
Ancaman Baru (Tapi Lama) Bernama Perang Mata Uang
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 July 2018 10:11

Kata-kata perang mata uang (atau devaluasi kompetitif) dipopulerkan oleh eks Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega. Pada 2010, Mantega menyatakan, dunia sedang dalam perang. Saat itu, beberapa negara seperti China, Jepang, Kolombia, Israel, dan Swiss seperti sengaja membuat mata uang mereka melemah demi memenangkan persaingan perdagangan.
Saat mata uang melemah, produk-produk sebuah negara memang menjadi murah di pasar global yang bisa mendorong permintaan ekspor. Di sisi lain, depresiasi mata uang membuat barang impor semakin mahal sehingga menjadi penghalang alamiah bagi produk dari luar negeri.
"Kita sedang dalam ancaman perang mata uang. Ini menjadi ancaman serius karena menghambat daya saing antar negara," tegas Mantega pada 2010, mengutip Reuters.
Isu perang mata uang mendapat begitu banyak perhatian. Sampai-sampai isu ini menjadi salah satu bahasan dalam pertemuan G20 di Korea Selatan saat itu. Dalam pertemuan tingkat Menteri Keuangan G20, disepakati nilai mata uang harus mencerminkan mekanisme pasar, menghindari devaluasi kompetitif, dan menempuh kebijakan untuk mengurangi ketimpangan transaksi berjalan antar negara.
Pada 2016, isu ini kembali mengemuka. Penyebabnya (lagi-lagi) karena China melakukan devaluasi mata uangnya. Devaluasi yuan sempat membawa guncangan terhadap pasar keuangan global saat itu.
Kini, isu perang mata uang muncul lagi. China pun kembali menjadi 'tersangka' utama. China memang seringkali mendapat tudingan sebagai pelaku manipulasi kurs.
Kalau melihat kebijakan China, maka tudingan itu mungkin ada benarnya. Bank Sentral China (PBoC) secara rutin menetapkan titik tengah nilai tukar yuan. Mata uang ini hanya diperkenankan melemah atau menguat maksimal 2% dari titik tengah tersebut.
Untuk hari ini, PBoC memasang titik tengah nilai tukar yuan di CNY 6,7891/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 11 Juli 2017, lebih dari setahun lalu. Oleh karena itu, tidak heran tuduhan manipulator kurs kerap dialamatkan kepada China, bayangkan saja kurs mereka saat ini lebih lemah dari setahun yang lalu.
Setelah perang dagang, kini dunia dihadapkan kepada ketidakpastian baru bernama perang mata uang. Sepertinya investor memang tidak boleh istirahat barang sejenak, karena perekonomian dunia yang begitu dinamis membutuhkan pemantauan intensif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Saat mata uang melemah, produk-produk sebuah negara memang menjadi murah di pasar global yang bisa mendorong permintaan ekspor. Di sisi lain, depresiasi mata uang membuat barang impor semakin mahal sehingga menjadi penghalang alamiah bagi produk dari luar negeri.
"Kita sedang dalam ancaman perang mata uang. Ini menjadi ancaman serius karena menghambat daya saing antar negara," tegas Mantega pada 2010, mengutip Reuters.
Pada 2016, isu ini kembali mengemuka. Penyebabnya (lagi-lagi) karena China melakukan devaluasi mata uangnya. Devaluasi yuan sempat membawa guncangan terhadap pasar keuangan global saat itu.
Kini, isu perang mata uang muncul lagi. China pun kembali menjadi 'tersangka' utama. China memang seringkali mendapat tudingan sebagai pelaku manipulasi kurs.
Kalau melihat kebijakan China, maka tudingan itu mungkin ada benarnya. Bank Sentral China (PBoC) secara rutin menetapkan titik tengah nilai tukar yuan. Mata uang ini hanya diperkenankan melemah atau menguat maksimal 2% dari titik tengah tersebut.
Untuk hari ini, PBoC memasang titik tengah nilai tukar yuan di CNY 6,7891/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 11 Juli 2017, lebih dari setahun lalu. Oleh karena itu, tidak heran tuduhan manipulator kurs kerap dialamatkan kepada China, bayangkan saja kurs mereka saat ini lebih lemah dari setahun yang lalu.
Setelah perang dagang, kini dunia dihadapkan kepada ketidakpastian baru bernama perang mata uang. Sepertinya investor memang tidak boleh istirahat barang sejenak, karena perekonomian dunia yang begitu dinamis membutuhkan pemantauan intensif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular