilihat, penyebab utama pelemahan rupiah yaitu normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Bukan hanya itu, ancaman dari melemahnya nilai tukar negara emerging market juga bisa menjadi potensi yang menyebabkan pelemahan tersebut. Normalisasi kebijakan moneter Negeri Paman Sam semakin mengerutkan dahi negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Federal Reserve/The Fed membuat dolar Amerika Serikat (AS) semakin perkasa dan menekan mata uang global termasuk rupiah. Terhitung sejak awal tahun, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin (bps) ke rentang 1,75-2%. Kenaikan ini saja sudah menyebabkan Bank Indonesia (BI) pontang panting menjaga stabilitas nilai tukar. BI sendiri sudah menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate hingga 125 bps ke 5,5%. Namun faktanya, kebijakan ini belum mampu membawa rupiah meninggalkan posisi Rp 14.000.
Ekspor komoditas hingga insentif menjadi jalan alternatif
Pemerintah telah merumuskan beberapa strategi untuk menjaga nilai tukar kembali stabil. Mulai dari ekspor komoditas, hingga pemberian insentif bagi pengusaha nasional yang membawa hasil devisanya ke dalam negeri.
Pada rapat yang digelar oleh menteri-menteri ekonomi serta pengusaha nasional beberapa hari lalu, menghasilkan beberapa kesimpulan. Pemerintah mendorong pengusaha khususnya yang berkecimpung di dunia pertambangan seperti batu bara, untuk meningkatkan produksi hingga 40-50 juta ton.
Boomingnya harga batu bara global hingga di atas US$ 100/ton ditengarai menjadi faktor pendorong bagi pemerintah untuk meningkatkan produksi tersebut, sehingga mampu meningkatkan ekspor ke depannya. Aliran ekspor akan mendorong penerimaan devisa lebih tinggi.
Terkait devisa, rupanya ada masalah tersendiri. Pengusaha belum sepenuhnya membawa Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke dalam negeri. Penyebabnya, pengusaha lebih nyaman menaruh uangnya di luar negeri terlebih insentif di dalam negeri masih minim.
Hal ini tentu memantik pemerintah menyediakan insentif tertentu.
Bahkan Menkeu menyatakan telah memberikan insentif seperti yang termaktub dalam Peraturan Menteri Keuangan Tahun 2015. Namun lagi-lagi, hal ini belum menjadi daya tarik bagi pengusaha. Pertemuan beberapa hari kemarin pun diperkirakan masih akan berlanjut, terutama berkaitan dengan kebijakan ekspor komoditas serta insentif DHE.
Masyarakat Bisa Tolong Rupiah Dengan Menjual Dolar AS
Di momen kemerdekaan ini, setidaknya bisa kembali menimbulkan rasa cinta masyarakat Indonesia terhadap negerinya. Kondisi pelemahan rupiah yang semakin dalam, tentu bisa menjadi kesempatan bagi anak bangsa untuk menunjukkan rasa cinta tersebut dengan tidak menahan dolar AS terlalu banyak.
Kejadian anjloknya mata uang lira di Turki, mendorong presiden Recep Tayip Endorgan menyerukan warganya untuk menukarkan dolar AS yang dimiliknya. Hal ini dapat mendorong lira kembali menguat karena persedian valas di pasar meningkat. Seruan itu direspon positif masyarakatnya dengan berbondong-bondong menukarkan dolarnya. Alhasil, mata uang lira pun perlahan mulai menguat. Berkaca dari hal tersebut, mungkin ada baiknya bagi kita yang memiliki stok dolar AS yang melimpah untuk menukarkannya.
Dengan tersediaanya valas di pasar, maka akan membantu rupiah perlahan bangkit. Kondisi ini akan membantu nilai tukar menjadi stabil sehingga mampu meminimalisir efek negatif terjadi akibat pelemahan yang ada