
Ditopang Data Inflasi, IHSG Melesat 1,08%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
01 August 2018 12:37

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat hingga 1,08% sampai dengan akhir sesi 1 ke level 6.000,8. Penguatan IHSG terjadi kala bursa saham utama kawasan Asia diperdagangkan bervariasi: indeks Nikkei naik 0,87%, indeks Strait Times naik 0,13%, indeks Kospi naik 0,38%, indeks Shanghai turun 0,32%, dan indeks Hang Seng turun 0,03%.
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 3,67 triliun dengan volume sebanyak 4,71 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 246.085 kali.
Penguatan IHSG dimotori oleh rilis data inflasi periode Juli yang lebih rendah dari ekspektasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Juli 2018 terjadi inflasi sebesar 3,18% YoY, lebih rendah dari median konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 3,2% YoY.
Seiring dengan inflasi yang terkendali, saham-saham emiten barang konsumsi menjadi buruan investor seperti PT Kalbe Farma Tbk/KLBF (+3,47%), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (+2,54%), PT Kimia Farma Tbk/KAEF (+1,72%), PT Gudang Garam Tbk/GGRM (+1,53%), dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (+0,29%).
Sebelum data inflasi dirilis, indeks sektor barang konsumsi diperdagangkan di level 2.461,52 (+0,61% dibandingkan penutupan kemarin, 31/7/2018). Pada akhir sesi 1, indeks tersebut diperdagangkan di level 2.468,14 atau naik sebesar 0,88%.
Sejatinya, inflasi yang lebih rendah dari ekspektasi bisa diartikan sebagai lemahnya konsumsi masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain rendahnya inflasi bisa juga diinterpretasikan sebagai bukti bahwa pelemahan nilai tukar yang terjadi sepanjang bulan Juli belum begitu mempengaruhi harga-harga barang dan jasa di dalam negeri, salah satunya karena intervensi pemerintah dalam menekan kenaikan harga bahan makanan.
Sepanjang bulan Juli, inflasi bahan makanan tercatat sebesar 0,86% MoM, sementara inflasi makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau tercatat sebesar 0,45% MoM.
Seiring dengan rendahnya inflasi, kedepannya konsumsi masyarakat Indonesia diharapkan meningkat dan menopang kinerja dari emiten-emiten sektor barang konsumsi.
Selain itu, investor juga merespon positifnya rilis data Manufacturing PMI periode Juli yang diumumkan di level 50,5, lebih tinggi dari capaian bulan Juni yang sebesar 50,3.
Positifnya sentimen dari dalam negeri bahkan bisa membuat investor asing membukukan beli berish senilai Rp 75,99 miliar, terlepas dari sentimen eksternal yang tak mendukung. 5 besar saham yang dikoleksi investor asing diantaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 51,6 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 40,2 miliar), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (Rp 25,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 17,8 miliar), dan PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (Rp 17,1 miliar).
Dari sisi eksternal, kondisinya memang bisa dibilang tidak kondusif bagi bursa saham Benua Kuning, seiring dengan isu perang dagang yang kembali mencuat ke permukaan. Mengutip CNBC International, seorang sumber mengatakan bahwa AS berencana untuk mengenakan 25% tarif bagi barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar. Kebijakan ini bisa diumumkan paling cepat pada hari ini.
Sebelumnya, tarif yang rencananya dikenakan hanyalah 10% dan menyasar barang-barang yang masuk dalam program Made in China 2025, sebuah rencana strategis Beijing untuk membuat China menjadi pemimpin industri-industri penting dunia, termasuk teknologi.
Keputusan AS ini jelas akan membuat panas kubu China dan mungkin akan semakin menjauhkan kedua pihak dari kesepakatan.
Padahal, sebelum berita ini beredar tersiar kabar bahwa Amerika Serikat (AS) dan China sedang mencoba membuka kembali negosiasi di bidang perdagangan, menurut laporan Bloomberg News yang dikutip CNBC International hari Selasa (31/7/2018).
Kabar tersebut mengatakan perwakilan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Wakil Perdana Menteri China Liu He sedang berbicara secara pribadi, menurut sumber-sumber yang mengetahui hal tersebut.
Mnuchin sempat menyatakan kepada CNBC International pekan lalu bahwa ada upaya lanjutan berupa beberapa pembicaraan diam-diam dengan China mengenai hubungan perdagangan dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Inflasi Lebih Rendah dari Ekspektasi, IHSG Naik di Atas 6.000
Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 3,67 triliun dengan volume sebanyak 4,71 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 246.085 kali.
Penguatan IHSG dimotori oleh rilis data inflasi periode Juli yang lebih rendah dari ekspektasi. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada Juli 2018 terjadi inflasi sebesar 3,18% YoY, lebih rendah dari median konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia sebesar 3,2% YoY.
Sebelum data inflasi dirilis, indeks sektor barang konsumsi diperdagangkan di level 2.461,52 (+0,61% dibandingkan penutupan kemarin, 31/7/2018). Pada akhir sesi 1, indeks tersebut diperdagangkan di level 2.468,14 atau naik sebesar 0,88%.
Sejatinya, inflasi yang lebih rendah dari ekspektasi bisa diartikan sebagai lemahnya konsumsi masyarakat Indonesia. Namun, di sisi lain rendahnya inflasi bisa juga diinterpretasikan sebagai bukti bahwa pelemahan nilai tukar yang terjadi sepanjang bulan Juli belum begitu mempengaruhi harga-harga barang dan jasa di dalam negeri, salah satunya karena intervensi pemerintah dalam menekan kenaikan harga bahan makanan.
Sepanjang bulan Juli, inflasi bahan makanan tercatat sebesar 0,86% MoM, sementara inflasi makanan jadi, minuman, rokok, dan tembakau tercatat sebesar 0,45% MoM.
Seiring dengan rendahnya inflasi, kedepannya konsumsi masyarakat Indonesia diharapkan meningkat dan menopang kinerja dari emiten-emiten sektor barang konsumsi.
Selain itu, investor juga merespon positifnya rilis data Manufacturing PMI periode Juli yang diumumkan di level 50,5, lebih tinggi dari capaian bulan Juni yang sebesar 50,3.
Positifnya sentimen dari dalam negeri bahkan bisa membuat investor asing membukukan beli berish senilai Rp 75,99 miliar, terlepas dari sentimen eksternal yang tak mendukung. 5 besar saham yang dikoleksi investor asing diantaranya: PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 51,6 miliar), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (Rp 40,2 miliar), PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (Rp 25,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 17,8 miliar), dan PT HM Sampoerna Tbk/HMSP (Rp 17,1 miliar).
Dari sisi eksternal, kondisinya memang bisa dibilang tidak kondusif bagi bursa saham Benua Kuning, seiring dengan isu perang dagang yang kembali mencuat ke permukaan. Mengutip CNBC International, seorang sumber mengatakan bahwa AS berencana untuk mengenakan 25% tarif bagi barang-barang impor asal China senilai US$ 200 miliar. Kebijakan ini bisa diumumkan paling cepat pada hari ini.
Sebelumnya, tarif yang rencananya dikenakan hanyalah 10% dan menyasar barang-barang yang masuk dalam program Made in China 2025, sebuah rencana strategis Beijing untuk membuat China menjadi pemimpin industri-industri penting dunia, termasuk teknologi.
Keputusan AS ini jelas akan membuat panas kubu China dan mungkin akan semakin menjauhkan kedua pihak dari kesepakatan.
Padahal, sebelum berita ini beredar tersiar kabar bahwa Amerika Serikat (AS) dan China sedang mencoba membuka kembali negosiasi di bidang perdagangan, menurut laporan Bloomberg News yang dikutip CNBC International hari Selasa (31/7/2018).
Kabar tersebut mengatakan perwakilan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Wakil Perdana Menteri China Liu He sedang berbicara secara pribadi, menurut sumber-sumber yang mengetahui hal tersebut.
Mnuchin sempat menyatakan kepada CNBC International pekan lalu bahwa ada upaya lanjutan berupa beberapa pembicaraan diam-diam dengan China mengenai hubungan perdagangan dua negara dengan perekonomian terbesar di dunia itu.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Inflasi Lebih Rendah dari Ekspektasi, IHSG Naik di Atas 6.000
Most Popular