Neraca Dagang Terburuk Dalam 5 Tahun, IHSG Anjlok 1,38%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 August 2018 12:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat menari-nari di zona hijau menjelang akhir sesi 1, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) justru ditutup anjlok hingga 1,38% ke level 5.690,4. Anjloknya IHSG terjadi kala bursa saham kawasan Asia lainnya juga diperdagangkan di zona merah.
Namun, performa IHSG merupakan salah satu yang terburuk: indeks Nikkei turun 0,88%, indeks Shanghai turun 1,38%, indeks Hang Seng turun 1,6%, indeks Strait Times turun 0,19%, dan indeks SET (Thailand) turun 0,62%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 4,14 triliun dengan volume sebanyak 4,73 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 231.559 kali.
Dari dalam negeri, tekanan datang dari rilis data ekspor-impor periode Juli oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang bulan lalu, ekspor tercatat tumbuh sebesar 19,33% YoY, sementara impor meroket hingga 31,56% YoY. Akibat impor yang begitu kencang, neraca perdagangan mencatatkan defisit sebesar US$ 2,03 miliar, melebar dari capaian bulan sebelumnya yang sebesar US$ 1,74 miliar.
Defisit pada bulan Juli juga jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni sebesar US$ 640 juta, hasil dari ekspor yang tumbuh sebesar 11,3% YoY dan impor yang tumbuh sebesar 13,4% YoY.
Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan bulan lalu merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,1 miliar.
Investor pun bergerak cepat dengan melepas saham-saham emiten perbankan, seperti PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-4,45%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-3,51%), PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (-3,16%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-2,97%).
Seiring dengan dilepasnya saham-saham emiten perbankan, indeks sektor jasa keuangan anjlok hingga 1,79%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.
Defisit neraca perdagangan yang begitu lebar akan memberikan tekanan lebih lanjut bagi defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal-II 2018, CAD sudah menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% dari PDB.
Sebagai catatan kali terakhir CAD menyentuh level 3% dari PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam. Pada 3 bulan kedua tahun ini, nilai nominal dari CAD mencapai US$ 8,03 miliar, sementara pada kuartal-I nilainya hanya sebesar US$ 5,72 miliar.
Pada akhirnya, nilai tukar rupiah bisa semakin bertekuk lutut dihadapan dolar AS. Jika ini yang terjadi, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dari bank-bank di tanah air berpotensi untuk naik dan menekan profitabilitas.
Dari sisi eksternal, semakin panasnya perselisihan antara AS dengan Turki membuat investor menghindari instrumen berisiko seperti saham. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan tegas menyebut guncangan ekonomi di negaranya adalah buah dari perang ekonomi. Bahkan, Erdogan kini melancarkan kampanye boikot produk elektronik asal AS.
"Mereka punya iPhone dan kita punya Vestel," tegas Erdogan, mengacu pada merek ponsel buatan Turki.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump dikabarkan mulai frustrasi karena Turki tidak kunjung membebaskan Andrew Brunson, pastur asal AS yang ditahan karena tuduhan ikut mendukung gerakan kudeta yang gagal pada 2016 lalu. Brunson memang sudah tidak dipenjara, tetapi kini masih berstatus tahanan rumah.
"Presiden sangat frustrasi karena Brunson belum dibebaskan. Beliau berkomitmen 100% untuk membawa Brunson pulang," kata Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, seperti dikutip Reuters.
Jika keinginan itu tidak kunjung dipenuhi, maka AS akan menyiapkan sanksi baru buat Turki. Sebelumnya, AS telah 'menghukum' Turki dengan menaikkan bea masuk atas impor baja dan aluminium.
"Pemerintah akan tegas soal ini. Belum ada perkembangan dalam kasus Brunson, dan bila tidak ada tindakan nyata dalam beberapa hari atau minggu ke depan, maka tindakan lanjutan akan ditempuh. Tekanan akan meningkat," ungkap salah seorang pejabat teras Gedung Putih, mengutip Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Neraca Dagang Defisit US$ 1,63 M, IHSG Makin Terperosok 1,4%
Namun, performa IHSG merupakan salah satu yang terburuk: indeks Nikkei turun 0,88%, indeks Shanghai turun 1,38%, indeks Hang Seng turun 1,6%, indeks Strait Times turun 0,19%, dan indeks SET (Thailand) turun 0,62%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 4,14 triliun dengan volume sebanyak 4,73 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 231.559 kali.
Defisit pada bulan Juli juga jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni sebesar US$ 640 juta, hasil dari ekspor yang tumbuh sebesar 11,3% YoY dan impor yang tumbuh sebesar 13,4% YoY.
Apabila ditarik secara historis, defisit neraca perdagangan bulan lalu merupakan yang terparah dalam 5 tahun terakhir atau sejak Juli 2013. Sepanjang tahun ini, defisit neraca perdagangan sudah mencapai US$3,1 miliar.
Investor pun bergerak cepat dengan melepas saham-saham emiten perbankan, seperti PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (-4,45%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-3,51%), PT Bank Tabungan Negara Tbk/BBTN (-3,16%), dan PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (-2,97%).
Seiring dengan dilepasnya saham-saham emiten perbankan, indeks sektor jasa keuangan anjlok hingga 1,79%, menjadikannya sektor dengan kontribusi terbesar bagi pelemahan IHSG.
Defisit neraca perdagangan yang begitu lebar akan memberikan tekanan lebih lanjut bagi defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal-II 2018, CAD sudah menembus level 3% dari PDB, yakni di level 3,04%. Padahal pada kuartal-I 2018, defisitnya hanya sebesar 2,21% dari PDB.
Sebagai catatan kali terakhir CAD menyentuh level 3% dari PDB adalah pada kuartal-III 2014 silam. Pada 3 bulan kedua tahun ini, nilai nominal dari CAD mencapai US$ 8,03 miliar, sementara pada kuartal-I nilainya hanya sebesar US$ 5,72 miliar.
Pada akhirnya, nilai tukar rupiah bisa semakin bertekuk lutut dihadapan dolar AS. Jika ini yang terjadi, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) dari bank-bank di tanah air berpotensi untuk naik dan menekan profitabilitas.
Dari sisi eksternal, semakin panasnya perselisihan antara AS dengan Turki membuat investor menghindari instrumen berisiko seperti saham. Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dengan tegas menyebut guncangan ekonomi di negaranya adalah buah dari perang ekonomi. Bahkan, Erdogan kini melancarkan kampanye boikot produk elektronik asal AS.
"Mereka punya iPhone dan kita punya Vestel," tegas Erdogan, mengacu pada merek ponsel buatan Turki.
Di sisi lain, Presiden AS Donald Trump dikabarkan mulai frustrasi karena Turki tidak kunjung membebaskan Andrew Brunson, pastur asal AS yang ditahan karena tuduhan ikut mendukung gerakan kudeta yang gagal pada 2016 lalu. Brunson memang sudah tidak dipenjara, tetapi kini masih berstatus tahanan rumah.
"Presiden sangat frustrasi karena Brunson belum dibebaskan. Beliau berkomitmen 100% untuk membawa Brunson pulang," kata Sarah Sanders, Juru Bicara Gedung Putih, seperti dikutip Reuters.
Jika keinginan itu tidak kunjung dipenuhi, maka AS akan menyiapkan sanksi baru buat Turki. Sebelumnya, AS telah 'menghukum' Turki dengan menaikkan bea masuk atas impor baja dan aluminium.
"Pemerintah akan tegas soal ini. Belum ada perkembangan dalam kasus Brunson, dan bila tidak ada tindakan nyata dalam beberapa hari atau minggu ke depan, maka tindakan lanjutan akan ditempuh. Tekanan akan meningkat," ungkap salah seorang pejabat teras Gedung Putih, mengutip Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Neraca Dagang Defisit US$ 1,63 M, IHSG Makin Terperosok 1,4%
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular