
Kehabisan Jamu Kuat, Rupiah Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 August 2018 08:45

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berbalik melemah pada perdagangan pagi ini. Tanpa dorongan sentimen domestik, rupiah terombang-ambing di samudera penguatan dolar AS yang terjadi secara global.
Pada Selasa (7/8/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar dibanderol Rp 14.481. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah kian dalam. Pada pukul 08:15 WIB, US$ sudah dihargai Rp 14.485 di mana rupiah melemah 0,14%.
Seperti halnya rupiah, mata uang utama Asia pun cenderung melemah di hadapan dolar AS. Namun dengan depresiasi 0,14%, rupiah menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia.
Berikut perkembangan mata uang Asia di hadapan dolar AS pada pukul 08:35 WIB:
Dolar AS masih cukup stabil meski sudah menguat berhari-hari. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mengukur dolar AS di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,86%. Sementara selama sebulan terakhir penguatannya adalah 1,35% dan sejak awal tahun sudah naik 3,46%.
Hari ini, sentimen penguatan greenback adalah perkembangan perang dagang yang semakin panas. Presiden AS Donald Trump dikabarkan segera mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% untuk importasi produk-produk China dengan nilai total US$ 200 miliar. Jika kebijakan itu diterapkan, China pun siap membalas dengan mengenakan bea masuk 5-25% kepada 5.207 produk asal Negeri Paman Sam dengan nilai total US$ 60 miliar.
Komentar dari China membuat tensi semakin tinggi. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan AS merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-saja belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Investor menilai AS lebih bisa mengatasi perang dagang ketimbang China atau negara-negara berkembang lainnya. Ini terlihat dari peranan ekspor yang tidak terlalu besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam.
Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya. Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Rupiah sepertinya menjadi salah satu korban keganasan greenback.
Kemarin, rupiah mampu menguat seharian dan ditutup terapesiasi 0,17%. Penguatan itu didukung rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang ciamik.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II-2018 sebesar 5,27%. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,125%.
Namun sentimen itu hanya bisa bertahan sehari. Saat ini, berita pertumbuhan ekonomi sepertinya sudah pudar dan rupiah pun kehabisan jamu kuatnya.
Hasilnya, rupiah tidak punya jangkar. Rupiah pun bernasib sama dengan mata uang utama Asia lainnya yang terombang-ambing di tengah gelombang keperkasaan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Pada Selasa (7/8/2018), US$ 1 kala pembukaan pasar dibanderol Rp 14.481. Rupiah melemah 0,11% dibandingkan penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah kian dalam. Pada pukul 08:15 WIB, US$ sudah dihargai Rp 14.485 di mana rupiah melemah 0,14%.
Berikut perkembangan mata uang Asia di hadapan dolar AS pada pukul 08:35 WIB:
Dolar AS masih cukup stabil meski sudah menguat berhari-hari. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mengukur dolar AS di hadapan enam mata uang utama) menguat 0,86%. Sementara selama sebulan terakhir penguatannya adalah 1,35% dan sejak awal tahun sudah naik 3,46%.
Hari ini, sentimen penguatan greenback adalah perkembangan perang dagang yang semakin panas. Presiden AS Donald Trump dikabarkan segera mengumumkan bea masuk baru sebesar 25% untuk importasi produk-produk China dengan nilai total US$ 200 miliar. Jika kebijakan itu diterapkan, China pun siap membalas dengan mengenakan bea masuk 5-25% kepada 5.207 produk asal Negeri Paman Sam dengan nilai total US$ 60 miliar.
Komentar dari China membuat tensi semakin tinggi. Harian milik pemerintah China menegaskan bahwa kebijakan perdagangan AS merupakan serangan personal yang luar biasa.
"Trump telah membintangi drama dengan gaya petarung jalanan yang penuh kebohongan, pemerasan, dan intimidasi. Keinginan Trump agar pihak lain ikut dalam drama itu sia-saja belaka," tegas tulisan di halaman depan harian People's Daily, seperti dikutip Reuters.
Investor menilai AS lebih bisa mengatasi perang dagang ketimbang China atau negara-negara berkembang lainnya. Ini terlihat dari peranan ekspor yang tidak terlalu besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) Negeri Paman Sam.
Ekspor hanya menyumbang sekitar 12% dari PDB Negeri Adidaya. Sementara di China, kontribusi ekspor mencapai 20%. Itu yang membuat Negeri Tirai Bambu mati-matian mempertahankan kinerja ekspor mereka, termasuk dengan 'melemahkan' nilai tukar yuan.
Oleh karena itu, perang dagang mungkin saja tidak akan banyak mempengaruhi kinerja perekonomian AS dalam jangka pendek. Dalam jangka menengah-panjang, sentimen ini mungkin baru berpengaruh karena berdampak kepada investasi.
Selain itu, perang dagang juga positif bagi dolar AS karena pemberlakuan berbagai bea masuk pada akhirnya akan mengurangi impor. Penurunan impor berarti semakin sedikit devisa yang 'terbang' ke luar negeri. Dengan begitu, dolar AS akan semakin perkasa karena ditopang devisa yang lebih gemuk.
Ketika dolar AS terapresiasi, maka mata uang lain cenderung akan tertekan. Rupiah sepertinya menjadi salah satu korban keganasan greenback.
Kemarin, rupiah mampu menguat seharian dan ditutup terapesiasi 0,17%. Penguatan itu didukung rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 yang ciamik.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal II-2018 sebesar 5,27%. Lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yaitu 5,125%.
Namun sentimen itu hanya bisa bertahan sehari. Saat ini, berita pertumbuhan ekonomi sepertinya sudah pudar dan rupiah pun kehabisan jamu kuatnya.
Hasilnya, rupiah tidak punya jangkar. Rupiah pun bernasib sama dengan mata uang utama Asia lainnya yang terombang-ambing di tengah gelombang keperkasaan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Penampakan di Money Changer, Saat Rupiah di Atas 14.800/US$
Most Popular