BI-Bank Sentral Australia Bikin Rupiah Terkuat Ketiga di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 August 2018 12:56
BI-Bank Sentral Australia Bikin Rupiah Terkuat Ketiga di Asia
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak menguat hingga tengah hari ini. Rupiah bergerak selaras dengan mata uang utama Asia yang juga perkasa di hadapan greenback.

Pada Kamis (9/8/2018) pukul 12:05 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.410. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Rupiah sudah menguat 0,03% kala pembukaan pasar. Tidak lama setelah pembukaan, penguatan rupiah habis dan berada di posisi Rp 14.430/US$, sama dengan penutupan perdagangan kemarin.

Namun terpelesetnya rupiah ternyata tidak lama. Rupiah berhasil bangkit dan menekan dolar AS, bahkan greenback sempat berada di bawah Rp 14.400.

Hingga tengah hari ini, posisi terkuat rupiah berada di Rp 14.390/US$. Sementara terlemahnya adalah Rp 14.435/US$.



Seperti rupiah, berbagai mata uang utama Asia pun mampu menguat terhadap dolar AS. Apresiasi tertajam dialami oleh yuan China, disusul baht Thailand dan rupiah di posisi ketiga.

Berikut perkembangan mata uang utama Asia di hadapan dolar AS pada pukul 12:12 WIB:



Dolar AS yang semula perkasa justru balik kanan dan melemah. Mata uang Negeri Paman Sam tertekan karena menguatnya berbagai mata uang utama.

Yuan berhasil terapresiasi karena penetapan nilai tengah dari Bank Sentral China (PBoC). Hari ini, PBoC menetapkan nilai tengah yuan di CNY 6,8317/US$. Sedikit lebih kuat dibandingkan posisi penutupan perdagangan kemarin yaitu CNY 6,8318/US$.

Sementara mata uang yen Jepang menguat karena banyak diburu pasar. Ini tidak lepas dari status yen sebagai instrumen safe haven. Kala sedang terjadi 'huru-hara', investor memang cenderung mengamankan dana di instrumen safe haven dan salah satunya adalah yen.

Risiko besar saat ini adalah perang dagang yang memanas. China mengumumkan akan memberlakukan bea masuk baru sebesar 25% bagi importasi produk-produk AS senilai US$ 16 miliar. Beberapa produk yang akan terkena bea masuk tersebut adalah bahan bakar minyak (BBM), produk baja, kendaraan bermotor, dan peralatan kesehatan. Total ada 333 produk made in USA yang menjadi korban.

Kementerian Perdagangan China menyebutkan bea masuk baru ini mulai berlaku efektif pada 23 Agustus. Pada hari yang sama, AS memang berencana mengenakan bea masuk 25% untuk importasi produk China sebesar US$ 16 miliar.

Perang dagang adalah isu yang sangat besar dan bisa mempengaruhi mood pasar secara signifikan. Sebab, perang dagang sama saja mempertaruhkan kelancaran arus perdagangan dan pertumbuhan ekonomi dunia. Kala perdagangan dan pertumbuhan ekonomi di ujung tanduk, tidak heran investor dibuat kalang-kabut.


Dari dalam negeri, terdapat sentimen positif yaitu perpanjangan perjanjian Bilateral Local Swap Agreement (BLSA) antara Bank Indonesia (BI) dengan Bank Sentral Australia (RBA). Perjanjian ini sejatinya berakhir pada Desember 2018, tetapi kemudian diperpanjang selama 3 tahun ke depan.

Melalui perjanjian ini, bank sentral kedua negara menyepakati pertukaran mata uang domestik hingga mencapai AU$ 100 miliar atau sekira Rp 100 triliun. BI akan menyediakan fasilitas likuiditas dolar Australia yang bisa digunakan dunia usaha.

Australia merupakan salah satu mitra dagang terbesar Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, nilai ekspor Indonesia ke Australia pada semetser I-2018 adalah US$ 1,06 miliar. Melonjak 15,17% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Dengan kemitraan ini, Indonesia akan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS karena berdagang dengan Negeri Kanguru bisa menggunakan mata uang lokal. Ini merupakan kabar baik karena devisa yang 'terbang' ke luar negeri bisa ditekan sehingga rupiah bisa lebih stabil.


TIM RISET CNBC INDONESIA




Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular