Pekan Ini, Cermati Kebijakan BI Sampai APBN di Tahun Politik

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 August 2018 16:15
Cermati Berbagai Rilis Data Domestik
Foto: CNBC Indonesia/Monica Wareza
Pertama adalah dampak dari pengumuman data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Akhir pekan lalu, Bank Indonesia (BI) merilis NPI mengalami defisit US$ 4,31 miliar. Lebih dalam ketimbang kuartal sebelumnya yaitu minus US$ 3,85 miliar apalagi dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang masih surplus US$ 739 juta. 

Pada kuartal II-2018, transaksi berjalan (current account) masih tekor US$ 8,03 miliar atau 3,04% dari PDB. Lebih dalam dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu US$ 5,72 miliar (2,21% PDB) atau periode yang sama pada 2017 yang sebesar US$ 4,7 miliar (1,86% PDB). 

Sedangkan transaksi modal dan finansial juga mengalami defisit US$ 4,01 miliar. Memburuk dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar minus US$ 3,27 miliar apalagi periode yang sama pada 2017 yang surplus US$ 637 juta. 

NPI yang defisit menggambarkan devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk, baik itu dari ekspor-impor barang dan jasa maupun investasi (sektor riil dan portofolio). Artinya, perekonomian Indonesia bisa dinilai rentan menghadapi gejolak eksternal karena minimya sokongan devisa. 

Hal ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah. Mata uang Tanah Air tidak punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi.  

Saat rupiah melemah, IHSG pun akan terimbas dampak negatif. Aset-aset berbasis rupiah akan kurang seksi kala rupiah berpotensi melemah karena ke depannya nilai aset ini akan cenderung turun. Jika sampai terjadi aksi jual (terutama oleh Investor asing), maka IHSG pun terancam. 

Kedua adalah rilis data realisasi investasi oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) pada 14 Agustus. Data ini bisa menjadi rujukan apakah Indonesia masih menjadi favorit para penanam modal di sektor riil. 

Thomas Trikasih Lembong, Kepala BKPM, memberi gambaran bahwa kemungkinan realisasi investasi akan sulit tumbuh tinggi. Ini tercermin dari pertumbuhan Penanaman Modal Tetap Bruto (PMTB) yang pada kuartal II-2018 hanya 5,87%, terlambat sejak kuartal III-2017. 

Data ini bisa menjadi sentimen negatif di pasar. Sebab, jika benar ada perlambatan, maka akan menjadi gambaran bahwa ada kelesuan di kalangan dunia usaha. Ekspansi usaha maupun investasi baru yang lesu tentu bukan berita gembira.

Ketiga adalah, masih dari dalam negeri, yaitu rilis data perdagangan internasional oleh BPS periode Juli pada 15 Agustus. Konsensus awal yang dihimpun CNBC Indonesia menunjukkan neraca perdagangan Juli diperkirakan mencatat defisit US$ 641 juta.  

Artinya, nasib transaksi berjalan pada kuartal III-2018 di ujung tanduk. Kalau defisit itu hampir sangat pasti, tetapi ada kemungkinan defisitnya membengkak. 

Defisit transaksi berjalan yang masih besar tentu bukan kabar baik. Transaksi berjalan menggambarkan arus devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Sifat devisa ini lebih berkesinambungan (sustainable) ketimbang arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money

Kala pijakan devisa dari perdagangan ini tidak mendukung, maka posisi rupiah akan mudah goyah. Rupiah hanya mengandalkan arus modal hot money yang datang dan pergi sesuka hati.

Volatilitas rupiah bisa membuat pelaku pasar cemas dan menanggalkan aset-aset berbasis mata uang ini. Rupiah dan IHSG pun akan kian terancam. 

Keempat, pada hari yang sama, BI juga akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) edisi Agustus 2018. Dalam konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia, BI diperkirakan masih menahan suku bunga acuan di 5,25%. 

Keputusan suku bunga acuan dan berbagai petunjuk arah kebijakan moneter dari Perry Wajiyo dan kolega akan sangat mempengaruhi pasar. Investor akan memantau apakah BI masih preemtif, front loading, dan ahead the curve dengan menaikkan suku bunga, atau cooling down terlebih dulu karena The Federal Reserve/The Fed pun masih menahan suku bunga acuan. 

Mengutip CME Fedwatch, pelaku pasar memperkirakan The Fed baru menaikkan suku bunga pada rapat September dengan probabilitas 96%. Kenaikan berikutnya diprediksi terjadi pada Desember dengan kemungkinan 65,3%. 

Oleh karena itu, mungkin BI pun baru kenaikkan suku bunga acuan 7 day repo rate pada bulan-bulan tersebut. Seperti halnya The Fed, pelaku pasar memperkirakan BI juga akan menaikkan suku bunga 50 basis poin lagi. 

Namun kepastian itu mungkin baru bisa didapat dari hasil RDG pekan ini. Oleh karena itu, pelaku pasar akan menyimak dengan seksama bagaimana langkah BI selanjutnya. 

(aji/aji)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular