Ambisi Infrastruktur Jokowi & Anjloknya Nilai Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 July 2018 14:33
Ambisi Infrastruktur Jokowi & Anjloknya Nilai Rupiah
Foto: Exist In Exist
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah infrastruktur. Predikat itu memang tidak salah karena infrastruktur benar-benar jadi perhatian Jokowi sejak menduduki posisi RI-1. 

Demi infrastruktur, Jokowi berani melakukan revolusi di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Dalam APBN-Perubahan 2015, Jokowi tidak lagi memberi subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Sementara untuk solar diberti subsidi tetap Rp 500/liter. 

Dari kebijakan ini, pemerintah berhasil berhemat ratusan triliun. Maklum, anggaran subsidi BBM sebelumnya bisa mencapai kisaran Rp 300 triliun. Penghematan ini kemudian dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur. 

Kala Ambisi Infrastruktur Jokowi Terbentur Rupiah yang LesuKemenkeu


Tidak heran jika Jokowi berambisi memperbaiki infrastruktur Indonesia. Sebagai mantan pengusaha, Jokowi tahu betul bahwa salah satu hambatan utama kemajuan Indonesia adalah ketertinggalan dalam bidang ini.
 

Menurut catatan Bank Dunia dalam Logistic Performace Index (LPI), Indonesia menempati peringkat 46 pada 2018. Di antara negara-negara ASEAN, Indonesia masih di bawah Malaysia (41), Vietnam (39), Thailand (32), dan Singapura (7). 

Ini membuat biaya logistik Indonesia menjadi mahal, sekitar 23,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) menurut kajian Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI). Lebih mahal ketimbang Vietnam (25%), Thailand (13,2%), Malaysia (13%), apalagi Singapura (8,1%). 

Namun karena pembangunan infrastruktur Indonesia sering dibilang sudah terlambat, kebutuhannya pun membengkak. Sementara kebutuhan bahan baku maupun barang modal untuk pembangunan infrastruktur belum bisa seluruhnya dipasok oleh industri dalam negeri. Akibatnya, importasi untuk keperluan infrastruktur pun meningkat. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat beberapa impor barang modal dan bahan baku/penolong untuk keperluan infrastruktur naik tajam. Misalnya pembatas jalan atau guardrail yang tumbuh 1.028,85% secara year-on-year (YoY) pada April 2018, kabel serat optik dengan kenaikan 399,65%, atau besi lempengan alias steel slab yang naik 163,64%. 

Dari sinilah ambisi infrastruktur Jokowi menemui hambatan besar. Hambatan itu bernama pelemahan rupiah. 

Sejak awal tahun, rupiah telah terdepresiasi 6,6% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di antara mata uang utama Asia, hanya rupee India yang mengalami pelemahan lebih dalam.

Kala Ambisi Infrastruktur Jokowi Terbentur Rupiah yang LesuReuters

Depresiasi rupiah menjadi tantangan besar dalam pengelolaan ekonomi nasional. Di bidang perdagangan, pelemahan rupiah hanya membawa beban karena tidak mendongkrak kinerja ekspor dan menambah biaya impor. 

Belum lagi di pasar keuangan, pelemahan rupiah juga bukan kabar gembira. Saat rupiah melemah, berinvestasi di aset-aset berbasis mata uang ini menjadi kurang menguntungkan karena nilainya turun saat dikonversikan ke dolar AS.  

Investor asing cenderung keluar saat rupiah melemah. Ini menjadi salah satu penyebab nilai jual bersih investor asing di pasar saham mencapai Rp 50,13 triliun sejak awal tahun. Padahal sepanjang 2017, jual bersih investor asing 'hanya' Rp 39,9 triliun. 

Oleh karena itu, tidak heran bila pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menjadikan stabilitas rupiah sebagai prioritas jangka pendek. Bahkan BI sampai menaikkan suku bunga acuan 100 basis poin dalam 3 bulan demi memancing modal asing masuk agar rupiah bisa menguat. 

Di sisi pemerintah, saat ini sedang dikaji penundaan proyek-proyek infrastruktur yang tidak strategis agar beban impor tidak bertambah, yang berkontribusi terhadap pelemahan rupiah. Hal tersebut diungkapkan oleh Ahmad Erani Yustika, Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi. 

"Proyek infrastruktur yang besar-besar dan tidak mendesak akan ditunda untuk mengerem impor," ungkap Erani saat berkunjung ke kantor Transmedia, kemarin, dikutip dari CNN Indonesia. 

Dalam jangka pendek, Jokowi memang tidak punya pilihan. Jika memang prioritas saat ini adalah menyelamatkan rupiah, maka memang harus all out.

BI tidak bisa sendirian menangkal depresiasi rupiah, harus dibantu oleh otoritas lainnya. Kontribusi pemerintah bisa datang dari penundaan proyek infrastruktur untuk mengendalikan impor. 

Namun dalam jangka menengah-panjang, Indonesia harus membangun lebih banyak infrastruktur. Apabila infrastruktur tidak dibangun, maka ekonomi Indonesia akan sulit mencapai potensinya. Ini bisa berujung pada jebakan kelas menengah (middle income trap), kutukan bagi negara berpendapatan menengah yang sulit naik kelas menjadi negara maju. 

Tanpa infrastruktur yang memadai, ekonomi Indonesia juga rentan cepat panas alias overheat. Setiap kenaikan permintaan akan sulit dipenuhi oleh pasokan karena keterbatasan infrastruktur. Akibatnya satu; inflasi. Monster yang menggerogoti daya beli masyarakat. 

Kesimpulannya, Jokowi memang tidak punya pilihan untuk jangka pendek. Demi menjaga rupiah, segala daya upaya harus ditempuh dan melibatkan semua pihak. Semua harus berkontribusi, dan pemerintah bisa berperan melalui penundaan proyek infrastruktur non-prioritas. 

Namun, Indonesia tidak bisa terlalu lama menunda proyek infrastruktur. Ukuran ekonomi yang semakin besar membutuhkan dukungan infrastruktur agar tidak terjadi overheating. Infrastruktur adalah salah satu kunci bagi Indonesia untuk naik kelas menjadi negara maju. 

Oleh karena itu, mari berdoa agar pelemahan rupiah jangan terlalu lama. Amin...


TIM RISET CNBC INDONESIA





Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular