
Harga Minyak Kembali Stabil Setelah Jatuh 2 Hari Beruntun
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
10 August 2018 09:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis brent kontrak pengiriman Oktober 2018 naik tipis 0,04% ke level US$72,09/barel, sementara harga minyak light sweet kontrak September 2018 juga tumbuh terbatas 0,03% ke US$66,84/barel pada perdagangan hari ini Jumat (10/08/2018) hingga pukul 09.00 WIB.
Dengan pergerakan itu, harga minyak mampu sedikit bangun dari keterpurukan 2 hari berturut-turut sbeelumnya. Sebagai informasi, kemarin harga sang emas hitam kompak ditutup melemah di kisaran 0,2%. Pada perdagangan hari Rabu (08/08/2018), harga minyak malah sama-sama anjlok hingga 3% lebih.
Harga minyak lightswet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) kemarin berada di level terendahnya nyaris dalam 7 pekan, atau sejak 21 Juni 2018. Sedangkan, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa berada di rekor terendahnya nyaris dalam sebulan, atau sejak 16 Juli 2018.
China pada hari Rabu (08/08/2018) mengumumkan akan memberlakukan bea masuk baru sebesar 25% bagi importasi produk-produk AS senilai US$16 miliar. Beberapa produk yang akan terkena bea masuk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM), produk baja, kendaraan bermotor, dan peralatan kesehatan. Total ada 333 produk made in USA yang menjadi korban.
Kementerian Perdagangan China menyebutkan bea masuk baru ini mulai berlaku efektif pada 23 Agustus. Pada hari yang sama, AS memang berencana mengenakan bea masuk 25% untuk importasi produk China sebesar US$16 miliar. Jadi, langkah China adalah counter-attack atas serangan Negeri Paman Sam.
Perang dagang (bila berlangsung lama) akan membuat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia terancam. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi melambat, maka permintaan energi pun ikut turun. Persepsi ini membuat harga minyak terjun bebas. Apalagi produk yang diincar China sekarang mencakup minyak mentah dan produk minyak.
Selain itu, faktor lain yang menekan harga minyak kemarin adalah impor minyak mentah China yang masih lemah. Impor minyak mentah memang naik tipis pada bulan Juli 2018, dari bulan sebelumnya sebesar 8,36 juta barel/hari menjadi 8,48 juta barel/hari. Namun, jumlah tersebut masih merupakan salah satu yang terendah di tahun ini.
Penyebab kenaikan impor minyak China yang terbatas tersebut adalah permintaan yang menurun dari kilang minyak independen, yang dikenal dengan nama "teko the/teapot", yang dipandang pasar sebagai indikator dari permintaan riil untuk negara pengkonsumsi minyak terbesar di dunia tersebut.
Data-data dari AS pun tidak cukup banyak membantu. US Energy Information Administration (EIA) mengumumkan bahwa cadangan minyak mentah AS turun sebesar 1,4 juta barel pada pekan lalu, lebih sedikit dari konsensus Reuters yang meramal penurunan sebesar 3,3 juta barel. Selain itu, stok BBM dan produk distilasi (termasuk diesel dan minyak pemanas) AS malah naik 2,9 juta barel, lebih kencang dari ekspektasi pasar yang memprediksi penurunan sebesar 1,7 juta barel.
Meski demikian, harga minyak mendatkan dukungan dari sanksi AS terhadap Iran yang resmi diaktifkan kembali. Sanksi ini sejauh ini belum mengincar secara langsung minyak Iran, meskipun Presiden AS Donald Trump ingin sebanyak mungkin negara berhenti total mengimpor minyak mentah dari Negeri Persia.
Akan tetapi, apabila Teheran tidak mau bernegosiasi, maka 4 November akan menjadi tenggat waktu untuk jatuhnya sanksi yang lebih berat. Setelah 4 November, bisa-bisa Iran benar-benar tidak bisa melakukan ekspor minyak.
Situasi ini lantas memicu kekhawatiran akan teputusnya pasokan minyak dari Iran, salah satu pengekspor minyak mentah utama di dunia. Dengan adanya sanksi bagi Negeri Persia, Morgan Stanley memprediksi produksi Iran akan jatuh ke 2,7 juta barel per hari di kuartal IV-2018, dengan lebih dari 1 juta barel akan hilang dari pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Dengan pergerakan itu, harga minyak mampu sedikit bangun dari keterpurukan 2 hari berturut-turut sbeelumnya. Sebagai informasi, kemarin harga sang emas hitam kompak ditutup melemah di kisaran 0,2%. Pada perdagangan hari Rabu (08/08/2018), harga minyak malah sama-sama anjlok hingga 3% lebih.
Harga minyak lightswet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) kemarin berada di level terendahnya nyaris dalam 7 pekan, atau sejak 21 Juni 2018. Sedangkan, harga minyak brent yang menjadi acuan di Eropa berada di rekor terendahnya nyaris dalam sebulan, atau sejak 16 Juli 2018.
China pada hari Rabu (08/08/2018) mengumumkan akan memberlakukan bea masuk baru sebesar 25% bagi importasi produk-produk AS senilai US$16 miliar. Beberapa produk yang akan terkena bea masuk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM), produk baja, kendaraan bermotor, dan peralatan kesehatan. Total ada 333 produk made in USA yang menjadi korban.
Kementerian Perdagangan China menyebutkan bea masuk baru ini mulai berlaku efektif pada 23 Agustus. Pada hari yang sama, AS memang berencana mengenakan bea masuk 25% untuk importasi produk China sebesar US$16 miliar. Jadi, langkah China adalah counter-attack atas serangan Negeri Paman Sam.
Perang dagang (bila berlangsung lama) akan membuat perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia terancam. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi melambat, maka permintaan energi pun ikut turun. Persepsi ini membuat harga minyak terjun bebas. Apalagi produk yang diincar China sekarang mencakup minyak mentah dan produk minyak.
Selain itu, faktor lain yang menekan harga minyak kemarin adalah impor minyak mentah China yang masih lemah. Impor minyak mentah memang naik tipis pada bulan Juli 2018, dari bulan sebelumnya sebesar 8,36 juta barel/hari menjadi 8,48 juta barel/hari. Namun, jumlah tersebut masih merupakan salah satu yang terendah di tahun ini.
Penyebab kenaikan impor minyak China yang terbatas tersebut adalah permintaan yang menurun dari kilang minyak independen, yang dikenal dengan nama "teko the/teapot", yang dipandang pasar sebagai indikator dari permintaan riil untuk negara pengkonsumsi minyak terbesar di dunia tersebut.
Data-data dari AS pun tidak cukup banyak membantu. US Energy Information Administration (EIA) mengumumkan bahwa cadangan minyak mentah AS turun sebesar 1,4 juta barel pada pekan lalu, lebih sedikit dari konsensus Reuters yang meramal penurunan sebesar 3,3 juta barel. Selain itu, stok BBM dan produk distilasi (termasuk diesel dan minyak pemanas) AS malah naik 2,9 juta barel, lebih kencang dari ekspektasi pasar yang memprediksi penurunan sebesar 1,7 juta barel.
Meski demikian, harga minyak mendatkan dukungan dari sanksi AS terhadap Iran yang resmi diaktifkan kembali. Sanksi ini sejauh ini belum mengincar secara langsung minyak Iran, meskipun Presiden AS Donald Trump ingin sebanyak mungkin negara berhenti total mengimpor minyak mentah dari Negeri Persia.
Akan tetapi, apabila Teheran tidak mau bernegosiasi, maka 4 November akan menjadi tenggat waktu untuk jatuhnya sanksi yang lebih berat. Setelah 4 November, bisa-bisa Iran benar-benar tidak bisa melakukan ekspor minyak.
Situasi ini lantas memicu kekhawatiran akan teputusnya pasokan minyak dari Iran, salah satu pengekspor minyak mentah utama di dunia. Dengan adanya sanksi bagi Negeri Persia, Morgan Stanley memprediksi produksi Iran akan jatuh ke 2,7 juta barel per hari di kuartal IV-2018, dengan lebih dari 1 juta barel akan hilang dari pasar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(RHG/roy) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular