
Indonesia Tak Perlu Ikut Perang Mata Uang, Tak Ada Gunanya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 July 2018 14:33

Kemungkinan besar tidak. Sebab, pelemahan rupiah yang terlalu dalam hampir tidak ada gunanya bagi Indonesia.
Ada beberapa alasan. Pertama, kalau untuk mendongrak kinerja ekspor, melemahkan rupiah bukan langkah yang bijak. Pasalnya, lebih dari 50% ekspor Indonesia adalah komoditas. Permintaan terhadap komoditas tidak dipengaruhi oleh selisih kurs, melainkan harga dan kebutuhan suatu negara.
Hasil kajian Kementerian Perdagangan pada 2013 menunjukkan bahwa harga komoditas lebih berperan dalam mendukung ekspor. Saat harga komoditas naik 1%, dampaknya langsung mengurangi permintaan ekspor sebanyak 0,86%.
Faktor kedua yang mempengaruhi adalah pertumbuhan ekonomi dunia, yang bisa meningkatkan permintaan. Setiap kenaikan Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita global sebesar 1%, maka ekspor komoditas akan naik 1,97%.
Sementara faktor kurs, memang ada pengaruhnya. Ada hubungan negatif antara semakin menguatnya nilai tukar mata uang terhadap ekspor, tetapi tidak cukup signifikan bahkan pada taraf nyata 10%.
Oleh karena itu, tidak ada gunanya Indonesia membiarkan rupiah melemah kalau tujuannya ingin menggenjot ekspor. Daya saing kurs tidak akan banyak membantu, karena saat harga komoditas global naik maka ekspor akan tetap terpukul.
Berbeda ceritanya kalau ekspor lebih ke produk manufaktur. Faktor nilai tukar cukup menentukan, karena ketika dihadapkan pada produk manufaktur yang berkualitas sama, orang akan memilih yang lebih murah. Seringkali murah-mahalnya suatu produk ditentukan oleh selisih kurs.
Ini yang membuat China begitu menjaga nilai tukarnya agar tidak terlalu kuat. Atau Jepang yang 'berduka' saat mata uang yen menguat. Kalau memang terlibat dalam perang mata uang, maka mereka punya alasan yang lebih dari cukup.
Hal kedua yang membuat depresiasi rupiah merugikan adalah Indonesia saat ini berstatus negara net importir. Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia defisit. Artinya, devisa lebih banyak terbang ke luar negeri dalam hal ekspor-impor barang dan jasa.
Dalam situasi seperti ini, depresiasi rupiah tentu tidak menguntungkan. Sebelum transaksi berjalan bisa berbalik positif (yang sepertinya butuh waktu lama), pelemahan rupiah hanya akan menjadi beban karena membuat biaya impor membengkak.
Pembengkakan biaya impor bisa berdampak luas. Utamanya akan terjadi inflasi, karena kenaikan biaya impor bisa membuat pengusaha membebankannya ke konsumen. Ujungnya adalah inflasi, monster yang menggerus daya beli masyarakat. Saat inflasi tinggi, apalagi karena ekonomi yang tidak efisien akibat kenaikan biaya impor, jangan harap pertumbuhan ekonomi bisa berkelanjutan.
Dua alasan ini menjadi dasar yang kuat bagi Indonesia untuk tidak perlu ikut-ikutan latah perang mata uang. Sebab, pelemahan rupiah bukan berkah bagi Indonesia tetapi lebih menjadi musibah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Ada beberapa alasan. Pertama, kalau untuk mendongrak kinerja ekspor, melemahkan rupiah bukan langkah yang bijak. Pasalnya, lebih dari 50% ekspor Indonesia adalah komoditas. Permintaan terhadap komoditas tidak dipengaruhi oleh selisih kurs, melainkan harga dan kebutuhan suatu negara.
Hasil kajian Kementerian Perdagangan pada 2013 menunjukkan bahwa harga komoditas lebih berperan dalam mendukung ekspor. Saat harga komoditas naik 1%, dampaknya langsung mengurangi permintaan ekspor sebanyak 0,86%.
Sementara faktor kurs, memang ada pengaruhnya. Ada hubungan negatif antara semakin menguatnya nilai tukar mata uang terhadap ekspor, tetapi tidak cukup signifikan bahkan pada taraf nyata 10%.
Oleh karena itu, tidak ada gunanya Indonesia membiarkan rupiah melemah kalau tujuannya ingin menggenjot ekspor. Daya saing kurs tidak akan banyak membantu, karena saat harga komoditas global naik maka ekspor akan tetap terpukul.
Berbeda ceritanya kalau ekspor lebih ke produk manufaktur. Faktor nilai tukar cukup menentukan, karena ketika dihadapkan pada produk manufaktur yang berkualitas sama, orang akan memilih yang lebih murah. Seringkali murah-mahalnya suatu produk ditentukan oleh selisih kurs.
Ini yang membuat China begitu menjaga nilai tukarnya agar tidak terlalu kuat. Atau Jepang yang 'berduka' saat mata uang yen menguat. Kalau memang terlibat dalam perang mata uang, maka mereka punya alasan yang lebih dari cukup.
Hal kedua yang membuat depresiasi rupiah merugikan adalah Indonesia saat ini berstatus negara net importir. Sejak 2011, transaksi berjalan Indonesia defisit. Artinya, devisa lebih banyak terbang ke luar negeri dalam hal ekspor-impor barang dan jasa.
![]() |
Dalam situasi seperti ini, depresiasi rupiah tentu tidak menguntungkan. Sebelum transaksi berjalan bisa berbalik positif (yang sepertinya butuh waktu lama), pelemahan rupiah hanya akan menjadi beban karena membuat biaya impor membengkak.
Pembengkakan biaya impor bisa berdampak luas. Utamanya akan terjadi inflasi, karena kenaikan biaya impor bisa membuat pengusaha membebankannya ke konsumen. Ujungnya adalah inflasi, monster yang menggerus daya beli masyarakat. Saat inflasi tinggi, apalagi karena ekonomi yang tidak efisien akibat kenaikan biaya impor, jangan harap pertumbuhan ekonomi bisa berkelanjutan.
Dua alasan ini menjadi dasar yang kuat bagi Indonesia untuk tidak perlu ikut-ikutan latah perang mata uang. Sebab, pelemahan rupiah bukan berkah bagi Indonesia tetapi lebih menjadi musibah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular