
Simak 7 Sentimen Penggerak Pasar di Pekan Depan
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
05 August 2018 20:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama sepekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mampu menguat 0,31% dan berada di atas level psikologis 6.000 atau tepatnya di 6.007,54 poin. Aksi beli investor asing mendominasi selama periode tersebut, mencapai Rp 1,11 triliun.
Untuk pekan depan, setidaknya ada isu dan data ekonomi yang patut dicermati oleh pelaku pasar, sebagian besar berasal dari dalam negeri. Berikut ulasan tim riset CNBC Indonesia.
Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 pada hari Senin (06/08/2018).
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 sebesar 5,125% secara tahunan (year-on-year/YoY). Lebih cepat dibandingkan kuartal I-2018 yang sebesar 5,06% YoY maupun kuartal II-2017 yaitu 5,01% YoY.
Momentum Ramadan-Idul Fitri yang jatuh pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni diperkirakan menjadi motor pertumbuhan ekonomi RI kuartal lalu. Periode Ramadhan-Idul Fitri memang merupakan puncak dari konsumsi masyarakat Indonesia, dan sangat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi.
Sampai saat ini, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sepanjang 2017, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,13% dan pada kuartal I-2018 sumbangsihnya naik menjadi 56,8%.
Oleh karena itu, pertumbuhan kelompok ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Data pertumbuhan ekonomi kuartal lalu yang mampu melampaui ekspektasi dapat menjadi katalis bagi bursa saham domestik, seiring ada indikasinya perbaikan konsumsi masyarakat. Sebaliknya, apabila datanya lebih lemah dibandingkan konsensus pasar, maka siap-siap IHSG akan mendapatkan tekanan besar.
Kedua, masih dari dalam negeri, pelaku pasar perlu mewaspadai rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juli 2018 dan pertumbuhan penjualan ritel periode Juni 2018.
Bank Indonesia (BI) akan merilis data IKK pada Senin (06/08/2018), sedangkan data penjualan ritel pada Rabu (08/06/2018). Bersama dengan data pertumbuhan ekonomi, kedua data ini akan memberikan sinyal terkait perbaikan daya beli masyarakat di tahun ini.
Sebelumnya, BI mencatat IKK pada Juni 2018 sebesar 128,1. Naik 2,4% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 4,66% YoY.
Tidak hanya itu, penjualan ritel juga tercatat naik 8,3% secara YoY pada Mei 2018. Lebih baik ketimbang pencapaian bulan sebelumnya yaitu 4,1% YoY.
Apabila rilis data IKK dan penjualan ritel masih menunjukkan data yang positif pada pekan depan, maka membaiknya daya beli masyarakat akan semakin terkonfirmasi. Apalagi, jika data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 juga positif.
IHSG pun akan mendapatkan suntikan energi positif, khususnya bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan. Di sisi lain, jika ternyata IKK dan penjualan ritel menunjukkan adanya perlambatan, saham-saham di kedua sektor tadi nampaknya harus rela ditinggal oleh investor.
Ketiga, rilis data cadangan devisa RI periode Juli 2018, yang akan diumumkan oleh BI pada Selasa (07/08/2018). Pada bulan Juni 2018, posisi cadangan devisa Indonesia ada di angka US$119,8 miliar. Angka tersebut turun US$3,1 miliar di posisi akhir Mei 2018.
Jika dihitung sejak akhir 2017, cadangan devisa RI sudah anjok hingga US$10,4 miliar. Cadangan devisa terus terkuras karena menahan agar nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak terus terperosok. Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), nilai tukar rupiah sudah anjlok hingga 6,82% terhadap dolar AS.
Jika cadangan devisa RI kembali tergerus dalam jumlah yang signifikan pada bulan lalu, maka hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya rupiah masih berada dalam tekanan besar.
Persepsi investor mengenai Indonesia bisa memburuk lantaran dianggap rentan terhadap risiko-risiko yang ada. Investor lantas tidak akan segan melepas aset-aset berbasis rupiah, yang akhirnya menekan pasar keuangan maupun pasar saham. Keempat, BI akan menutup pekan depan dengan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), termasuk neraca transaksi berjalan, pada kuartal II-2018. Sebagai informasi, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Melihat neraca perdagangan yang mencatatkan defisit hingga US$1,34 miliar di periode April-Juni 2018, nampaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) masih akan melebar di kuartal lalu.
Hal ini jelas akan menjadi sentimen buruk bagi mata uang garuda. Pasalnya, transaksi berjalan seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Ketika devisa di suatu negara cukup memadai, maka bisa menjadi bantalan untuk menahan guncangan.
Oleh karena itu, mata uang negara dengan transaksi berjalan yang defisit biasanya mudah berfluktuasi karena pasokan valas bergantung kepada investasi portofolio yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Defisit transaksi berjalan memang biasanya ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial, sehingga NPI masih bisa surplus. Tapi, di periode lalu rumus itu nampaknya tidak berlaku.
Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus di kuartal I-2018, yaitu sebesar US$1,81 miliar, tetapi nilainya jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$6,93 miliar.
Akibatnya, jumlah surplus transaksi modal dan finansial di kuartal-I 2018 tidak bisa menambal lubang menganga yang ditinggalkan neraca transaksi berjalan. Alhasil, NPI kuartal I-2018 mengalami defisit US$ 3,85 miliar, defisit pertama sejak kuartal III-2011.
Apabila defisit NPI makin melebar di kuartal II-2018, maka rupiah semakin tidak mempunyai pijakan untuk dapat menguat.
Kelima, dari sisi eksternal, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan perang dagang AS-China. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan tarif baru pada US$60 miliar produk AS.
Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan kenaikan tarif pada US$200 miliar produk China. Mengutip Reuters, tarif terbaru ini akan menyasar 5.207 barang yang diimpor dari AS, mulai dari gas alam cair, hingga pesawat.
Meski demikian, pihak Negeri Paman Sam tidak gentar, terutama menuju kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa dan Meksiko.
"Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China dan, saya pikir, sebagian besar tim perdagangan kami akan memberitahu Anda, kami bergerak mendekati Meksiko," ujar Larry Kudlow,
kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih. "China semakin terisolasi dengan ekonomi yang lemah,” tambah Kudlow.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu.
“Kita Menang, tapi harus kuat,” tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter pada hari Sabtu (04/08/2018).
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat.
Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pada hari Jumat (03/08/2018), pasar saham China telah kehilangan status sebagai “bursa terbesar kedua di dunia”, setelah posisinya digeser oleh Jepang, untuk pertama kalinya dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan US$2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Keenam, rilis data-data ekonomi AS. Dalam sepekan ke depan, AS akan merilis data Indeks Harga Produsen periode Juli 2018, data klaim pengangguran dalam sepekan yang berakhir tanggal, 3 Agustus, dan inflasi periode Juli 2018.
Apabila data-data tersebut menghasilkan hasil yang positif, maka peluang The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali di tahun ini, semakin terbuka lebar. Lebih banyak dari perkiraan awal sebanyak 3 kali.
Seperti diketahui, pekan ini The Fed memang menahan suku bunga acuan tetap berada di rentang 1,75-2%. Meskipun begitu, pernyataan The Fed yang bernada hawkish muncul beriringan dengan keputusan menahan suku bunga acuan tersebut.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed. Pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun.
Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%.
Ketujuh, perkembangan isu Brexit perlu diwaspadai oleh investor. Gubernur Bank of England (BoE) Mark Carney menyebut bahwa kemungkinan Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan adalah tinggi. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa diimbangi kesepakatan dikenal sebagai hard Brexit.
Jika ini yang terjadi, maka perdagangan antara Inggris dengan Uni Eropa akan dikenakan bea masuk. Selama ini, Inggris masuk dalam wilayah kepabeanan Uni Eropa sehingga tidak ada pengenaan bea.
Selain itu, kesepakatan dagang yang selama ini sudah terjalin antara Uni Eropa dengan negara-negara lain tak akan bisa dinikmati Inggris, jika skenario hard Brexit menjadi kenyataan.
Kondisi itu lantas bakal berdampak pada perlambatan ekonomi Inggris. Terlebih, pekan ini BoE memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin ke posisi 0,75%, yang mana dikhawatirkan semakin menambah beban bagi perekonomian Negeri Ratu Elizabeth.
Sebagai tambahan, laju ekonomi Inggris akan dikonfirmasi melalui rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 pada hari Jumat (10/08/2018).
(ray) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Untuk pekan depan, setidaknya ada isu dan data ekonomi yang patut dicermati oleh pelaku pasar, sebagian besar berasal dari dalam negeri. Berikut ulasan tim riset CNBC Indonesia.
Pertama, Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 pada hari Senin (06/08/2018).
Momentum Ramadan-Idul Fitri yang jatuh pada pertengahan Mei hingga pertengahan Juni diperkirakan menjadi motor pertumbuhan ekonomi RI kuartal lalu. Periode Ramadhan-Idul Fitri memang merupakan puncak dari konsumsi masyarakat Indonesia, dan sangat berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi.
Sampai saat ini, konsumsi rumah tangga masih menjadi kontributor terbesar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Sepanjang 2017, konsumsi rumah tangga menyumbang 56,13% dan pada kuartal I-2018 sumbangsihnya naik menjadi 56,8%.
Oleh karena itu, pertumbuhan kelompok ini akan sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Data pertumbuhan ekonomi kuartal lalu yang mampu melampaui ekspektasi dapat menjadi katalis bagi bursa saham domestik, seiring ada indikasinya perbaikan konsumsi masyarakat. Sebaliknya, apabila datanya lebih lemah dibandingkan konsensus pasar, maka siap-siap IHSG akan mendapatkan tekanan besar.
Kedua, masih dari dalam negeri, pelaku pasar perlu mewaspadai rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) periode Juli 2018 dan pertumbuhan penjualan ritel periode Juni 2018.
Bank Indonesia (BI) akan merilis data IKK pada Senin (06/08/2018), sedangkan data penjualan ritel pada Rabu (08/06/2018). Bersama dengan data pertumbuhan ekonomi, kedua data ini akan memberikan sinyal terkait perbaikan daya beli masyarakat di tahun ini.
Sebelumnya, BI mencatat IKK pada Juni 2018 sebesar 128,1. Naik 2,4% secara bulanan (month-to-month/MtM) dan 4,66% YoY.
Tidak hanya itu, penjualan ritel juga tercatat naik 8,3% secara YoY pada Mei 2018. Lebih baik ketimbang pencapaian bulan sebelumnya yaitu 4,1% YoY.
Apabila rilis data IKK dan penjualan ritel masih menunjukkan data yang positif pada pekan depan, maka membaiknya daya beli masyarakat akan semakin terkonfirmasi. Apalagi, jika data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 juga positif.
IHSG pun akan mendapatkan suntikan energi positif, khususnya bagi saham-saham sektor konsumsi dan perbankan. Di sisi lain, jika ternyata IKK dan penjualan ritel menunjukkan adanya perlambatan, saham-saham di kedua sektor tadi nampaknya harus rela ditinggal oleh investor.
Ketiga, rilis data cadangan devisa RI periode Juli 2018, yang akan diumumkan oleh BI pada Selasa (07/08/2018). Pada bulan Juni 2018, posisi cadangan devisa Indonesia ada di angka US$119,8 miliar. Angka tersebut turun US$3,1 miliar di posisi akhir Mei 2018.
Jika dihitung sejak akhir 2017, cadangan devisa RI sudah anjok hingga US$10,4 miliar. Cadangan devisa terus terkuras karena menahan agar nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) tidak terus terperosok. Sepanjang tahun berjalan (year-to-date/YTD), nilai tukar rupiah sudah anjlok hingga 6,82% terhadap dolar AS.
Jika cadangan devisa RI kembali tergerus dalam jumlah yang signifikan pada bulan lalu, maka hal ini mengindikasikan bahwa sebenarnya rupiah masih berada dalam tekanan besar.
Persepsi investor mengenai Indonesia bisa memburuk lantaran dianggap rentan terhadap risiko-risiko yang ada. Investor lantas tidak akan segan melepas aset-aset berbasis rupiah, yang akhirnya menekan pasar keuangan maupun pasar saham. Keempat, BI akan menutup pekan depan dengan merilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), termasuk neraca transaksi berjalan, pada kuartal II-2018. Sebagai informasi, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 sudah mencatat defisit US$5,5 miliar, melebar lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Apabila ditinjau dalam rentang waktu yang lebih panjang, transaksi berjalan pada kuartal I-2018 adalah yang terparah sejak kuartal I-2013.
Melihat neraca perdagangan yang mencatatkan defisit hingga US$1,34 miliar di periode April-Juni 2018, nampaknya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) masih akan melebar di kuartal lalu.
Hal ini jelas akan menjadi sentimen buruk bagi mata uang garuda. Pasalnya, transaksi berjalan seringkali dipandang sebagai fundamental ketahanan ekonomi suatu negara dari gejolak eksternal. Ketika devisa di suatu negara cukup memadai, maka bisa menjadi bantalan untuk menahan guncangan.
Oleh karena itu, mata uang negara dengan transaksi berjalan yang defisit biasanya mudah berfluktuasi karena pasokan valas bergantung kepada investasi portofolio yang bisa datang dan pergi kapan saja.
Defisit transaksi berjalan memang biasanya ditutup oleh surplus di transaksi modal dan finansial, sehingga NPI masih bisa surplus. Tapi, di periode lalu rumus itu nampaknya tidak berlaku.
Transaksi modal dan finansial memang masih membukukan surplus di kuartal I-2018, yaitu sebesar US$1,81 miliar, tetapi nilainya jauh lebih rendah dibandingkan posisi kuartal I-2017 yang mencapai US$6,93 miliar.
Akibatnya, jumlah surplus transaksi modal dan finansial di kuartal-I 2018 tidak bisa menambal lubang menganga yang ditinggalkan neraca transaksi berjalan. Alhasil, NPI kuartal I-2018 mengalami defisit US$ 3,85 miliar, defisit pertama sejak kuartal III-2011.
Apabila defisit NPI makin melebar di kuartal II-2018, maka rupiah semakin tidak mempunyai pijakan untuk dapat menguat.
Kelima, dari sisi eksternal, pelaku pasar perlu mencermati perkembangan perang dagang AS-China. Teranyar, pemerintah China berencana mengenakan tarif baru pada US$60 miliar produk AS.
Tindakan ini sebagai balasan atas rencana pemerintah AS yang menargetkan kenaikan tarif pada US$200 miliar produk China. Mengutip Reuters, tarif terbaru ini akan menyasar 5.207 barang yang diimpor dari AS, mulai dari gas alam cair, hingga pesawat.
Meski demikian, pihak Negeri Paman Sam tidak gentar, terutama menuju kesepakatan perdagangan dengan Uni Eropa dan Meksiko.
"Kami datang bersama dengan Uni Eropa untuk membuat kesepakatan dengan mereka, jadi kami akan memiliki front persatuan melawan China dan, saya pikir, sebagian besar tim perdagangan kami akan memberitahu Anda, kami bergerak mendekati Meksiko," ujar Larry Kudlow,
kepala Dewan Ekonomi Nasional Gedung Putih. "China semakin terisolasi dengan ekonomi yang lemah,” tambah Kudlow.
Bahkan, Presiden AS Donald Trump sudah mengklaim bahwa AS sudah memenangkan perang dagang dengan Negeri Tirai Bambu.
“Kita Menang, tapi harus kuat,” tulis mantan taipan properti itu di serangkaian cuitan di Twitter pada hari Sabtu (04/08/2018).
Trump juga menuliskan bahwa pasar saham China telah jatuh 27% dalam 4 bulan terakhir, dibandingkan dengan ekonomi AS yang terus menguat.
Kemudian, eks pembawa acara The Apprentice itu juga mengklaim bahwa bea masuk yang diterapkan pemerintahannya telah mendorong pembukaan kembali pabrik baja di AS.
Sebagai informasi, pada hari Jumat (03/08/2018), pasar saham China telah kehilangan status sebagai “bursa terbesar kedua di dunia”, setelah posisinya digeser oleh Jepang, untuk pertama kalinya dalam 4 tahun terakhir. Bursa saham China telah kehilangan US$2,29 triliun sejak Januari 2018, akibat kekhawatiran investor terkait perang dagang, bertambahnya tumpukan utang, dan pertumbuhan ekonomi yang melambat. Keenam, rilis data-data ekonomi AS. Dalam sepekan ke depan, AS akan merilis data Indeks Harga Produsen periode Juli 2018, data klaim pengangguran dalam sepekan yang berakhir tanggal, 3 Agustus, dan inflasi periode Juli 2018.
Apabila data-data tersebut menghasilkan hasil yang positif, maka peluang The Federal Reserve/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan sebanyak 4 kali di tahun ini, semakin terbuka lebar. Lebih banyak dari perkiraan awal sebanyak 3 kali.
Seperti diketahui, pekan ini The Fed memang menahan suku bunga acuan tetap berada di rentang 1,75-2%. Meskipun begitu, pernyataan The Fed yang bernada hawkish muncul beriringan dengan keputusan menahan suku bunga acuan tersebut.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed. Pelaku pasar semakin yakin bahwa bank sentral AS akan menaikkan suku bunga dua kali lagi sampai akhir tahun.
Menurut CME Fedwatch, kemungkinan kenaikan Federal Funds Rate pada September mencapai 93,6%. Suku bunga acuan diperkirakan kembali naik pada Desember, dengan probabilitas 66,7%.
Ketujuh, perkembangan isu Brexit perlu diwaspadai oleh investor. Gubernur Bank of England (BoE) Mark Carney menyebut bahwa kemungkinan Inggris keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan adalah tinggi. Keluarnya Inggris dari Uni Eropa tanpa diimbangi kesepakatan dikenal sebagai hard Brexit.
Jika ini yang terjadi, maka perdagangan antara Inggris dengan Uni Eropa akan dikenakan bea masuk. Selama ini, Inggris masuk dalam wilayah kepabeanan Uni Eropa sehingga tidak ada pengenaan bea.
Selain itu, kesepakatan dagang yang selama ini sudah terjalin antara Uni Eropa dengan negara-negara lain tak akan bisa dinikmati Inggris, jika skenario hard Brexit menjadi kenyataan.
Kondisi itu lantas bakal berdampak pada perlambatan ekonomi Inggris. Terlebih, pekan ini BoE memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin ke posisi 0,75%, yang mana dikhawatirkan semakin menambah beban bagi perekonomian Negeri Ratu Elizabeth.
Sebagai tambahan, laju ekonomi Inggris akan dikonfirmasi melalui rilis data pembacaan awal pertumbuhan ekonomi kuartal II-2018 pada hari Jumat (10/08/2018).
(ray) Next Article Bursa RI Merah Padam! Tenang...Asing Tetap Borong Saham
Most Popular