Kenaikan Bunga Acuan Sampai RAPBN 2019 Gagal Angkat Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
16 August 2018 16:52
Kenaikan Bunga Acuan Sampai RAPBN 2019 Gagal Angkat Rupiah
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan hari ini. Rupiah sempat menguat pada tengah hari, tetapi itu tidak mampu bertahan lama. 

Pada Kamis (16/8/2018), US$ 1 dibanderol Rp 14.605 kala penutupan pasar spot. Rupiah melemah 0,07% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Rupiah melemah 0,24% saat pembukaan pasar spot. Seiring perjalanan pasar, rupiah bergerak cenderung menguat sampai tengah hari. 

Namun selepas tengah hari, rupiah kembali berbalik arah. Dolar AS pun akhirnya kembali mampu melewati ambang psikologis Rp 14.600. 

Posisi terkuat rupiah hari ini ada di Rp 14.575/US$. Sedangkan terlemahnya adalah Rp 14.630/US$. 

 

Rupiah tidak seberuntung mata uang lainnya yang cenderung menguat terhadap dolar AS. Selain rupiah, hanya yen Jepang dan rupee India yang melemah.  

Berikut perkembangan beberapa mata uang utama Asia terhadap greenback pada pukul 16:20 WIB: 



Mata uang Asia umumnya mampu memanfaatkan situasi dolar AS yang tengah tertekan. Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama) melemah 0,13% pada pukul 16:23 WIB. 

Tekanan yang dialami dolar AS datang dari perkembangan positif hubungan AS dan China. Mengutip Reuters, delegasi dari Beijing akan bertandang ke Washington pada akhir bulan ini untuk membahas isu-isu perdagangan. 

Delegasi China akan dipimpin oleh Wang Shouwen, Wakil Menteri Perdagangan. Sementara AS akan diwakili oleh David Malpass, penasihat Kementerian Keuangan AS bidang perdagangan internasional. 

Friksi dagang AS vs China memang masih terjadi. Teranyar, China melaporkan kebijakan AS ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). China memprotes kebijakan AS yang memberi subsidi kepada perusahaan energi terbarukan dan menerapkan bea masuk untuk impor panel surya. Kebijakan ini dilakukan AS pada Januari 2018, dan menjadi kick-off dari pertandingan perang dagang. 

"AS telah melakukan distorsi terhadap pasar global dan mengusik kepentingan China. Oleh karena itu, China menempuh jalan penyelesaian sengketa di WTO untuk mempertahankan hak dan kepentingannya dalam menjaga ketertiban perdagangan multilateral," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China, dikutip dari Reuters. 

Namun dengan pembicaraan AS-China, diharapkan ada titik temu di antara mereka sehingga perselisihan bisa diselesaikan. Harapan itu membuat pelaku pasar optimistis, dan mulai berani mengambil risiko. 

Dana-dana pun mulai meninggalkan dolar AS dan menyebar ke berbagai penjuru. Termasuk ke pasar keuangan negara berkembang Asia. Situasi ini membuat mata uang Benua Kuning cenderung menguat, meski rupiah tertinggal di belakang. 


Sentimen kenaikan suku bunga acuan ternyata kurang cespleng untuk membuat rupiah perkasa. Kemarin, Bank Indonesia (BI) memutuskan menaikkan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate menjadi 5,5%. Kenaikan ini diharapkan mampu membuat pasar keuangan Indonesia lebih atraktif, terutama untuk instrumen berpendapatan tetap (fixed income). 

Namun sampai saat ini harapan itu masih jauh panggang dari api. Arus modal masih belum mau hinggap ke Indonesia, termasuk di instrumen fixed income seperti obligasi. Imbal hasil (yield) obligasi negara cenderung naik, yang menandakan harga sedang turun akibat lesunya permintaan atau bahkan tekanan jual. 

Yield obligasi pemerintah Indonesia tenor 5 tahun naik 5 basis poin (bps). Sedangkan yield untuk tenor 10 tahun naik 0,2 bps, tenor 15 tahun naik 1 bps, dan tenor 30 tahun naik 1,1 bps. 

Padahal, kenaikan suku bunga acuan kemarin di luar ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan BI masih menahan suku bunga acuan di 5,25%. Semestinya ada euforia di pasar, karena potensi tambahan cuan akibat kenaikan suku bunga acuan. 

Namun sampai saat ini euforia tersebut tidak terjadi. Yang ada malah aksi jual terhadap aset-aset berbasis rupiah, yang menyebabkan mata uang Tanah Air melemah. 

Melihat situasi global yang seharusnya kondusif bagi rupiah, pelemahan hari ini memang lebih kental diwarnai faktor domestik. Hari ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019.  

Untuk tahun depan, pendapatan negara diperkirakan Rp 2.142,5 triliun sementara belanja negara adalah Rp 2.439,7 triliun. Sehingga defisit anggaran 2019 adalah Rp 297,2 triliun atau 1,84% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Seharusnya RAPBN 2019 juga direspons positif karena defisit anggaran ditargetkan rendah, paling rendah dalam 5 tahun terakhir. Artinya fiskal menjadi lebih sehat.

Namun lagi-lagi sentimen ini tidak mempan mendongkrak rupiah. Oleh karena itu, sejauh ini jawaban yang bisa diberikan atas depresiasi rupiah hanya satu: ambil untung alias profit taking.

Besok pasar keuangan Indonesia libur karena peringatan Hari Kemerdekaan, artinya ada libur panjang (long weekend). Investor pun keluar sejenak dari pasar karena dalam 3 hari ke depan tidak ada perdagangan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular