
Kata Analis Soal Level Rupiah yang Terendah Sepanjang Sejarah
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
09 August 2018 11:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Kalangan ekonom/analis menepis stigma yang menyebut bahwa level rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang disebut terlemah sepanjang sejarah. Kondisi ini juga tak menunjukkan tanda-tanda awal mula pemicu krisis.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, akan jauh lebih fair melihat pergerakan nilai tukar rupiah bukan melalui level secara rata-rata nominal, melainkan dari sisi depresiasi nilai tukar sejak awal tahun.
Josua tak memungkiri, depresiasi nilai tukar rupiah sejak awal tahun sudah menembus di atas 6%. Namun jika dibandingkan dengan krisis 1997-1998, depresiasi mata uang Garuda terhadap dolar AS pada periode tersebut masih jauh lebih tinggi.
"Tahun 1998 saya lihat jauh lebih besar, karena dari Rp 4.000 naik hingga 400% menjadi Rp 16.000. Itu paling dalam," kata Josua saat berbincang dengan CNBC Indonesia, Kamis (9/8/2018).
Josua tak melihat, level rata-rata nilai tukar terhadap dolar AS yang mencapai titik terlemah sepanjang sejarah bisa memicu munculnya krisis baru, atau mengulang siklus 10 tahunan yang pernah dialami ekonomi Indonesia dalam 20 tahun ke belakang.
Menurut Josua, kondisi saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang 10 atau 20 tahun lalu pada saat terjadi krisis moneter maupun krisis pasar keuangan global yang berpengaruh pada Indonesia. Ada beberapa indikator yang menunjukkan hal tersebut.
"Waktu itu, utang swastanya tinggi sekali dan tidak ada yang mengatur. [...] Indikator mana yang bisa dikatakan krisis? Apa kabarnya Argentina dan Turki yang melemah di atas 20%? Mereka baik-baik saja, tidak ada yang menyebut krisis," katanya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual pun berpendapat hal serupa. Meskipun secara level nominal rata-rata nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah sepanjang sejarah, namun kondisinya belum menunjukkan adanya tanda-tanda kisis.
"Karena sekarang bisnis berjalan normal-normal saja dengan rupiah yang sekarang. Dilihat nominal memang tinggi, tapi depresiasinya masih lebih baik dari negara-negara lain," katanya.
Faktor Global Bisa Memantik Krisis?
Meski demikian, bukan berarti Indonesia bisa terlepas dari ancaman krisis. Apalagi, jika bank sentral negeri Paman Sam (The Fed) tidak berhati-hati dalam mengeksekusi kenaikan bunga acuan yang pada tahun ini masih dua kali lagi dilakukan.
Presiden Donald Trump sendiri memperkirakan ekonomi AS bisa menembus level 5% dalam waktu dekat. Kondisi tersebut, tentu akan membuat The Fed menaikkan bunga acuannya untuk menahan agar ekonomi AS tidak 'kepanasan'.
Namun, jika kenaikan bunga acuan The Fed tidak diukur dengan matang-matang, bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah krisis ekonomi yang berembet ke global. Indonesia, pun harus bersiap-siap dengan kondisi tersebut.
"Potensi krisis ada karena AS. Tapi kapannya tidak ada yang tau. Kalau bank sentral AS tidak hati-hati menaikkan bunga, akan meningkatkan presisi," jelas David.
Hal senada turut dikemukakan Ekonom Maybank Myrdal Gunarto. Indonesia saat ini masih jauh dari ancaman krisis, namun dalam kurun waktu 3 tahun yang akan datang Indonesia harus tetap waspada dalam menghadapi ketidakpastian global.
"Sekarang masih aman [dari ancaman krisis], at least sampai 2021. Karena asumsi bunga The Fed akan sudah tinggi, dan disitulah kita harus berhati-hati," tegas Myrdal.
(dru) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, akan jauh lebih fair melihat pergerakan nilai tukar rupiah bukan melalui level secara rata-rata nominal, melainkan dari sisi depresiasi nilai tukar sejak awal tahun.
Josua tak memungkiri, depresiasi nilai tukar rupiah sejak awal tahun sudah menembus di atas 6%. Namun jika dibandingkan dengan krisis 1997-1998, depresiasi mata uang Garuda terhadap dolar AS pada periode tersebut masih jauh lebih tinggi.
Josua tak melihat, level rata-rata nilai tukar terhadap dolar AS yang mencapai titik terlemah sepanjang sejarah bisa memicu munculnya krisis baru, atau mengulang siklus 10 tahunan yang pernah dialami ekonomi Indonesia dalam 20 tahun ke belakang.
Menurut Josua, kondisi saat ini sudah jauh lebih baik ketimbang 10 atau 20 tahun lalu pada saat terjadi krisis moneter maupun krisis pasar keuangan global yang berpengaruh pada Indonesia. Ada beberapa indikator yang menunjukkan hal tersebut.
"Waktu itu, utang swastanya tinggi sekali dan tidak ada yang mengatur. [...] Indikator mana yang bisa dikatakan krisis? Apa kabarnya Argentina dan Turki yang melemah di atas 20%? Mereka baik-baik saja, tidak ada yang menyebut krisis," katanya.
Kepala Ekonom Bank Central Asia David Sumual pun berpendapat hal serupa. Meskipun secara level nominal rata-rata nilai tukar rupiah mencapai titik terlemah sepanjang sejarah, namun kondisinya belum menunjukkan adanya tanda-tanda kisis.
"Karena sekarang bisnis berjalan normal-normal saja dengan rupiah yang sekarang. Dilihat nominal memang tinggi, tapi depresiasinya masih lebih baik dari negara-negara lain," katanya.
Faktor Global Bisa Memantik Krisis?
Meski demikian, bukan berarti Indonesia bisa terlepas dari ancaman krisis. Apalagi, jika bank sentral negeri Paman Sam (The Fed) tidak berhati-hati dalam mengeksekusi kenaikan bunga acuan yang pada tahun ini masih dua kali lagi dilakukan.
Presiden Donald Trump sendiri memperkirakan ekonomi AS bisa menembus level 5% dalam waktu dekat. Kondisi tersebut, tentu akan membuat The Fed menaikkan bunga acuannya untuk menahan agar ekonomi AS tidak 'kepanasan'.
Namun, jika kenaikan bunga acuan The Fed tidak diukur dengan matang-matang, bukan tidak mungkin akan menciptakan sebuah krisis ekonomi yang berembet ke global. Indonesia, pun harus bersiap-siap dengan kondisi tersebut.
"Potensi krisis ada karena AS. Tapi kapannya tidak ada yang tau. Kalau bank sentral AS tidak hati-hati menaikkan bunga, akan meningkatkan presisi," jelas David.
Hal senada turut dikemukakan Ekonom Maybank Myrdal Gunarto. Indonesia saat ini masih jauh dari ancaman krisis, namun dalam kurun waktu 3 tahun yang akan datang Indonesia harus tetap waspada dalam menghadapi ketidakpastian global.
"Sekarang masih aman [dari ancaman krisis], at least sampai 2021. Karena asumsi bunga The Fed akan sudah tinggi, dan disitulah kita harus berhati-hati," tegas Myrdal.
(dru) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular