
Rata-rata Kurs Rupiah 2018: Terlemah Sepanjang Sejarah
Herdaru Purnomo & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 August 2018 17:15

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih dalam posisi melemah sejak awal tahun. Depresiasi rupiah sejak awal 2018 tercatat 6,38%.
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan tekanan terhadap rupiah kembali meningkat seiring kuatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Hal ini memicu penguatan dolar AS secara meluas.
Jika melihat rata-rata nilai tukar rupiah 18 tahun ke belakang, tahun ini memang pelemahan rupiah cukup dalam. Bahkan ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan rata-rata nilai tukar rupiah merupakan yang terendah sepanjang sejarah di tahun ini.
"Sampai hari ini (2 Agustus), rerata tahunan nilai tukar rupiah adalah Rp 13.863 per dolar AS, terendah sepanjang sejarah," kata Faisal Basri melalui cuitannya di Twitter, Rabu (8/8/2018).
Berdasarkan data di situs Bank Indonesia, sejak 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jika menggunakan kurs tengah BI paling kuat berada di Rp 8.573/US$ pada 2003. Nilai rupiah terhadap dolar AS rata-rata tiap tahun bergerak volatil dan memang pada 2018 tercatat yang terlemah.
Berikut pergerakan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak 2001 :
Situasi 2018 mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada 2018. Seperti tahun ini, rupiah juga melemah cukup dalam pada 2015 yaitu mencapai 10,19%. Penyebabnya pun sama; The Federal Reserve/The Fed.
Pada 2015, dunia dibuat bingung oleh sikap The Fed yang maju-mundur soal pengetatan moneter (tapering off). Pelaku pasar terus mengantisipasi, tetapi The Fed terus-menerus memberi harapan palsu.
Dimotivasi oleh harapan kenaikan suku bunga acuan, investor berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Negeri Paman Sam. Arus modal tersedot dan terkonsentrasi ke AS sehingga greenback menguat secara global. Kala itu, Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) menguat sampai 9,26%.
Hal yang menyebalkan adalah, The Fed yang sudah lama diantisipasi menaikkan suku bunga baru benar-benar melakukannya pada penghujung 2015. Namun untung saja dunia kala itu sudah siap sehingga tidak ada gejolak yang berarti setelah kenaikan suku bunga.
Tahun ini, kejadiannya hampir mirip. Jika pada 2015 The Fed baru ancang-ancang menaikkan suku bunga, maka tahun ini pertanyaannya adalah seagresif apa Bank Sentral As ini dalam menaikkan suku bunga? Kemungkinan besar memang lebih agresif yaitu empat kali sepanjang 2018, lebih banyak ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
The Fed menjadi satu-satunya bank sentral di negara maju yang begitu agresif. Uni Eropa baru akan mengurangi stimulus moneter pada September dan mengakhirinya pada Desember. Kenaikan suku bunga acuan paling cepat dieksekusi pertengahan 2019.
Jepang lebih jauh lagi. Bank Sentral Jepang akan mengumumkan suku bunga acuan hari ini, dan pasar memperkirakan tetap bertahan di angka -0,1%. Bahkan BoJ berencana menjadikan stimulus moneter sebagai kebijakan yang berkelanjutan (sustain) untuk mendorong permintaan domestik.
Oleh karena itu, dolar AS menjadi sangat menarik karena ditopang oleh kenaikan suku bunga. Tidak heran greenback menjadi pilihan utama pelaku pasar.
Dari dalam negeri, BI dan pemerintah bukannya abai. Bahkan BI sudah berjanji untuk ahead the curve dengan posisi (stance) yang hawkish. Ini diwujudkan dengan menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin hanya dalam waktu 3 bulan.
Sementara pemerintah berkomitmen untuk menunda proyek-proyek infrastruktur non strategis untuk mengurangi impor. Dengan begitu, diharapkan devisa yang 'terbang' ke luar negeri bisa ditekan.
Pemerintah juga menegaskan kembali kewajiban pencampuran bahan bakar nabati sebesar 20% untuk bahan bakar diesel (solar). Tujuannya sama, mengurangi impor agar rupiah tidak semakin tertekan.
Meski langkah pemerintah dan BI mungkin perlu diapresiasi, tetapi bola tetap berada di AS. Selama greenback tetap jadi darling-nya investor global, maka akan sulit bagi rupiah untuk berbicara banyak.
(aji) Next Article Menguat Lebih dari 1%, Rupiah Tembus Level 15.620/Dolar AS
Bank Indonesia (BI) mengungkapkan tekanan terhadap rupiah kembali meningkat seiring kuatnya ketidakpastian pasar keuangan global. Hal ini memicu penguatan dolar AS secara meluas.
Jika melihat rata-rata nilai tukar rupiah 18 tahun ke belakang, tahun ini memang pelemahan rupiah cukup dalam. Bahkan ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan rata-rata nilai tukar rupiah merupakan yang terendah sepanjang sejarah di tahun ini.
Berdasarkan data di situs Bank Indonesia, sejak 2001 nilai tukar rupiah terhadap dolar AS jika menggunakan kurs tengah BI paling kuat berada di Rp 8.573/US$ pada 2003. Nilai rupiah terhadap dolar AS rata-rata tiap tahun bergerak volatil dan memang pada 2018 tercatat yang terlemah.
Berikut pergerakan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak 2001 :
![]() |
Situasi 2018 mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada 2018. Seperti tahun ini, rupiah juga melemah cukup dalam pada 2015 yaitu mencapai 10,19%. Penyebabnya pun sama; The Federal Reserve/The Fed.
Pada 2015, dunia dibuat bingung oleh sikap The Fed yang maju-mundur soal pengetatan moneter (tapering off). Pelaku pasar terus mengantisipasi, tetapi The Fed terus-menerus memberi harapan palsu.
Dimotivasi oleh harapan kenaikan suku bunga acuan, investor berbondong-bondong masuk ke pasar keuangan Negeri Paman Sam. Arus modal tersedot dan terkonsentrasi ke AS sehingga greenback menguat secara global. Kala itu, Dollar Index (yang mengukur posisi dolar AS terhadap enam mata uang utama) menguat sampai 9,26%.
Hal yang menyebalkan adalah, The Fed yang sudah lama diantisipasi menaikkan suku bunga baru benar-benar melakukannya pada penghujung 2015. Namun untung saja dunia kala itu sudah siap sehingga tidak ada gejolak yang berarti setelah kenaikan suku bunga.
Tahun ini, kejadiannya hampir mirip. Jika pada 2015 The Fed baru ancang-ancang menaikkan suku bunga, maka tahun ini pertanyaannya adalah seagresif apa Bank Sentral As ini dalam menaikkan suku bunga? Kemungkinan besar memang lebih agresif yaitu empat kali sepanjang 2018, lebih banyak ketimbang proyeksi sebelumnya yaitu tiga kali.
The Fed menjadi satu-satunya bank sentral di negara maju yang begitu agresif. Uni Eropa baru akan mengurangi stimulus moneter pada September dan mengakhirinya pada Desember. Kenaikan suku bunga acuan paling cepat dieksekusi pertengahan 2019.
Jepang lebih jauh lagi. Bank Sentral Jepang akan mengumumkan suku bunga acuan hari ini, dan pasar memperkirakan tetap bertahan di angka -0,1%. Bahkan BoJ berencana menjadikan stimulus moneter sebagai kebijakan yang berkelanjutan (sustain) untuk mendorong permintaan domestik.
Oleh karena itu, dolar AS menjadi sangat menarik karena ditopang oleh kenaikan suku bunga. Tidak heran greenback menjadi pilihan utama pelaku pasar.
Dari dalam negeri, BI dan pemerintah bukannya abai. Bahkan BI sudah berjanji untuk ahead the curve dengan posisi (stance) yang hawkish. Ini diwujudkan dengan menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin hanya dalam waktu 3 bulan.
Sementara pemerintah berkomitmen untuk menunda proyek-proyek infrastruktur non strategis untuk mengurangi impor. Dengan begitu, diharapkan devisa yang 'terbang' ke luar negeri bisa ditekan.
Pemerintah juga menegaskan kembali kewajiban pencampuran bahan bakar nabati sebesar 20% untuk bahan bakar diesel (solar). Tujuannya sama, mengurangi impor agar rupiah tidak semakin tertekan.
Meski langkah pemerintah dan BI mungkin perlu diapresiasi, tetapi bola tetap berada di AS. Selama greenback tetap jadi darling-nya investor global, maka akan sulit bagi rupiah untuk berbicara banyak.
(aji) Next Article Menguat Lebih dari 1%, Rupiah Tembus Level 15.620/Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular