
Ancaman Baru (Tapi Lama) Bernama Perang Mata Uang
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 July 2018 10:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi global begitu dinamis tahun ini. Namun dinamis di sini seringkali bukan dalam hal positif. Malah ada aura perekonomian dunia mundur, kebijakan saling proteksi kembali merebak.
Kalau mau dirunut, mohon maaf, asal mula masalah ini adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016 lalu. Trump memegang teguh janji kampanyenya yaitu America First, kepentingan Negeri Paman Sam di atas segalanya.
Trump melihat negara-negara lain selama ini mem-bully AS. Sebagai negara konsumen terbesar dunia, AS dijejali produk-produk impor yang masuk dengan begitu bebas. Trump menilai ini sebagai ancaman, karena bisa mematikan industri dan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.
Oleh karena itu, eks taipan properti ini menerapkan kebijakan proteksionistik dengan membebani bea masuk bagi produk-produk impor. Dia memberi dua pilihan: tetap masuk ke AS melalui impor tetapi kena bea masuk tinggi atau membangun pabrik di AS dan membuka lapangan kerja.
Bagai koboi, Trump menembakkan peluru ke segala arah. Tujuan utamanya memang seringkali mengarah ke China, karena AS memang mengalami defisit perdagangan terbesar dengan Negeri Tirai Bambu. Tahun lalu, AS tekor berdagang dengan China sampai US$ 375,58 miliar (Rp 5.465,29 triliun). Lebih dalam ketimbang tahun sebelumnya yaitu minus US$ 346,99 miliar (Rp 5.048,79 triliun).
Namun tidak jarang pula Trump mengarahkan serangan ke negara-negara sekutunya seperti Kanada, Meksiko, Jepang, hingga Uni Eropa. Negara-negara itu tentu tidak terima, dan sebagian sudah membalas dengan mengenakan bea masuk bagi produk-produk asal AS. Teranyar, China membebankan bea masuk 25% bagi 659 produk Negeri Adidaya.
Kini, perang dagang bergulir dan berevolusi menjadi bentuk lain. AS menuding beberapa negara sengaja melemahkan mata uangnya agar ekspor mereka lebih kompetitif. Perang dagang berubah bentuk menjadi perang mata uang (currency war), berlomba-lomba memperlemah mata uang untuk menjaga performa ekspor.
Kementerian Keuangan AS akan mengeluarkan laporan tahunan mengenai pelaku manipulasi kurs pada 15 Oktober. Laporan ini berdasarkan pemantauan pada semester I-2018.
"Saya tidak mengatakan (mata uang) itu senjata atau bukan. Namun tidak ada keraguan bahwa melemahkan mata uang menciptakan ketidakadilan," tegasnya dalam wawancara dengan Reuters.
Mnuchin menyatakan, salah satu mata uang yang akan mendapat sorotan adalah yuan. "Kami akan melihat dengan seksama apakah mereka melakukan manipulasi kurs," ungkapnya.
Kata-kata perang mata uang (atau devaluasi kompetitif) dipopulerkan oleh eks Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega. Pada 2010, Mantega menyatakan, dunia sedang dalam perang. Saat itu, beberapa negara seperti China, Jepang, Kolombia, Israel, dan Swiss seperti sengaja membuat mata uang mereka melemah demi memenangkan persaingan perdagangan.
Saat mata uang melemah, produk-produk sebuah negara memang menjadi murah di pasar global yang bisa mendorong permintaan ekspor. Di sisi lain, depresiasi mata uang membuat barang impor semakin mahal sehingga menjadi penghalang alamiah bagi produk dari luar negeri.
"Kita sedang dalam ancaman perang mata uang. Ini menjadi ancaman serius karena menghambat daya saing antar negara," tegas Mantega pada 2010, mengutip Reuters.
Isu perang mata uang mendapat begitu banyak perhatian. Sampai-sampai isu ini menjadi salah satu bahasan dalam pertemuan G20 di Korea Selatan saat itu. Dalam pertemuan tingkat Menteri Keuangan G20, disepakati nilai mata uang harus mencerminkan mekanisme pasar, menghindari devaluasi kompetitif, dan menempuh kebijakan untuk mengurangi ketimpangan transaksi berjalan antar negara.
Pada 2016, isu ini kembali mengemuka. Penyebabnya (lagi-lagi) karena China melakukan devaluasi mata uangnya. Devaluasi yuan sempat membawa guncangan terhadap pasar keuangan global saat itu.
Kini, isu perang mata uang muncul lagi. China pun kembali menjadi 'tersangka' utama. China memang seringkali mendapat tudingan sebagai pelaku manipulasi kurs.
Kalau melihat kebijakan China, maka tudingan itu mungkin ada benarnya. Bank Sentral China (PBoC) secara rutin menetapkan titik tengah nilai tukar yuan. Mata uang ini hanya diperkenankan melemah atau menguat maksimal 2% dari titik tengah tersebut.
Untuk hari ini, PBoC memasang titik tengah nilai tukar yuan di CNY 6,7891/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 11 Juli 2017, lebih dari setahun lalu. Oleh karena itu, tidak heran tuduhan manipulator kurs kerap dialamatkan kepada China, bayangkan saja kurs mereka saat ini lebih lemah dari setahun yang lalu.
Setelah perang dagang, kini dunia dihadapkan kepada ketidakpastian baru bernama perang mata uang. Sepertinya investor memang tidak boleh istirahat barang sejenak, karena perekonomian dunia yang begitu dinamis membutuhkan pemantauan intensif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
Kalau mau dirunut, mohon maaf, asal mula masalah ini adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) pada 2016 lalu. Trump memegang teguh janji kampanyenya yaitu America First, kepentingan Negeri Paman Sam di atas segalanya.
Trump melihat negara-negara lain selama ini mem-bully AS. Sebagai negara konsumen terbesar dunia, AS dijejali produk-produk impor yang masuk dengan begitu bebas. Trump menilai ini sebagai ancaman, karena bisa mematikan industri dan penciptaan lapangan kerja di dalam negeri.
Bagai koboi, Trump menembakkan peluru ke segala arah. Tujuan utamanya memang seringkali mengarah ke China, karena AS memang mengalami defisit perdagangan terbesar dengan Negeri Tirai Bambu. Tahun lalu, AS tekor berdagang dengan China sampai US$ 375,58 miliar (Rp 5.465,29 triliun). Lebih dalam ketimbang tahun sebelumnya yaitu minus US$ 346,99 miliar (Rp 5.048,79 triliun).
Namun tidak jarang pula Trump mengarahkan serangan ke negara-negara sekutunya seperti Kanada, Meksiko, Jepang, hingga Uni Eropa. Negara-negara itu tentu tidak terima, dan sebagian sudah membalas dengan mengenakan bea masuk bagi produk-produk asal AS. Teranyar, China membebankan bea masuk 25% bagi 659 produk Negeri Adidaya.
Kini, perang dagang bergulir dan berevolusi menjadi bentuk lain. AS menuding beberapa negara sengaja melemahkan mata uangnya agar ekspor mereka lebih kompetitif. Perang dagang berubah bentuk menjadi perang mata uang (currency war), berlomba-lomba memperlemah mata uang untuk menjaga performa ekspor.
Kementerian Keuangan AS akan mengeluarkan laporan tahunan mengenai pelaku manipulasi kurs pada 15 Oktober. Laporan ini berdasarkan pemantauan pada semester I-2018.
"Saya tidak mengatakan (mata uang) itu senjata atau bukan. Namun tidak ada keraguan bahwa melemahkan mata uang menciptakan ketidakadilan," tegasnya dalam wawancara dengan Reuters.
Mnuchin menyatakan, salah satu mata uang yang akan mendapat sorotan adalah yuan. "Kami akan melihat dengan seksama apakah mereka melakukan manipulasi kurs," ungkapnya.
Kata-kata perang mata uang (atau devaluasi kompetitif) dipopulerkan oleh eks Menteri Keuangan Brasil Guido Mantega. Pada 2010, Mantega menyatakan, dunia sedang dalam perang. Saat itu, beberapa negara seperti China, Jepang, Kolombia, Israel, dan Swiss seperti sengaja membuat mata uang mereka melemah demi memenangkan persaingan perdagangan.
Saat mata uang melemah, produk-produk sebuah negara memang menjadi murah di pasar global yang bisa mendorong permintaan ekspor. Di sisi lain, depresiasi mata uang membuat barang impor semakin mahal sehingga menjadi penghalang alamiah bagi produk dari luar negeri.
"Kita sedang dalam ancaman perang mata uang. Ini menjadi ancaman serius karena menghambat daya saing antar negara," tegas Mantega pada 2010, mengutip Reuters.
Isu perang mata uang mendapat begitu banyak perhatian. Sampai-sampai isu ini menjadi salah satu bahasan dalam pertemuan G20 di Korea Selatan saat itu. Dalam pertemuan tingkat Menteri Keuangan G20, disepakati nilai mata uang harus mencerminkan mekanisme pasar, menghindari devaluasi kompetitif, dan menempuh kebijakan untuk mengurangi ketimpangan transaksi berjalan antar negara.
Pada 2016, isu ini kembali mengemuka. Penyebabnya (lagi-lagi) karena China melakukan devaluasi mata uangnya. Devaluasi yuan sempat membawa guncangan terhadap pasar keuangan global saat itu.
Kini, isu perang mata uang muncul lagi. China pun kembali menjadi 'tersangka' utama. China memang seringkali mendapat tudingan sebagai pelaku manipulasi kurs.
Kalau melihat kebijakan China, maka tudingan itu mungkin ada benarnya. Bank Sentral China (PBoC) secara rutin menetapkan titik tengah nilai tukar yuan. Mata uang ini hanya diperkenankan melemah atau menguat maksimal 2% dari titik tengah tersebut.
Untuk hari ini, PBoC memasang titik tengah nilai tukar yuan di CNY 6,7891/US$. Ini merupakan titik terlemah sejak 11 Juli 2017, lebih dari setahun lalu. Oleh karena itu, tidak heran tuduhan manipulator kurs kerap dialamatkan kepada China, bayangkan saja kurs mereka saat ini lebih lemah dari setahun yang lalu.
Setelah perang dagang, kini dunia dihadapkan kepada ketidakpastian baru bernama perang mata uang. Sepertinya investor memang tidak boleh istirahat barang sejenak, karena perekonomian dunia yang begitu dinamis membutuhkan pemantauan intensif.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/wed) Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular