
Penyelamatan Rupiah dan Mimpi Indonesia Jadi Negara Maju
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 August 2018 16:36

Jakarta, CNBC Indonesia - Hari ini, Bank Indonesia (BI) memutuskan kembali menaikkan suku bunga acuan. Bagi negara ini, penyelamatan rupiah adalah prioritas utama. Baik otoritas moneter maupun otoritas fiskal sudah menari dalam iringan lagu yang sama: Semua Demi Rupiah.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI menghasilkan keputusan kenaikan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) ke5,5%. Dengan begitu, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bps sejak awal tahun.
"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman. Artinya imbal hasil dari pasar keuangan domestik termasuk di Surat Berharga Negara (SBN) tetap menarik. Diharapkan mendorong kembali masuknya inflow, dan ini bisa dibiayai untuk defisit transaksi berjalan," tutur Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG.
Saat suku bunga acuan naik, maka imbal hasil aset (terutama yang berpendapatan tetap/fixed income) akan ikut naik. Hasilnya adalah instrumen investasi di Indonesia menjadi lebih menarik dan akan semakin banyak arus modal asing yang masuk untuk memperkuat rupiah.
Tidak hanya BI, pemerintah pun sudah menjadikan stabilitas rupiah sebagai prioritas. Salah satunya adalah melakukan penundaan terhadap proyek-proyek non-srategis dan memiliki kandungan impor besar. Pemerintah juga mulai tegas dalam kebijakan pencampuran 20% minyak nabati ke minyak diesel/solar (B20).
"BI menghargai keseriusan dan langkah konkret pemerintah menurunkan defisit transaksi berjalan dengan mendorong ekspor dan menurunkan impor, termasuk penundaan proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor tinggi. BI akan memperkuat koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait menjaga ketahanan eksternal di tengah ketidakpastian," papar Perry.
Transaksi berjalan adalah bagian dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) bersama dengan transaksi modal dan finansial. NPI menggambarkan arus devisa yang masuk ke sebuah negara.
Namun transaksi berjalan lebih mendapat perhatian. Sebab, transaksi berjalan mewakili arus devisa yang berasal dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustain) dibandingkan modal asing portofolio di sektor keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Ketika transaksi berjalan defisit, ada persepsi suatu mata uang kurang dukungan devisa yang memadai. Oleh karena itu, mata uang menjadi rentan melemah karena fundamental yang rapuh.
Sejak awal tahun, rupiah melemah 6,9% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Salah satunya karena transaksi berjalan masih defisit. Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatatkan defisit yang cukup dalam yaitu US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Catatan tersebut merupakan yang terdalam sejak kuartal III-2014.
Bagi Indonesia, pelemahan rupiah bukan kabar baik. Depresiasi rupiah tidak otomatis mendorong kinerja ekspor, karena ekspor Indonesia masih didominasi komoditas. Ekspor komoditas lebih ditentukan oleh faktor harga internasional dan permintaan, bukan nilai tukar.
Pelemahan kurs juga membuat dunia usaha kelimpungan. Dunia usaha akan sulit membuat perencanaan saat rupiah terus melemah. Bagi sektor usaha yang banyak mengandalkan bahan baku impor, biaya produksi akan membengkak karena bertambahnya biaya importasi.
Sedangkan di pasar keuangan, rupiah yang cenderung melemah juga membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena ada potensi penurunan nilai. investor (terutama asing) akan cenderung meninggalkan Indonesia saat rupiah terus tertekan.
Depresiasi kurs adalah musibah, bukan berkah. Oleh karena itu, wajar jika BI dan pemerintah menjadikan penyelamatan rupiah sebagai fokus utama.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI menghasilkan keputusan kenaikan suku bunga acuan 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin (bps) ke5,5%. Dengan begitu, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bps sejak awal tahun.
"Keputusan tersebut konsisten dengan upaya untuk mempertahankan daya tarik pasar keuangan domestik dan mengendalikan defisit transaksi berjalan dalam batas yang aman. Artinya imbal hasil dari pasar keuangan domestik termasuk di Surat Berharga Negara (SBN) tetap menarik. Diharapkan mendorong kembali masuknya inflow, dan ini bisa dibiayai untuk defisit transaksi berjalan," tutur Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers usai RDG.
Tidak hanya BI, pemerintah pun sudah menjadikan stabilitas rupiah sebagai prioritas. Salah satunya adalah melakukan penundaan terhadap proyek-proyek non-srategis dan memiliki kandungan impor besar. Pemerintah juga mulai tegas dalam kebijakan pencampuran 20% minyak nabati ke minyak diesel/solar (B20).
"BI menghargai keseriusan dan langkah konkret pemerintah menurunkan defisit transaksi berjalan dengan mendorong ekspor dan menurunkan impor, termasuk penundaan proyek pemerintah yang memiliki kandungan impor tinggi. BI akan memperkuat koordinasi dengan pemangku kepentingan terkait menjaga ketahanan eksternal di tengah ketidakpastian," papar Perry.
Transaksi berjalan adalah bagian dari Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) bersama dengan transaksi modal dan finansial. NPI menggambarkan arus devisa yang masuk ke sebuah negara.
Namun transaksi berjalan lebih mendapat perhatian. Sebab, transaksi berjalan mewakili arus devisa yang berasal dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini lebih bertahan lama (sustain) dibandingkan modal asing portofolio di sektor keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Ketika transaksi berjalan defisit, ada persepsi suatu mata uang kurang dukungan devisa yang memadai. Oleh karena itu, mata uang menjadi rentan melemah karena fundamental yang rapuh.
Sejak awal tahun, rupiah melemah 6,9% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Salah satunya karena transaksi berjalan masih defisit. Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan mencatatkan defisit yang cukup dalam yaitu US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Catatan tersebut merupakan yang terdalam sejak kuartal III-2014.
Bagi Indonesia, pelemahan rupiah bukan kabar baik. Depresiasi rupiah tidak otomatis mendorong kinerja ekspor, karena ekspor Indonesia masih didominasi komoditas. Ekspor komoditas lebih ditentukan oleh faktor harga internasional dan permintaan, bukan nilai tukar.
Pelemahan kurs juga membuat dunia usaha kelimpungan. Dunia usaha akan sulit membuat perencanaan saat rupiah terus melemah. Bagi sektor usaha yang banyak mengandalkan bahan baku impor, biaya produksi akan membengkak karena bertambahnya biaya importasi.
Sedangkan di pasar keuangan, rupiah yang cenderung melemah juga membuat aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menarik karena ada potensi penurunan nilai. investor (terutama asing) akan cenderung meninggalkan Indonesia saat rupiah terus tertekan.
Depresiasi kurs adalah musibah, bukan berkah. Oleh karena itu, wajar jika BI dan pemerintah menjadikan penyelamatan rupiah sebagai fokus utama.
Next Page
Malangnya Pertumbuhan Ekonomi
Pages
Most Popular