Rupiah 14.620/dolar AS, NPL Bank Meroket Lagi?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
13 August 2018 16:00
Akankah NPL kembali melonjak seperti pada tahun 2015 silam?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan nilai tukar rupiah menjadi sorotan pelaku pasar pada perdagangan hari ini. Hingga berita ini diturunkan, rupiah melemah hingga 1,04% melawan dolar AS di pasar spot ke level Rp 14.620. Kali terakhir rupiah menyentuh level 14.600 adalah pada September 2015 silam.

Sepanjang 2015, IHSG anjlok hingga 12,1%. Kejatuhan IHSG kala itu banyak dipimpin oleh saham-saham emiten perbankan, seiring dengan kenaikan rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL).

Pada tahun 2015 kala rupiah menyentuh level 14.600/dolar AS, NPL perbankan Indonesia naik menjadi 2,49%, dari yang sebelumnya 2,16% per akhir 2014. Kemudian pada tahun 2016, dampak pelemahan rupiah setahun sebelumnya masih kental terasa: NPL kembali naik menjadi 2,93%. Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak krisis keuangan global menghantam pada tahun 2008-2009 silam. Pada tahun 2008 dan 2009, NPL Indonesia tercatat masing-masing sebesar 3,2% dan 3,31%.

Akibat dari meroketnya NPL, penyisihan pencadangan dari bank-bank guna mengantisipasi gagal bayar para debitur menjadi naik. Mengutip Statistik Perbankan Indonesia (SPI) yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah pencadangan yang disisihkan bank umum per akhir 2015 adalah Rp 97,2 triliun, naik drastis dari posisi akhir 2014 yang sebesar Rp 64,2 triliun. Kemudian pada tahun 2016, nilainya kembali melonjak menjadi Rp 146,6 triliun.

Dalam pencatatan di laporan keuangan, pencadangan tersebut diakui sebagai beban. Akibatnya bisa ditebak, bottom line alias laba bersih bank-bank di tanah air menjadi tertekan.

Relatif Terbatas
Walaupun rupiah tertekan sama seperti tahun 2015, dampaknya bagi NPL perbankan nampak masih terbatas. Pasalnya, transmisi pelemahan rupiah terhadap kenaikan NPL tak banyak berasal dari gagal bayar utang luar negeri.

Porsi utang luar negeri dari total penyaluran kredit pun terbilang kecil. Dari total kredit yang disalurkan bank umum kepada pihak ketiga per Mei 2018 yang senilai Rp 4.879 triliun, hanya 14,7% yang disalurkan dalam bentuk mata uang asing, sementara sisanya dalam bentuk rupiah. Pada tahun 2015 pun, nilainya juga relatif rendah yakni sebesar 15,6%.

Pelemahan rupiah akan menghantam NPL perbankan jika menyeret laju perkeonomian dalam negeri. Pada tahun 2015, pelemahan rupiah membuat laju pertumbuhan ekonomi turun menjadi 4,88%, dimana ini merupakan titik terendah sejak tahun 2009 (4,63%).

Pelemahan rupiah kala itu membuat konsumsi masyarakat benar-benar berada dalam tekanan. Terlebih, harga komoditas terjun bebas kala itu.

Pada tahun ini, situasinya bisa dibilang berbeda. Laju pertumbuhan ekonomi cukup solid; pada semester-I 2018, ekonomi Indonesia tumbuh 5,17% YoY. Konsumsi masyarakat, terutama pada kuartal-II, juga bisa dibilang solid dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5,14% YoY, jauh mengalahkan capaian kuartal-II 2017 yang sebesar 4,97% YoY.

Kemudian, harga komoditas juga terbilang masih cukup solid, seiring dengan laju perekonomian AS yang begitu kencang. Pada kuartal-II 2018, ekonomi AS tumbuh sebesar 4,1% QoQ (annualized). Pemotongan pajak yang begitu signifikan membuat Negeri Paman Sam menikmati pertumbuhan ekonomi yang begitu tinggi.

Pada akhirnya, dampak dari pelemahan rupiah terhadap NPL dan bottom line perbankan akan relatif terjaga jika dibandingkan tahun 2015.

Tetap Harus Berhati-Hati
Walaupun begitu, investor patut berhati-hati. Dampak pelemahan rupiah yang relatif terbatas bukan jaminan bahwa harga saham emiten-emiten perbankan tak akan terkoreksi dalam. Pasalnya, sepanjang tahun lalu harga saham emiten-emiten perbankan telah meroket, mendorong indeks sektor jasa keuangan untuk melesat sebesar 41%. Sepanjang tahun ini (hingga berita ini diturunkan), koreksinya baru sebesar 7,02%.

Ini artinya, ruang bagi investor untuk terus melakukan aksi ambil untung sangatlah besar. Hal-hal apapun yang bisa memantik investor untuk melakukan aksi jual lantas sangat mungkin untuk mendorong harga saham turun dalam.

Terlebih, di pasar saham biasanya memang berita negatif mendapat respon yang lebih besar ketimbang berita positif.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular