
Kehabisan Jamu Kuat, Rupiah Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 August 2018 08:45

Hari ini, sentimen penguatan greenback adalah perkembangan perang dagang yang semakin panas. Presiden AS Donald Trump dikabarkan segera mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% untuk importasi produk-produk China dengan nilai total US$ 200 miliar. Jika kebijakan itu diterapkan, China pun siap membalas dengan mengenakan bea masuk 5-25% kepada 5.207 produk asal Negeri Paman Sam dengan nilai total US$ 60 miliar.
Komentar dari China membuat tensi semakin tinggi. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan AS merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-saja belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Investor menilai AS lebih bisa mengatasi perang dagang ketimbang China atau negara-negara berkembang lainnya. Ini terlihat dari peranan ekspor yang tidak terlalu besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam.
Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya. Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Rupiah sepertinya menjadi salah satu korban keganasan greenback.
Kemarin, rupiah mampu menguat seharian dan ditutup terapesiasi 0,17%. Penguatan itu didukung rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang ciamik.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II-2018 sebesar 5,27%. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,125%.
Namun sentimen itu hanya bisa bertahan sehari. Saat ini, berita pertumbuhan ekonomi sepertinya sudah pudar dan rupiah pun kehabisan jamu kuatnya.
Hasilnya, rupiah tidak punya jangkar. Rupiah pun bernasib sama dengan mata uang utama Asia lainnya yang terombang-ambing di tengah gelombang keperkasaan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Komentar dari China membuat tensi semakin tinggi. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan AS merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-saja belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya. Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Rupiah sepertinya menjadi salah satu korban keganasan greenback.
Kemarin, rupiah mampu menguat seharian dan ditutup terapesiasi 0,17%. Penguatan itu didukung rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang ciamik.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II-2018 sebesar 5,27%. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,125%.
Namun sentimen itu hanya bisa bertahan sehari. Saat ini, berita pertumbuhan ekonomi sepertinya sudah pudar dan rupiah pun kehabisan jamu kuatnya.
Hasilnya, rupiah tidak punya jangkar. Rupiah pun bernasib sama dengan mata uang utama Asia lainnya yang terombang-ambing di tengah gelombang keperkasaan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular