Hari Kemerdekaan, Mari Cepat Selamatkan Rupiah!

Alfado Agustio, CNBC Indonesia
17 August 2018 12:45
Ancaman untuk Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Pelemahan rupiah sejatinya bisa mengancam fiskal negara. Mulai dari pos utang hingga harga-harga bahan pokok di pasar. Seperti yang diketahui, sumber pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) salah satunya berasal dari utang.  

Sampai dengan akhir Juli 2018, utang pemerintah tercatat Rp 4.253,02 triliun atau naik 12,51% dibandingkan periode sama tahun lalu. Kemudian pinjaman luar negeri mencapai Rp 779,7 triliun. Jumlah itu terdiri dari pinjaman bilateral sebesar Rp 323,7 triliun, multilateral Rp 411,1 triliun, komersial Rp 43,3 triliun, dan suppliers Rp 1,4 triliun.  

Bahkan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani dalam keterangan pers terkait RAPBN 2019 di Media Center Asian Games 2018, JCC, Jakarta, Kamis (16/8/2018) menyatakan utang di 2019 dalam kisaran Rp 409 triliun.  

Pelemahan rupiah yang terus terjadi, bisa menyebabkan utang membengkak. Sebab asumsi yang ditetapkan pemerintah, acap kali jauh dari realitas yang ada. Misalnya di tahun ini, pemerintah menetapkan asumsi nilai tukar sebesar Rp 13.400/US$.

Jika dibandingkan penutupan nilai tukar di pasar spot kemarin (16/8/2018) berada di kisaran Rp 14.605/US$ atau terdapat selisih sekitar Rp 1205/US$.
  Selisih ini sejatinya mengkhawatirkan, karena bisa mempengaruhi jumlah utang luar negeri yang jatuh tempo pada tahun ini. Terlebih, ancaman pelemahan rupiah masih cukup besar.  

Tidak sampai disitu, potensi harga bahan pangan naik pun cukup besar. Pasalnya, hampir keseluruhan komoditas pangan Indonesia masih impor seperti beras, ayam hingga daging sapi. Bahkan, salah satu biang kerok yang menyebabkan neraca perdagangan Indonesia bulan lalu tertinggi sejak Juli 2013 karena tingginya impor barang konsumsi.  

Kondisi rupiah yang melemah tentu akan menyebabkan biaya impor semakin membengkak. Di sisi lain, dengan keterbatasan devisa yang ada dapat mendorong pemerintah untuk mengurangi impor komoditas tersebut. Dampaknya akan berpengaruh terhadap ketersediaan di pasar yang berkurang. Hal ini secara tidak langsung akan menyebabkan harga bahan pangan naik.  

Pemerintah mau tidak mau turun tangan. Mulai dari subsidi pangan hingga operasi pasar menjadi jurus jitu untuk  menjamin harga bahan pokok di pasar mampu dijangkau masyarakat. Namun kondisi ini tentu membebani fiskal yang ada. Terlebih anggaran pemerintah bukan hanya untuk pangan saja, namun juga membayar utang dan sebagainya.  

Jika dilihat, penyebab utama pelemahan rupiah yaitu normalisasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS). Bukan hanya itu, ancaman dari melemahnya nilai tukar negara emerging market juga bisa menjadi potensi yang menyebabkan pelemahan tersebut.  

Normalisasi kebijakan moneter Negeri Paman Sam semakin mengerutkan dahi negara-negara berkembang. Kenaikan suku bunga acuan yang agresif oleh The Federal Reserve/The Fed membuat dolar Amerika Serikat (AS) semakin perkasa dan menekan mata uang global termasuk rupiah.  

Terhitung sejak awal tahun, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis poin (bps) ke rentang 1,75-2%. Kenaikan ini saja sudah menyebabkan Bank Indonesia (BI) pontang panting menjaga stabilitas nilai tukar. BI sendiri sudah menaikkan suku bunga acuan BI-7 Day Reverse Repo Rate hingga 125 bps ke 5,5%.   Namun faktanya, kebijakan ini belum mampu membawa rupiah meninggalkan posisi Rp 14.000.  
 
(gus)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular