
AS-Turki Makin Panas, Bursa Saham Asia Berguguran
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 August 2018 09:21

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham utama kawasan Asia dibuka melemah pada pagi hari ini: indeks Nikkei turun 0,22%, indeks Kospi turun 1,14%, indeks Strait Times turun 0,41%, indeks Shanghai turun 1,17%, dan indeks Hang Seng turun 0,85%.
Rebut-ribut AS-Turki yang makin panas membuat bursa saham menjadi ditinggalkan investor. Gedung Putih bersikeras untuk tetap menerapkan kenaikan bea masuk terhadap baja dan aluminium asal Turki meski Andrew Brunson dibebaskan.
Seperti yang diketahui sebelumnya, hubungan AS dengan Turki memanas lantaran penahanan terhadap Brunson, pastur asal AS yang dianggap terlibat dalam upaya kudeta di Turki pada 2016 lalu. Brunson sudah dibebaskan dari penjara, tetapi kini masih menjalani tahanan rumah.
"Bea masuk terhadap baja tidak akan dicabut meski Pastur Brunson dibebaskan. Bea masuk tersebut adalah murni untuk menjaga kepentingan nasional," tegas Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih.
Selain itu, perang dagang antara AS dengan China yang kian panas juga membawa petaka bagi bursa saham. Pasca balas-membalas menaikkan bea masuk impor beberapa waktu lalu, China kini mengajukan gugatan ke World Trade Organisation (WTO) sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan AS di bidang energi terbarukan.
Pada bulan Januari, AS mengumumkan pengenaan bea masuk yang disebutnya sebagai safeguard tariffs selama 4 tahun lamanya. Bea masuk senilai 30% akan dikenakan bagi produk-produk seperti photovoltaics pada tahun pertama, sebelum diturunkan pada tahun-tahun berikutnya dan menjadi 15% pada tahun keempat. Photovoltaics merupakan alat yang digunakan untuk mengonversi cahaya matahari menjadi listrik.
Tak sampai disitu, pemerintahan Presiden Donald Trump juga memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan energi terbarukan di AS.
Kementerian Keuangan China pada selasa malam mengatakan bahwa kebijakan tersebut telah secara serius menggangu pasar global dan menciderai kepentingan pihak China.
Sebelumnya, pihak AS telah menuduh China menggunakan subsidi dan produksi besar-besaran untuk mendorong harga turun dan membuat perusahaan-perusahaan asal AS menjadi tidak kompetitif.
Menurut data dari China Photovoltaic Industry Association (CPIA), kapasitas produksi panel solar AS jatuh dari 1,5 gigawat pada tahun 2011 menjadi hanya 1 gigawat pada tahun lalu sebagai hasil dari kebangkrutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Rebut-ribut AS-Turki yang makin panas membuat bursa saham menjadi ditinggalkan investor. Gedung Putih bersikeras untuk tetap menerapkan kenaikan bea masuk terhadap baja dan aluminium asal Turki meski Andrew Brunson dibebaskan.
Seperti yang diketahui sebelumnya, hubungan AS dengan Turki memanas lantaran penahanan terhadap Brunson, pastur asal AS yang dianggap terlibat dalam upaya kudeta di Turki pada 2016 lalu. Brunson sudah dibebaskan dari penjara, tetapi kini masih menjalani tahanan rumah.
Selain itu, perang dagang antara AS dengan China yang kian panas juga membawa petaka bagi bursa saham. Pasca balas-membalas menaikkan bea masuk impor beberapa waktu lalu, China kini mengajukan gugatan ke World Trade Organisation (WTO) sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan AS di bidang energi terbarukan.
Pada bulan Januari, AS mengumumkan pengenaan bea masuk yang disebutnya sebagai safeguard tariffs selama 4 tahun lamanya. Bea masuk senilai 30% akan dikenakan bagi produk-produk seperti photovoltaics pada tahun pertama, sebelum diturunkan pada tahun-tahun berikutnya dan menjadi 15% pada tahun keempat. Photovoltaics merupakan alat yang digunakan untuk mengonversi cahaya matahari menjadi listrik.
Tak sampai disitu, pemerintahan Presiden Donald Trump juga memberikan subsidi kepada perusahaan-perusahaan energi terbarukan di AS.
Kementerian Keuangan China pada selasa malam mengatakan bahwa kebijakan tersebut telah secara serius menggangu pasar global dan menciderai kepentingan pihak China.
Sebelumnya, pihak AS telah menuduh China menggunakan subsidi dan produksi besar-besaran untuk mendorong harga turun dan membuat perusahaan-perusahaan asal AS menjadi tidak kompetitif.
Menurut data dari China Photovoltaic Industry Association (CPIA), kapasitas produksi panel solar AS jatuh dari 1,5 gigawat pada tahun 2011 menjadi hanya 1 gigawat pada tahun lalu sebagai hasil dari kebangkrutan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular