
Kinerja INCO Mulai Positif, Bagaimana dengan Sahamnya?
Irvin Avriano A., CNBC Indonesia
27 July 2018 15:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja kuartal II-2018 PT Vale Indonesia Tbk (INCO) berbalik membaik setelah sempat tertekan. Dari total laba semester I-2018 US$ 29,38 juta, laba kuartal II-2018 sendiri berhasil dicatatkan US$22,6 juta, bertolak belakang dari rugi bersih kuartal II-2017 yang mencapai US$15,3 juta.
Analis PT Indo Premier Sekuritas Frederick Daniel Tanggela, dalam risetnya pada 26 Juli menyatakan optimistis bahwa target kinerja emiten akan sesuai dengan prediksi dirinya dan tim riset Indo Premier akhir tahun ini yaitu US$ 80,4 juta.
Meskipun mengapresiasi kinerja perusahaan yang positif pada kuartal II-2018 dan kinerja emiten ke depannya, Frederick pesimistis terhadap kenaikan harga nikel di pasar pada semester II-2018, sehingga dia memprediksi pertumbuhan kinerja INCO pada paruh kedua 2018 akan berasal dari kenaikan volume penjualan.
Untuk harga nikel global, dia memprediksi harga tidak akan berlanjut naik signifikan karena melambatnya permintaan nikel dari industri baja (yang memanfaatkan nikel untuk menjadi besi tahan karat/stainless steel).
Dia juga mencermati selisih harga antara nikel kelas atas (high grade, yang digunakan untuk baterai) dan kelas bawah (low grade, untuk stainless steel) yang melebar sehingga mengindikasikan melambatnya permintaan dari industri baja yang melambat tadi.
Mereka menetapkan asumsi harga nikel yang konservatif yaitu di antara US$ 13.000-US$ 14.000 per ton pada 2018-2019.
Karena prospek yang tidak terlalu menjanjikan ke depannya (hanya menyisakan potensi kenaikan harga saham 4% hingga akhir tahun, Frederick menyematkan target harga (TP) INCO yang sama Rp 4.500 sekaligus menurunkan prediksi menjadi Hold dari sebelumnya Buy.
Berbeda dengan Frederick, analis PT BCA Sekuritas Aditya Eka Prakasa dan tim menyatakan optimistis dengan harga nikel pada semester II-2018.
Dalam risetnya hari ini, dia memprediksi harga nikel akan terus naik karena beberapa hal. Pertama, penurunan persediaan metal di London Metal Exchange (LME) dan Shanghai Futures Exchange (SHFE) yang mencerminkan defisit global yang sekarang terjadi. Meskipun ekspor bijih nikel Indonesia sudah dibolehkan kembali, tetapi belum terjadi peningkatan suplai global secara signifikan.
Hal itu ditambah dengan ekspor Filipina yang turun, yang diyakini akan memperpanjang defisit nikel hingga 2019 karena produksi yang terbatas.
Kedua, ekspektasi bahwa produksi baterai kendaraan listrik akan mendongkrak konsumsi nikel di masa depan, meskipun saat ini permintaannya saat ini masih terbatas, yang juga memicu naiknya harga nikel.
Karena itu, Aditya dan tim menaikkan asumsi harga nikel 2018-2019 menjadi US$ 14.500 per ton dan US$ 15.500 per ton untuk 2018-2019.
Meskipun positif terhadap harga INCO, Aditya masih mencerminati potensi anjlognya harga energi dalam jumlah signfikan yang dapat terjadi dan berpotensi menurunkan 201 7.
Dalam riset yang sama, Aditya juga memperhatikan rencana ekspansi emiten di Sorowako yang diprediksi rampung pada 2022 sehingga meningkatkan kapasitas menjadi 90.000 ton per tahun.
Pabrik pengolahan (smelter) di Bahodapi dan Pomalaa juga masih tergantung dari kerja sama pihak ketiga, yang harus diperjelas pada semester II-2018.
Karena faktor utama potensi berlanjutnya harga nikel, Aditya langsung menaikkan rekomendasi menjadi BUY dan meningkatkan target harga (TP) menjadi Rp 5.650. Dia mencatat risiko kunci dari TP tersebut tentunya adalah harga nikel yang lebih rendah daripada prediksi.
Hingga sore ini, saham perseroan masih terus bergerak naik karena tekanan beli hingga 180 poin (1,84%) menjadi Rp 4.430.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Harga Nikel Anjlok, Investor Tak "Pede" Pegang Saham INCO
Analis PT Indo Premier Sekuritas Frederick Daniel Tanggela, dalam risetnya pada 26 Juli menyatakan optimistis bahwa target kinerja emiten akan sesuai dengan prediksi dirinya dan tim riset Indo Premier akhir tahun ini yaitu US$ 80,4 juta.
Meskipun mengapresiasi kinerja perusahaan yang positif pada kuartal II-2018 dan kinerja emiten ke depannya, Frederick pesimistis terhadap kenaikan harga nikel di pasar pada semester II-2018, sehingga dia memprediksi pertumbuhan kinerja INCO pada paruh kedua 2018 akan berasal dari kenaikan volume penjualan.
Dia juga mencermati selisih harga antara nikel kelas atas (high grade, yang digunakan untuk baterai) dan kelas bawah (low grade, untuk stainless steel) yang melebar sehingga mengindikasikan melambatnya permintaan dari industri baja yang melambat tadi.
Mereka menetapkan asumsi harga nikel yang konservatif yaitu di antara US$ 13.000-US$ 14.000 per ton pada 2018-2019.
Karena prospek yang tidak terlalu menjanjikan ke depannya (hanya menyisakan potensi kenaikan harga saham 4% hingga akhir tahun, Frederick menyematkan target harga (TP) INCO yang sama Rp 4.500 sekaligus menurunkan prediksi menjadi Hold dari sebelumnya Buy.
Berbeda dengan Frederick, analis PT BCA Sekuritas Aditya Eka Prakasa dan tim menyatakan optimistis dengan harga nikel pada semester II-2018.
Dalam risetnya hari ini, dia memprediksi harga nikel akan terus naik karena beberapa hal. Pertama, penurunan persediaan metal di London Metal Exchange (LME) dan Shanghai Futures Exchange (SHFE) yang mencerminkan defisit global yang sekarang terjadi. Meskipun ekspor bijih nikel Indonesia sudah dibolehkan kembali, tetapi belum terjadi peningkatan suplai global secara signifikan.
Hal itu ditambah dengan ekspor Filipina yang turun, yang diyakini akan memperpanjang defisit nikel hingga 2019 karena produksi yang terbatas.
Kedua, ekspektasi bahwa produksi baterai kendaraan listrik akan mendongkrak konsumsi nikel di masa depan, meskipun saat ini permintaannya saat ini masih terbatas, yang juga memicu naiknya harga nikel.
Karena itu, Aditya dan tim menaikkan asumsi harga nikel 2018-2019 menjadi US$ 14.500 per ton dan US$ 15.500 per ton untuk 2018-2019.
Meskipun positif terhadap harga INCO, Aditya masih mencerminati potensi anjlognya harga energi dalam jumlah signfikan yang dapat terjadi dan berpotensi menurunkan 201 7.
Dalam riset yang sama, Aditya juga memperhatikan rencana ekspansi emiten di Sorowako yang diprediksi rampung pada 2022 sehingga meningkatkan kapasitas menjadi 90.000 ton per tahun.
Pabrik pengolahan (smelter) di Bahodapi dan Pomalaa juga masih tergantung dari kerja sama pihak ketiga, yang harus diperjelas pada semester II-2018.
Karena faktor utama potensi berlanjutnya harga nikel, Aditya langsung menaikkan rekomendasi menjadi BUY dan meningkatkan target harga (TP) menjadi Rp 5.650. Dia mencatat risiko kunci dari TP tersebut tentunya adalah harga nikel yang lebih rendah daripada prediksi.
Hingga sore ini, saham perseroan masih terus bergerak naik karena tekanan beli hingga 180 poin (1,84%) menjadi Rp 4.430.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(hps) Next Article Harga Nikel Anjlok, Investor Tak "Pede" Pegang Saham INCO
Most Popular