
Perang Dagang AS-China Makin Parah, Bursa Saham Asia Melemah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
02 August 2018 16:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham utama kawasan Asia ditutup di zona merah: indeks Nikkei turun 1,03%, indeks Shanghai turun 2,03%, indeks Hang Seng turun 2,21%, indeks Strait Times turun 1,28%, dan indeks Kospi turun 1,6%.
Ada dua sentimen utama yang membawa bursa saham Benua Kuning ke zona merah. Pertama, perang dagang antara AS dan China yang semakin panas.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah meminta pejabat tinggi bidang perdagangan untuk mempertimbangkan menaikkan bea masuk terhadap produk China senilai US$200 miliar (Rp 2.889 triliun) menjadi 25%, dari 10% yang saat ini sedang dikaji, menurut pengumuman Kantor Perwakilan Perdagangan AS pada hari Rabu (1/8/2018).
Tidak ada langkah khusus China yang membuat presiden mengajukan rekomendasi itu, kata seorang pejabat senior yang menolak disebutkan namanya dalam sebuah telekonferensi dengan wartawan.
Meminta Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer untuk mempertimbangkan kenaikan bea masuk adalah upaya pemerintah untuk mendorong China membuka pasarnya, menaikkan persaingan, dan mencabut tarif balasannya ke AS, kata pejabat tersebut.
"Pekan ini, Presiden telah memberi arahan agar saya mempertimbangkan menaikkan usulan bea masuk tambahan dari 10% menjadi 25%. Bea masuk 25% akan dikenakan terhadap daftar barang-barang yang diusulkan yang telah diumumkan pada 10 Juli lalu," kata Lighthizer dalam sebuah pernyataan.
"Pemerintahan Trump terus mendorong China untuk menghentikan praktik tidak adilnya, membuka pasar, dan terlibat dalam kompetisi pasar yang sebenarnya. Kami telah sangat jelas mengenai perubahan spesifik apa yang China harus lakukan. Sangat disesalkan bahwa alih-alih mengubah sikap berbahayanya, China justru telah secara ilegal membalas pekerja, petani, peternak, dan bisnis AS," tambahnya.
Pemerintah AS akan memperpanjang masa komentar publik terhadap usulan tarif itu hingga 5 September dari sebelumnya 30 Agustus untuk mendapatkan masukan mengenai tarif seperti apa yang seharusnya diterapkan Gedung Putih.
Beijing pun merespons dengan keras. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menilai langkah AS sebagai upaya pemerasan. China pun siap membalas jika AS betul-betul memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk asal Negeri Tirai Bambu.
"Tekanan dan pemerasan AS tidak akan berpengaruh. Jika AS benar-benar menempuh kebijakan lanjutan, maka China akan melakukan balasan untuk melindungi kepentingan nasional," kata Geng, mengutip Reuters.
Jika perang dagang dalam skala besar benar-benar terjadi antara AS dan China, laju perekonomian dunia menjadi taruhannya.
Sentimen kedua yang menekan laju bursa saham Benua Kuning adalah hasil pertemuan the Federal Reserve. Walaupun the Fed menahan suku bunga acuan di level 1,75%-2% seperti estimasi para ekonom, bank sentral menyuarakan nada optimis mengenai perekonomian Negeri Paman Sam.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pernyataan the Fed ini dianggap sebagai sinyal bahwa sampai dengan akhir tahun, masih akan ada 2 kali kenaikan suku bunga acuan atau 4 kali secara total. Sebagai catatan, saat ini the Fed memang memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini, lebih agresif dibandingkan proyeksi pada awal tahun yang sebanyak 3 kali saja.
Data tenaga kerja juga mendukung bank sentral untuk bergerak secara agresif. Sepanjang bulan Juli, angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian versi ADP diumumkan sebanyak 219.000, jauh lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebanyak 185.000.
Data tenaga kerja merupakan salah satu indikator utama bagi the Fed dalam menentukan arah kebijakannya. Ketika pasar tenaga kerja bergairah, the Fed menjadi memiliki alasan untuk mengeksekusi rencananya.
Masalahnya, kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif dikhawatirkan bisa 'mematikan' laju perekonomian Negeri Paman Sam. Terlebih, risiko perang dagang masih terus mengintai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Ada dua sentimen utama yang membawa bursa saham Benua Kuning ke zona merah. Pertama, perang dagang antara AS dan China yang semakin panas.
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah meminta pejabat tinggi bidang perdagangan untuk mempertimbangkan menaikkan bea masuk terhadap produk China senilai US$200 miliar (Rp 2.889 triliun) menjadi 25%, dari 10% yang saat ini sedang dikaji, menurut pengumuman Kantor Perwakilan Perdagangan AS pada hari Rabu (1/8/2018).
Meminta Perwakilan Perdagangan AS Robert Lighthizer untuk mempertimbangkan kenaikan bea masuk adalah upaya pemerintah untuk mendorong China membuka pasarnya, menaikkan persaingan, dan mencabut tarif balasannya ke AS, kata pejabat tersebut.
"Pekan ini, Presiden telah memberi arahan agar saya mempertimbangkan menaikkan usulan bea masuk tambahan dari 10% menjadi 25%. Bea masuk 25% akan dikenakan terhadap daftar barang-barang yang diusulkan yang telah diumumkan pada 10 Juli lalu," kata Lighthizer dalam sebuah pernyataan.
"Pemerintahan Trump terus mendorong China untuk menghentikan praktik tidak adilnya, membuka pasar, dan terlibat dalam kompetisi pasar yang sebenarnya. Kami telah sangat jelas mengenai perubahan spesifik apa yang China harus lakukan. Sangat disesalkan bahwa alih-alih mengubah sikap berbahayanya, China justru telah secara ilegal membalas pekerja, petani, peternak, dan bisnis AS," tambahnya.
Pemerintah AS akan memperpanjang masa komentar publik terhadap usulan tarif itu hingga 5 September dari sebelumnya 30 Agustus untuk mendapatkan masukan mengenai tarif seperti apa yang seharusnya diterapkan Gedung Putih.
Beijing pun merespons dengan keras. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menilai langkah AS sebagai upaya pemerasan. China pun siap membalas jika AS betul-betul memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk asal Negeri Tirai Bambu.
"Tekanan dan pemerasan AS tidak akan berpengaruh. Jika AS benar-benar menempuh kebijakan lanjutan, maka China akan melakukan balasan untuk melindungi kepentingan nasional," kata Geng, mengutip Reuters.
Jika perang dagang dalam skala besar benar-benar terjadi antara AS dan China, laju perekonomian dunia menjadi taruhannya.
Sentimen kedua yang menekan laju bursa saham Benua Kuning adalah hasil pertemuan the Federal Reserve. Walaupun the Fed menahan suku bunga acuan di level 1,75%-2% seperti estimasi para ekonom, bank sentral menyuarakan nada optimis mengenai perekonomian Negeri Paman Sam.
"Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pernyataan the Fed ini dianggap sebagai sinyal bahwa sampai dengan akhir tahun, masih akan ada 2 kali kenaikan suku bunga acuan atau 4 kali secara total. Sebagai catatan, saat ini the Fed memang memproyeksikan kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini, lebih agresif dibandingkan proyeksi pada awal tahun yang sebanyak 3 kali saja.
Data tenaga kerja juga mendukung bank sentral untuk bergerak secara agresif. Sepanjang bulan Juli, angka penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian versi ADP diumumkan sebanyak 219.000, jauh lebih tinggi dari konsensus yang dihimpun oleh Reuters sebanyak 185.000.
Data tenaga kerja merupakan salah satu indikator utama bagi the Fed dalam menentukan arah kebijakannya. Ketika pasar tenaga kerja bergairah, the Fed menjadi memiliki alasan untuk mengeksekusi rencananya.
Masalahnya, kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif dikhawatirkan bisa 'mematikan' laju perekonomian Negeri Paman Sam. Terlebih, risiko perang dagang masih terus mengintai.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular