Akhir Sesi I, IHSG Bertahan Menguat Sendirian di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 July 2018 12:24
IHSG menguat hampir sendirian sampai akhir sesi 1 yakni sebesar 0,29% ke level 6.006,72.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menguat hampir sendirian sampai akhir sesi 1 yakni sebesar 0,29% ke level 6.006,72. Di samping IHSG, hanya indeks SET (Thailand) yang mampu menghijau sampai siang hari ini yakni sebesar 0,7%.

Sementara itu, bursa saham lainnya di kawasan Asia kompak melemah: indeks Nikkei turun 0,64%, indeks Hang Seng turun 0,67%, indeks Strait Times turun 0,59%, indeks Kospi turun 0,11%, dan indeks KLCI (Malaysia) turun 0,06%.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 3,87 triliun dengan volume sebanyak 6,4 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 238.076 kali.

Laju IHSG tertolong oleh pencabutan Domestic Market Obligation (DMO). Kewajiban DMO sebelumnya mengatur tiap-tiap produsen batu bara untuk mengalokasikan 25% dari produksinya untuk dijual kepada PLN dengan harga yang sudah di atur sebelumnya.

Nantinya, kebijakan DMO akan digantikan dengan skema ekspor yang serupa dengan kelapa sawit yakni dikenakan tarif. Tarif tersebut akan difungsikan sebagai cadangan dana untuk mensubsidi PLN.

Seiring dengan pencabutan DMO, saham-saham emiten batu bara melesat naik seperti PT Harum Energy Tbk/HRUM (+12,3%), PT Indika Energy Tbk/INDY (+9,63%), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (+6,36%), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk/ITMG (+3,02%).

Indeks sektor pertambangan pun menguat hingga 1,67%, menjadikannya kontirbutor utama bagi penguatan IHSG.

Penghapusan DMO memang sebelumnya kami proyeksi akan berdampak positif bagi emiten-emiten batu bara. Pasalnya, para emiten jadi bisa menikmati harga batu bara dengan standar internasional yang saat ini sedang tinggi-tingginya.

Sepanjang 2018 (sampai dengan penutupan perdagangan hari Jumat, 27/7/2018), harga batu bara Newcastle kontrak pengiriman bulan Juli telah menguat hingga 18,95% (dari US$ 100,8/metrik ton menjadi US$ 119,9/metrik ton).

Apalagi, prospek harga batu bara masih cukup menarik, disokong oleh menguatnya permintaan dari China. Pada musim semi yang baru saja berakhir, suhu udara ternyata lebih panas dari biasanya. Pembangkit listrik bertenaga batu bara mau tidak mau harus menggenjot produksi listriknya seiring naiknya tingkat penggunaan pendingin ruangan di kota-kota besar seperti Beijing dan Shanghai.

Jika musim semi saja sudah seperti itu, musim panas yang berlangsung pada bulan Juli-Agustus tentunya akan memberikan temperatur yang amat panas di Negeri Tirai Bambu. Permintaan batu bara, khususnya untuk pembangkit listrik, diperkirakan akan mencapai puncaknya.

Di sisi lain, tekanan bagi bursa saham Benua Kuning datang dari kuatnya angka pertumbuhan ekonomi AS. Pada hari Jumat lalu, pembacaan awal untuk pertumbuhan ekonomi kuartal-II 2018 diumumkan di level 4,1% QoQ (annualized), dimana ini merupakan level tertinggi dalam nyaris 4 tahun.

Dalam konferensi pers yang digelar setelah data dirilis, Presiden Donald Trump bahkan dengan optimistis menyebut bahwa pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi kedepannya.

"Kita akan mencapai level yang jauh lebih tinggi," papar presiden AS ke-45 tersebut.

Ia kemudian menyebut bahwa AS sedang menuju level pertumbuhan ekonomi tahunan tertinggi dalam lebih dari 13 tahun.

"Seiring dengan tercapainya kesepakatan dagang satu demi satu, kita akan mencapai level yang jauh lebih tinggi daripada angka-angka ini, dan angka-angka ini adalah angka yang baik," terang Trump.

Kencangnya laju perekonomian AS lantas membuat persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve semakin mencuat. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures, terdapat 67,1% kemungkinan bahwa the Fed akan menaikkan suku bunga acuan hingga ke level 2,25%-2,5% sampai dengan akhir tahun atau sebanyak 4 kali secara total. Padahal, pada 1 minggu yang lalu probabilitasnya masih berada di level 55,7%.

Di sisi lain, probabilitas bahwa suku bunga acuan akan berada di level 2%-2,25% atau mengimplikasikan kenaikan sebanyak 3 kali sepanjang tahun ini turun drastis menjadi 26,4% saja, dari yang sebelumnya 34,1% pada minggu lalu.

Walaupun ekonomi AS sedang panas dan tensi perang dagang sedang mereda, ada kekhawatiran bahwa kedepannya risiko perang dagang bisa kembali mencuat. Jika hal ini yang terjadi, kenaikan suku bunga acuan yang kelewat agresif berpotensi mengancam laju perekonomian AS.

Bagi instrumen berisiko seperti saham, hal tersebut tentu bukan kabar baik.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article DMO Dicabut, IHSG Kembali Ke Atas 6.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular