
Banyak Tarik Dana, Ini Hal-hal yang Jadi Perhatian Asing
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
23 July 2018 14:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan jual investor asing melanda Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sepanjang tahun ini. Sampai dengan akhir sesi I perdagangan hari ini, investor asing telah mencatatkan jual bersih senilai Rp 50,6 triliun, lebih tinggi dari jual bersih sepanjang tahun 2017 yang sebesar Rp 39,9 triliun.
Sebagai akibat dari derasnya aksi jual investor asing, IHSG pun melemah sebesar 6,95% (hingga akhir sesi 1 perdagangan hari ini).
Ada beberapa faktor yang melandasi aksi jual investor asing. Pertama, pelemahan rupiah. Sepanjang tahun 2018, rupiah telah melemah 6,7% melawan dolar AS di pasar spot.
Ketika rupiah melemah, berinvestasi dalam instrumen berbasis rupiah menjadi kurang menarik lantaran ada potensi kerugian kurs yang harus ditanggung.
Pelemahan rupiah utamanya datang sebagai hasil dari terus mencuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve. Kenaikan suku bunga acuan memang cenderung membuat mata uang suatu negara menguat.
Apalagi, normalisasi di AS yang sudah dilakukan sebanyak 2 kali sepanjang tahun ini dengan total 50bps telat direspon oleh Bank Indonesia. Alhasil, pelemahan rupiah menjadi tak terelakkan.
Faktor kedua adalah laju perekonomian dalam negeri yang tak menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Secara quarter-on-quarter (QoQ), ekonomi Indonesia melemah 0,42%.
Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Seiring dengan lemahnya laju perekonomian pada 3 bulan pertama tahun ini, target pertumbuhan ekonomi nan-ambisius yang dipatok pemerintah di level 5,4% untuk tahun ini menjadi nampak mustahil untuk dicapai.
Teranyar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 5,25% pada tahun ini, jauh di bawah target yang dipatok sebelumnya.
Memasuki kuartal-II, kondisinya juga tak tampak baik, seiring dengan konsumsi masyarakat yang masih lesu. Sepanjang bulan Juni, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang konsumsi sebesar US$ 1,01 miliar atau turun 9,01% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun 2017 sebesar US$ 1,11 miliar. Lantas, impor barang konsumsi menjadi satu-satunya yang melemah secara tahunan (impor bahan baku naik 14,5% YoY dan impor barang modal melesat 20% YoY).
Kondisi yang saat ini dihadapi oleh Indonesia sejatinya terjadi juga tahun lalu. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%.
Tak puas sampai disitu, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN.
Apa mau dikata, ekonomi Indonesia tak sanggup dipacu begitu kencang. Penyebabnya apalagi kalau bukan tekanan terhadap daya beli sebagai akibat dari penghapusan subisidi listrik daya 900VA yang menyasar 18,7 juta rumah tangga.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah.
Sepanjang tahun 2017, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,07%.
Faktor ketiga yang mendorong aksi jual investor asing adalah terancamnya laju pemulihan ekonomi dunia, seiring dengan terus panasnya tensi antara AS dengan negara-negara lainnya di bidang perdagangan.
Dalam laporan World Economic Outlook, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa perang dagang antara AS dengan mitra dagangnya dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebanyak 0,5% pada tahun 2020 atau sekitar US$ 430 miliar secara nominal.
Lembaga yang berbasis di Washington tersebut menyebut bahwa AS merupakan pihak yang paling rentan terhadap perang tarif yang kini sedang terjadi.
Belum lama ini, pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan daftar barang-barang asal China senilai US$ 200 miliar yang akan dikenakan bea masuk baru sebesar 10%. Sementara dengan Uni Eropa, mobil-mobil impor asal Benua Biru berpotensi dikenakan bea masuk tambahan oleh Trump.
Teranyar, dalam wawancaranya dengan CNBC International, Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa dirinya siap mengenakan bea masuk untuk setiap sen barang impor asal China yang masuk ke negaranya.
"Saya siap untuk naik menjadi 500," kata Trump. Pernyataan tersebut merujuk kepada nilai impor barang-barang asal China pada tahun 2017 yang mencapai US$ 505,5 miliar. Di sisi lain, AS hanya mengekspor barang senilai US$ 129,9 miliar ke Negeri Panda pada periode yang sama.
Dalam kondisi seperti ini, tentulah instrumen-instrumen berisiko seperti saham menjadi kurang menarik di mata investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Analis : Net Sell Asing Hanya Bersifat Sementara
Sebagai akibat dari derasnya aksi jual investor asing, IHSG pun melemah sebesar 6,95% (hingga akhir sesi 1 perdagangan hari ini).
Ada beberapa faktor yang melandasi aksi jual investor asing. Pertama, pelemahan rupiah. Sepanjang tahun 2018, rupiah telah melemah 6,7% melawan dolar AS di pasar spot.
Pelemahan rupiah utamanya datang sebagai hasil dari terus mencuatnya persepsi mengenai kenaikan suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun ini oleh the Federal Reserve. Kenaikan suku bunga acuan memang cenderung membuat mata uang suatu negara menguat.
Apalagi, normalisasi di AS yang sudah dilakukan sebanyak 2 kali sepanjang tahun ini dengan total 50bps telat direspon oleh Bank Indonesia. Alhasil, pelemahan rupiah menjadi tak terelakkan.
Faktor kedua adalah laju perekonomian dalam negeri yang tak menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi kuartal-I 2018 di level 5,06% YoY, jauh lebih rendah dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia sebesar 5,18% YoY. Secara quarter-on-quarter (QoQ), ekonomi Indonesia melemah 0,42%.
Capaian sepanjang kuartal-I 2018 tak berbeda jauh jika dibandingkan dengan realisasi kuartal-I 2017. Kala itu, ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,01% YoY. Lemahnya laju ekonomi domestik salah satunya disebabkan oleh konsumsi rumah tangga yang belum bisa bangkit.
Sepanjang 3 bulan pertama tahun ini, konsumsi rumah tangga yang merupakan komponen utama ekonomi Indonesia hanya mampu tumbuh 4,95% YoY, tak jauh berbeda dengan capaian periode yang sama tahun lalu sebesar 4,94%. Padahal, perbaikan konsumsi diharapkan mampu menopang laju ekonomi domestik pada tahun ini.
Seiring dengan lemahnya laju perekonomian pada 3 bulan pertama tahun ini, target pertumbuhan ekonomi nan-ambisius yang dipatok pemerintah di level 5,4% untuk tahun ini menjadi nampak mustahil untuk dicapai.
Teranyar, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksikan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 5,25% pada tahun ini, jauh di bawah target yang dipatok sebelumnya.
Memasuki kuartal-II, kondisinya juga tak tampak baik, seiring dengan konsumsi masyarakat yang masih lesu. Sepanjang bulan Juni, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor barang konsumsi sebesar US$ 1,01 miliar atau turun 9,01% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun 2017 sebesar US$ 1,11 miliar. Lantas, impor barang konsumsi menjadi satu-satunya yang melemah secara tahunan (impor bahan baku naik 14,5% YoY dan impor barang modal melesat 20% YoY).
Kondisi yang saat ini dihadapi oleh Indonesia sejatinya terjadi juga tahun lalu. Dalam APBN 2017, target pertumbuhan ekonomi dipatok di level 5,1%.
Tak puas sampai disitu, pemerintah menyombongkan diri dengan menaikkan target menjadi 5,2% dalam APBNP 2017. Padahal, biasanya target justru diturunkan dari yang dicanangkan di APBN.
Apa mau dikata, ekonomi Indonesia tak sanggup dipacu begitu kencang. Penyebabnya apalagi kalau bukan tekanan terhadap daya beli sebagai akibat dari penghapusan subisidi listrik daya 900VA yang menyasar 18,7 juta rumah tangga.
Dengan asumsi 1 rumah tangga berisikan 3 orang, maka pencabutan subsidi ini telah mempengaruhi daya beli setidaknya 56 juta masyarakat Indonesia, terutama yang berpenghasilan menengah-bawah.
Sepanjang tahun 2017, ekonomi Indonesia hanya tumbuh sebesar 5,07%.
Faktor ketiga yang mendorong aksi jual investor asing adalah terancamnya laju pemulihan ekonomi dunia, seiring dengan terus panasnya tensi antara AS dengan negara-negara lainnya di bidang perdagangan.
Dalam laporan World Economic Outlook, International Monetary Fund (IMF) memperingatkan bahwa perang dagang antara AS dengan mitra dagangnya dapat mengurangi pertumbuhan ekonomi global sebanyak 0,5% pada tahun 2020 atau sekitar US$ 430 miliar secara nominal.
Lembaga yang berbasis di Washington tersebut menyebut bahwa AS merupakan pihak yang paling rentan terhadap perang tarif yang kini sedang terjadi.
Belum lama ini, pemerintahan Presiden Donald Trump mengumumkan daftar barang-barang asal China senilai US$ 200 miliar yang akan dikenakan bea masuk baru sebesar 10%. Sementara dengan Uni Eropa, mobil-mobil impor asal Benua Biru berpotensi dikenakan bea masuk tambahan oleh Trump.
Teranyar, dalam wawancaranya dengan CNBC International, Presiden AS Donald Trump menyebut bahwa dirinya siap mengenakan bea masuk untuk setiap sen barang impor asal China yang masuk ke negaranya.
"Saya siap untuk naik menjadi 500," kata Trump. Pernyataan tersebut merujuk kepada nilai impor barang-barang asal China pada tahun 2017 yang mencapai US$ 505,5 miliar. Di sisi lain, AS hanya mengekspor barang senilai US$ 129,9 miliar ke Negeri Panda pada periode yang sama.
Dalam kondisi seperti ini, tentulah instrumen-instrumen berisiko seperti saham menjadi kurang menarik di mata investor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Analis : Net Sell Asing Hanya Bersifat Sementara
Most Popular