
Harga Emas Masih Betah di Titik Terendah Dalam 1,5 Tahun
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
02 August 2018 11:16

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas COMEX kontrak pengiriman Desember 2018 bergerak stabil cenderung menguat tipis sebesar 0,02% ke US$1.227,8/troy ounce, pada perdagangan hari ini Kamis (02/08/2018) hingga pukul 10.30 WIB hari ini.
Dengan pergerakan itu, harga emas masih betah di level terendahnya dalam 1,5 tahun, atau sejak akhir Januari 2017. Sebagai informasi, pada perdagangan kemarin harga emas terperosok 0,49% ke level US$1.227,6/troy ounce.
Harga sang logam mulia mendapatkan tekanan dari perkasanya dolar Amerika Serikat (AS) pasca komentar bernada hawkish dari Gubernur The Federal Reserve/The Fed semalam. Namun, di sisi lain, harga emas mendapatkan dukungan dari kembali berkecamuknya perang dagang AS-China.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, menguat 0,09% ke 94,71 hingga pukul 10.30 WIB hari ini. Dalam 3 bulan terakhir, indeks ini sudah menguat di kisaran 2,5%.
Hari ini, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) didukung oleh hasil rapat The Federal Reserve/The Fed yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 1,75-2%. Namun, Jerome Powell dan kolega seakan memberi petunjuk yang semakin kuat bahwa suku bunga acuan kemungkinan besar naik pada rapat bulan depan.
Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pernyataan tersebut membuat pasar memperkirakan suku bunga acuan akan naik dua kali lagi yaitu pada September dan Desember. Probabilitas kenaikan pada September mencapai 91%, sementara Desember adalah 71%, mengutip CME Fedwatch.
Apalagi data-data ekonomi AS terus positif. Pada Juli 2018, perekonomian AS menciptakan 219.000 lapangan kerja. Jauh melampaui konsensus Reuters yang mengestimasikan penambahan sebesar 185.000. Capaian ini menjadi yang tertinggi sejak Februari 2018, saat terjadi peningkatan sebesar 241.000.
Merespons data yang kuat itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sempat menembus level psikologis 3% pagi ini. Ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2018. Yield obligasi AS dan greenback punya hubungan positif, saat yield naik maka dolar AS pun cenderung menguat.
Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terapresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih mahal untuk pemegang mata uang asing selain dolar AS. Hal ini lantas mampu menekan permintaan sang logam mulia.
Di sisi lain, pelaku pasar mencermati kembali panasnya bara perang dagang AS-China. Reuters melaporkan, seorang sumber mengungkap bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengumumkan aturan pengenaan bea masuk baru terhadap importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Tarifnya bukan lagi 10% seperti rencana awal, tetapi 25%.
"Kemungkinan kenaikan tarif bea masuk itu bertujuan untuk mendorong China agar mengubah kebijakannya supaya dapat menciptakan pasar yang lebih adil dan bermanfaat bagi seluruh warga AS," tegas Kepala US Trade Representative Robert Lighthizer dalam pernyataan tertulis, dikutip dari Reuters.
Beijing pun merespons dengan nada keras. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menilai langkah AS sebagai upaya pemerasan. China pun siap membalas jika AS betul-betul memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk asal Negeri Tirai Bambu.
"Tekanan dan pemerasan AS tidak akan berpengaruh. Jika AS benar-benar menempuh kebijakan lanjutan, maka China akan melakukan balasan untuk melindungi kepentingan nasional," kata Geng, mengutip Reuters.
Perang dagang adalah sebuah isu besar yang bisa mempengaruhi prospek perekonomian dunia. Ketika perdagangan dunia bermasalah akibat saling proteksi, maka pertumbuhan ekonomi terancam. Oleh karena itu, investor pun akan cenderung melepas aset-aset berisiko, dan beralih memeluk instrument safe haven seperti emas. Hal ini kemudian memberikan dukungan bagi harga emas hari ini.
(RHG/gus) Next Article Dolar AS Merana Karena China, Harga Emas Terus Melaju
Dengan pergerakan itu, harga emas masih betah di level terendahnya dalam 1,5 tahun, atau sejak akhir Januari 2017. Sebagai informasi, pada perdagangan kemarin harga emas terperosok 0,49% ke level US$1.227,6/troy ounce.
Harga sang logam mulia mendapatkan tekanan dari perkasanya dolar Amerika Serikat (AS) pasca komentar bernada hawkish dari Gubernur The Federal Reserve/The Fed semalam. Namun, di sisi lain, harga emas mendapatkan dukungan dari kembali berkecamuknya perang dagang AS-China.
Dollar Index, yang mencerminkan posisi greenback terhadap 6 mata uang utama dunia, menguat 0,09% ke 94,71 hingga pukul 10.30 WIB hari ini. Dalam 3 bulan terakhir, indeks ini sudah menguat di kisaran 2,5%.
Hari ini, penguatan dolar Amerika Serikat (AS) didukung oleh hasil rapat The Federal Reserve/The Fed yang memutuskan untuk menahan suku bunga acuan di 1,75-2%. Namun, Jerome Powell dan kolega seakan memberi petunjuk yang semakin kuat bahwa suku bunga acuan kemungkinan besar naik pada rapat bulan depan.
Pembukaan lapangan kerja begitu besar, angka pengangguran bertahan di tingkat rendah. Konsumsi rumah tangga dan dunia usaha pun tumbuh dengan kuat," sebut pernyataan The Fed.
Pernyataan tersebut membuat pasar memperkirakan suku bunga acuan akan naik dua kali lagi yaitu pada September dan Desember. Probabilitas kenaikan pada September mencapai 91%, sementara Desember adalah 71%, mengutip CME Fedwatch.
Apalagi data-data ekonomi AS terus positif. Pada Juli 2018, perekonomian AS menciptakan 219.000 lapangan kerja. Jauh melampaui konsensus Reuters yang mengestimasikan penambahan sebesar 185.000. Capaian ini menjadi yang tertinggi sejak Februari 2018, saat terjadi peningkatan sebesar 241.000.
Merespons data yang kuat itu, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun sempat menembus level psikologis 3% pagi ini. Ini merupakan level tertinggi sejak Mei 2018. Yield obligasi AS dan greenback punya hubungan positif, saat yield naik maka dolar AS pun cenderung menguat.
Seperti diketahui, aset berdenominasi dolar AS seperti emas akan sensitif terhadap pergerakan mata uang tersebut. Terapresiasinya dolar AS akan membuat emas relatif lebih mahal untuk pemegang mata uang asing selain dolar AS. Hal ini lantas mampu menekan permintaan sang logam mulia.
Di sisi lain, pelaku pasar mencermati kembali panasnya bara perang dagang AS-China. Reuters melaporkan, seorang sumber mengungkap bahwa Presiden AS Donald Trump akan segera mengumumkan aturan pengenaan bea masuk baru terhadap importasi produk-produk China senilai US$ 200 miliar. Tarifnya bukan lagi 10% seperti rencana awal, tetapi 25%.
"Kemungkinan kenaikan tarif bea masuk itu bertujuan untuk mendorong China agar mengubah kebijakannya supaya dapat menciptakan pasar yang lebih adil dan bermanfaat bagi seluruh warga AS," tegas Kepala US Trade Representative Robert Lighthizer dalam pernyataan tertulis, dikutip dari Reuters.
Beijing pun merespons dengan nada keras. Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, menilai langkah AS sebagai upaya pemerasan. China pun siap membalas jika AS betul-betul memberlakukan bea masuk baru bagi produk-produk asal Negeri Tirai Bambu.
"Tekanan dan pemerasan AS tidak akan berpengaruh. Jika AS benar-benar menempuh kebijakan lanjutan, maka China akan melakukan balasan untuk melindungi kepentingan nasional," kata Geng, mengutip Reuters.
Perang dagang adalah sebuah isu besar yang bisa mempengaruhi prospek perekonomian dunia. Ketika perdagangan dunia bermasalah akibat saling proteksi, maka pertumbuhan ekonomi terancam. Oleh karena itu, investor pun akan cenderung melepas aset-aset berisiko, dan beralih memeluk instrument safe haven seperti emas. Hal ini kemudian memberikan dukungan bagi harga emas hari ini.
(RHG/gus) Next Article Dolar AS Merana Karena China, Harga Emas Terus Melaju
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular