Lengser dari Posisi Puncak, Rupiah Terlemah Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
13 August 2018 16:45
Lengser dari Posisi Puncak, Rupiah Terlemah Kedua di Asia
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ditutup melemah pada perdagangan hari ini. Namun kali ini rupiah tidak lagi jadi yang terlemah di kawasan. 

Pada Senin (13/8/2018), US$ 1 pada penutupan pasar spot dihargai Rp 14.590. Meski dolar AS tidak lagi berada di level Rp 14.600, tetapi rupiah tetap masih melemah 0,83% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Rupiah sudah melemah 0,14% saat pembukaan. Seiring jalan, depresiasi rupiah kian dalam. Bahkan pelemahan rupiah sempat di atas 1%. 

Namun jelang penutupan perdagangan, pelemahan rupiah berhasil ditipiskan. Akhirnya, dolar AS mengakhiri hari di bawah Rp 14.600. 

Posisi terkuat rupiah hari ini berada di Rp 14.490/US$, yaitu kala pembukaan pasar. Sedangkan terlemahnya sempat menyentuh Rp 14.625. 

 

Rupiah sempat menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam di Asia. Namun saat itu, predikat itu menjadi milik rupee India. Posisi rupiah sedikit membaik, 'hanya' menjadi mata uang dengan depresiasi terdalam kedua di Benua Kuning. 

Berikut perkembangan nilai tukar mata uang utama Asia terhadap dolar AS pada pukul 16:25 WIB: 



Dolar AS memang masih enggan menginjak pedal rem. Pada pukul 16:28 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi dolar AS di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,11%. 

Investor tengah dibuat defensif menyikapi perkembangan terbaru, utamanya dari Turki. Pelaku pasar semakin mencemaskan nilai tukar lira Turki yang terus melemah.  

Pada pukul 16:30 WIB, lira melemah 6,29% terhadap dolar AS. Sebenarnya agak membaik karena akhir pekan lalu depresiasinya mencapai 15,97%. 

Ketika lira terus melemah, dikhawatirkan utang luar negeri perusahaan-perusahaan di Turki membengkak. Dalam satu titik, potensi gagal bayar (default) massal pun tidak bisa diabaikan. 

Jika default itu terjadi, maka dampaknya bisa meluas. Sebab, perusahaan-perusahaan asal Turki banyak meminjam uang di bank luar negeri.  

Data dari Bank for Internasional Settlements (BIS) menunjukkan, perbankan di Spanyol meminjamkan US$ 83,3 miliar kepada perusahaan Turki. Sementara perbankan Prancis mengutangi US$ 38,4 miliar, Italia US$ 17 miliar, dan Inggris US$ 19,2 miliar. 

Tidak hanya di Eropa, bank-bank AS dan Jepang juga banyak meminjamkan uang ke perusahaan di Turki. Utang perusahaan Turki di perbankan AS mencapai US$ 18 miliar dan di Jepang US$ 14 miliar. 

Oleh karena itu, pasar mencemaskan akan terjadi efek penularan (contagion effect) terhadap sistem keuangan global. Risiko ini yang kemudian membuat investor memasang mode risk-off, ogah mengambil risiko. 

Jika tidak menempatkan dana di instrumen berisiko seperti pasar saham negara berkembang, maka tujuan investor adalah aset- aset aman (safe haven). Ini yang menyebabkan yen Jepang masih mampu menguat, karena statusnya sebagai safe haven bersama franc Swiss dan emas. 

Namun dalam kadar tertentu, dolar AS pun bisa berlaku sebagai safe haven karena dinilai aman dan juga menjanjikan imbal hasil tinggi akibat potensi kenaikan suku bunga acuan. The Federal Reserve/The Fed diperkirakan lebih agresif dengan menaikkan suku bunga acuan empat kali sepanjang 2018, lebih banyak dibandingkan perkiraan awal yaitu tiga kali. 

Hasil dari berbagai dinamika tersebut adalah dolar AS mampu menjadi raja di Asia. Namun tidak di hadapan yen.  


Sentimen domestik juga menjadi beban buat rupiah. Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mengalami defisit US$ 4,31 miliar pada kuartal II-2018. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan (current account) masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari PDB. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB). 

Sedangkan transaksi modal dan finansial juga mengalami defisit US$ 4,01 miliar. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar minus US$ 3,27 miliar apalagi periode yang sama pada 2017 yang surplus US$ 637 juta. 

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia bisa dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya sokongan devisa. 

Hal ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Mata uang Tanah Air tidak punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular